Bagi orang-orang menjadi anak perempuan satu-satunya merupakan kebanggaan bagi keluarganya. Pasti anak itu akan dimanja oleh orangtuanya. Tetapi berbeda bagi perempuan bernama Darini.
Darini tumbuh di keluarga yang berkucupan. Ayahnya seorang petani yang juga memiliki beberapa lahan kebun yang cukup menghasilkan untuk keluarganya. Ibunya seorang pembuat gula merah. Orang-orang menyebut kelurganya, sebagai keluarga yang masyhur, atau bahasa lainnya keluarga yang beruntung.
Maka tidak heran banyak orang yang merasa iri pada keluarga Darini. Teman-temannya bilang:
"Kau sungguh beruntung, Darini. Lahir di keluarga yang makmur. Aku iri padamu."
Darini tersenyum getir, mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dia yang setiap hari selalu disuruh oleh ibunya. Belum lagi dia tidak pernah diperhatikan oleh ayahnya. Darini menjadi satu-satunya perempuan diantara saudaranya.
Kakaknya pun juga kerap kali memerintah dia untuk mencuci baju. Hanya kedua adiknya yang sedikit bisa memahami dirinya. Darini hidup dengan penuh tekanan dari keluarganya.
Sebelum berangkat ke sekolah, dia diwajibkan untuk menyapu, mengepel, dan mencuci piring serta baju. Jika tidak ia lakukan, ibunya akan memberi hukuman dengan tidak memberi makan. Dia selalu berucap pada Darini:
"Perempuan itu harus bisa memasak. Mau jadi apa kamu jika tidak bisa melakukan semua hal? Jangan sampai ada pria yang tidak tertarik padamu!"
Darini bersungguh-sungguh, dia tidak pernah mempunyai niat untuk menikah. Dia hanya ingin hidup tenang, mengejar impiannya, menjadi wanita karir. Namun apalah daya-nya, dia tidak bisa melawan ego orangtuanya.
Beberapa tahun kemudian, ketika Darini akhirnya menginjak usianya yang cukup matang, ibunya mulai mencari jodoh untuknya dari ujung desa ke desa lainnya. Suatu hari, ada seorang pria berkunjung ke rumahnya. Pria itu datang atas permintaan ibunya.
Tok! Tok! Tok!
"Rin, keluar. Ada tamu, cepat buatkan kopi," kata ibunya yang masih mengetuk pintu.
Darini mendesah pelan, dia lelah dengan semua pesuruhan ibunya. Dia mengintip sedikit di balik jendelanya, untuk melihat tamunya itu yang sedang duduk di kursi dengan gugup.
Pria itu mengenakan kaos kotak-kotak dan celana cokelat panjang Pramuka. Darini menggelengkan kepalanya, bergidik geli.
"Apakah ibuku sudah gila? Mana mau aku dijodohkan dengan pria seperti dia?" gumamnya.
"Darini!"
Panggilan ibunya kembali menyadarkannya. Dengan malas, dia membuka pintu.
"Kenapa kau lama sekali?! Lihat, pria itu sudah pergi karena kamu terlalu lambat! Ibu malu!"
"Maaf, ibu...." Darini menunduk lesu. Dia tidak berani untuk menatap wajah ibunya yang sangar itu.
"Sudahlah, besok akan ada pria lain yang datang kemari. Berdandan yang cantik!" Ibunya pergi setelah mengatakan itu kepada putrinya.
Darini tertunduk lagi, menatap lantai. Sampai kapan hidupnya akan terus seperti ini? Dia tidak mau menjadi burung yang terkurung di dalam sangkar. Dia ingin bebas, mendapatkan kebahagiaan dirinya sendiri.
Darini mendobrak kepalanya, berharap menemukan solusi di sela-sela kegelisahannya. Dia khawatir, bagaimana jika hidupnya hancur karena terus-menerus menuruti kata ibunya?
Tetapi takdir berkehendak lain. Dia berkali-kali dijodohkan namun berhasil gagal. Dia tetap berakhir menikah dengan pria yang hanya satu bulan mengenalnya. Alasannya simpel, karena pria itu berbeda dengan pria yang ia temui sebelum-sebelumnya.
Atas pernikahan mereka, ibunya tidak merasa senang samasekali. Sejak dari awal upacara hingga akhir upacara pernikahan, ibunya terus memelototinya. Agaknya dia kesal karena tidak bisa menyetir kehidupan putrinya.
Dia memang menikah dengan pria pilihannya, namun beberapa tahun kemudian, dia sadar, dia telah menyesali keputusannya. Kini, dia hanya bisa meratapi nasibnya.