Pagi itu, udara terasa sejuk dan damai. Aku berjalan perlahan melewati koridor sekolah, menikmati sinar matahari yang menembus jendela. Aku tak berniat mencari siapa pun, hanya ingin sampai ke kelas lebih cepat. Namun langkahku terhenti saat tak sengaja menatap seseorang yang datang dari arah berlawanan. Matanya menatap sekilas, tapi cukup lama untuk membuatku terdiam. Aku tidak mengenalnya, tapi wajah itu terasa sangat familiar. Mungkin aku pernah melihatnya di aula atau lapangan waktu upacara. Ia tersenyum tipis sebelum berjalan pergi, meninggalkan degupan jantung yang tiba-tiba tak beraturan. Entah kenapa, pertemuan singkat ini menimbulkan rasa penasaran yang sulit dijelaskan. Aku terus melangkah, tapi pikiranku tertinggal di tempat tadi.
Hari-hari berikutnya, aku mulai memperhatikannya tanpa sengaja. Anehnya, kami selalu saja bertemu di tempat yang berbeda. Kadang di kantin, kadang di tangga, kadang di koridor depan kelas. Setiap kali kami bertemu, mata kami selalu saling bertatapan dan kami tersenyum kepada satu sama lain. Awalnya aku menganggap itu semua hanya sebuah kebetulan biasa, tapi lama-lama aku mulai merasa semesta memang punya rencana. Kami tidak pernah berbicara, tapi tatapan itu seperti sapaan tanpa kata. Ada sesuatu yang hangat dan menyenangkan di baliknya. Aku bahkan mulai memperhatikan kapan tiap kali kami bertemu dan menunggu momen-momen itu setiap hari. Kadang hal kecil seperti itu bisa menjadi alasan untuk bersemangat datang ke sekolah.
Suatu pagi aku datang lebih awal karena ada latihan untuk seleksi OSIS. Saat lewat depan aula, aku melihatnya lagi, kali ini sedang berbicara dengan guru pembina. Aku baru tahu kalau ternyata dia adalah anggota OSIS. Saat ia menyadari aku memperhatikannya, ia tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya dengan canggung, lalu segera menunduk sambil menahan senyum. Detik itu juga aku sadar, mungkin aku ingin mengenalnya lebih dekat. Tapi aku masih ragu, takut terlihat terlalu berani. Akhirnya aku hanya berjalan cepat menuju ruang latihan, sementara di dalam hati ada perasaan hangat yang tumbuh perlahan.
Hari seleksi tiba, dan aku lebih gugup dari yang kukira. Aula penuh dengan peserta, dan suasananya cukup menegangkan. Saat aku hampir kehilangan semangat, mataku tanpa sengaja menangkap sosoknya di meja panitia. Ia melihatku dan tersenyum lebar, lalu mengacungkan jempol. Isyarat kecil itu seperti dorongan besar untukku. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba fokus. Anehnya, semua berjalan lancar setelah itu. Aku tahu, mungkin dia tidak sadar kalau senyumnya membuat seseorang lebih percaya diri hari itu. Tapi bagiku, itu sangat berarti.
Setelah seleksi selesai, kami mulai lebih sering berbicara. Awalnya hanya basa-basi ringan tentang kegiatan OSIS, tapi lama-lama pembicaraan kami semakin panjang. Ternyata dia orang yang mudah diajak bicara, ramah, dan penuh semangat. Ia bercerita tentang mimpinya ingin membuat kegiatan sosial di sekolah. Aku kagum dengan caranya berpikir dan cara ia melihat dunia. Kami mulai saling bertukar ide dan mendukung satu sama lain. Rasanya menyenangkan bisa punya teman yang sefrekuensi, dan tanpa sadar, aku menunggu setiap kesempatan untuk berbicara dengannya lagi.
Beberapa minggu kemudian, aku dinyatakan lolos seleksi OSIS. Saat pengumuman dibacakan, aku melihatnya menepuk tangan dengan senyum bangga. Setelah acara berakhir, dia menghampiriku dan berkata, "Selamat, sekarang kita satu tim!". Aku hanya bisa tersenyum, menahan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Sejak hari itu, kami semakin sering bertemu karena harus bekerjasama di berbagai kegiatan. Dari kerja kelompok, rapat panjang, hingga acara sekolah yang melelahkan. Tapi diantara semua itu, selalu ada momen kecil yang membuatku tertawa. Semuanya terasa ringan kalau ada dia.
Suatu sore setelah rapat, kami duduk di taman sekolah sambil menunggu hujan reda. Daun-daun bergoyang tertiup angin, dan suasananya tenang sekali. Kami mulai berbicara tentang hal-hal pribadi seperti tentang keluarga, impian, dan rencana masa depan. Aku tahu ternyata dia juga punya banyak kekhawatiran yang sama denganku. Tapi ia selalu melihat segala sesuatu dengan positif. "Kadang hidup kasih kejutan, tapi bukan berarti kita harus takut", katanya sambil menatap langit mendung. Ucapan itu sederhana, tapi punya makna yang mendalam. Mungkin pertemuan kami juga salah satu kejutan itu.
Setelah hari itu, hubungan kami semakin dekat. Kami tidak hanya sekedar teman OSIS, tapi juga teman yang saling mendukung di luar kegiatan sekolah. Aku belajar banyak darinya, tentang ketulusan, semangat, dan keberanian. Kadang aku berpikir, kalau dulu aku tidak ikut seleksi OSIS, mungkin kami tidak akan pernah berbicara. Aneh rasanya, bagaimana sesuatu yang terlihat kecil bisa mengubah begitu banyak hal. Setiap pertemuan terasa berarti, bahkan hanya sekedar sapa di koridor. Dan tanpa kusadari, perasaan dihatiku tumbuh semakin dalam.
Tapi semua kisah manis pasti punya waktu jeda. Setelah masa jabatan OSIS selesai, kami mulai jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Awalnya aku merasa kehilangan, tapi aku sadar, kenangan yang kami buat tidak akan hilang begitu saja. Sesekali kami masih saling menyapa lewat pesan singkat atas bertemu saat acara sekolah. Dan setiap kali melihatnya lagi, perasaan hangat itu masih sama seperti dulu. Pertemuan kami memang tak terduga, tapi dampaknya sangat besar bagi hidupku. Aku belajar bahwa beberapa orang datang bukan tanpa alasan.
Kini, setiap kali aku berjalan melewati tempat kami sering berpapasan dulu, aku selalu tersenyum. Semua kenangan itu terasa seperti potongan kecil yang menyusun cerita hidupku. Aku tak tahu apakah kamu akan dipertemukan lagi dengan cara yang sama. Tapi aku percaya, pertemuan yang tak direncanakan kadang justru paling berharga. Mungkin benar kata orang, semesta punya cara unik untuk mempertemukan dua orang yang sefrekuensi. Dan jika suatu hari aku bertemu dengannya lagi, aku akan tahu itu bukan kebetulan, tapi takdir yang manis.