CHAPTER 1 .
*Kota yang Tidak Pernah Tidur dan Tidak Pernah Waras*
Kota Neoterra tidak pernah benar-benar tidur.
Lampu neon berwarna ungu, biru, dan hijau menyala sepanjang malam, memantul di gedung-gedung tinggi berbahan baja hitam dan kaca kristal sihir. Drone beterbangan seperti nyamuk digital, sementara hologram iklan berteriak tanpa suara, menawarkan upgrade tubuh, ramuan mana instan, dan diskon pedang plasma edisi terbatas.
Di tengah semua kekacauan futuristik itu, seorang pemuda bernama Raka sedang berlari sekencang-kencangnya.
“Kenapa sih tiap hari gue lari?” Raka terengah sambil melompati kios makanan otomatis. “Gue bukan atlet, bukan kurir, apalagi pahlawan!”
Di belakangnya, tiga robot penjaga kota melayang rendah, mata mereka menyala merah.
> PERINGATAN. WARGA NOMOR 77821 MELAKUKAN PELANGGARAN. HENTIKAN ATAU AKAN DILUMPUHKAN.
“Pelanggaran apaan?! Gue cuma—”
BZZZT!
Sinar listrik hampir menyambar kakinya.
“Oke, oke! Gue kabur. Tapi ini salah kalian juga!”
Raka berbelok tajam ke gang sempit yang dipenuhi kabel menjuntai dan simbol-simbol sihir bercahaya. Di sinilah batas dunia teknologi dan dunia magis bertabrakan dengan cara yang sangat tidak sopan.
Ia berhenti tepat di depan sebuah pintu tua bertuliskan:
“TOKO BARANG TIDAK BERGUNA — TUTUP (KECUALI
KIAMAT DAN PEMILIK TOKOK SEDANG NONTON LIVERLPOOL )”
Tanpa pikir panjang, Raka menerobos masuk dan membanting pintu.
Di dalam, toko itu jauh lebih besar dari luar—klasik ruang-dalam lebih luas dari luar. Rak-rak penuh artefak aneh berjejer: tongkat sihir patah, helm cyber dengan tanduk naga, botol berisi cahaya tertawa, dan seekor kucing mekanik yang tampak sedang menghakimi semua orang.
“Telat lima menit,” kata seorang perempuan dengan suara datar.
Raka menoleh. Di balik meja kayu tua duduk seorang gadis berambut perak dengan mata emas menyala redup. Ia mengenakan jaket hitam penuh rune dan sarung tangan teknologi tinggi.
“Lima menit dari apa?” tanya Raka bingung.
“Dari waktu kamu seharusnya masuk ke hidupku,” jawab gadis itu santai. “Tapi ya sudahlah. Namaku Lyra.”
“Raka. Pengangguran profesional.”
Lyra mendengus kecil. “Kelihatan.”
Sebelum Raka sempat tersinggung, pintu toko bergetar hebat. Robot penjaga menabrak dari luar.
> TARGET TERDETEKSI. AKAN DILAKUKAN PENANGKAPAN.
Lyra berdiri, menarik sebuah tongkat kecil dari balik meja. Tongkat itu berubah bentuk menjadi senapan sihir bercahaya.
“Kamu mencuri apa?” tanyanya.
“Gue cuma salah tekan tombol mesin minuman!” bela Raka. “Ternyata itu dispenser ramuan terlarang!”
“Ah. Ramuan Chaos Level Tiga.”
Lyra mengangguk. “Memang ilegal. Dan bisa meledakkan kota kecil.”
“Apa?!”
BOOM!
Pintu toko hancur berkeping-keping saat satu robot menerobos masuk. Tanpa ragu, Lyra menembak. Peluru cahaya berubah menjadi naga mini yang menggigit kepala robot itu sampai meledak.
Raka ternganga. “Oke… hari ini sudah terlalu aneh.”
Robot kedua dan ketiga masuk bersamaan. Raka secara refleks mengambil sebuah pedang dari rak terdekat.
“Jangan pegang itu!” teriak Lyra.
Terlambat. Pedang itu menyala terang dan berbicara.
>>SELAMAT DATANG, TUAN BARU. APAKAH KITA AKAN MEMUSNAHKAN MUSUH ATAU MAKAN DULU<< ?....
“Astaga, pedangnya cerewet!” Raka panik.
“Fokus!” Lyra melemparkan granat sihir. Ledakan berubah menjadi hujan bunga digital yang menghancurkan robot.
Toko kembali sunyi.
Raka menjatuhkan pedang. “Gue mau pulang. Ke dunia normal. Yang nggak ada robot, sihir, atau pedang ngomel.”
Lyra menatapnya serius. “Sayangnya, itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
Karena di lengan Raka, simbol bercahaya muncul—sebuah tanda kuno berbentuk lingkaran dengan garis-garis cyber di dalamnya.
Lyra membeku.
“Itu… Sigil Nexus,” gumamnya. “Tanda orang yang bisa menghubungkan sihir dan teknologi.”
Raka menatap lengannya. “Gue cuma mau minum gratis.”
“Takdir jarang peduli keinginan,” kata Lyra. “Dan biasanya suka bercanda kejam.”
Tiba-tiba seluruh kota bergetar. Langit Neoterra terbelah oleh retakan cahaya hitam. Alarm kota meraung.
> PERINGATAN GLOBAL. DIMENSI TIDAK STABIL.
Lyra menatap langit. “Mereka sudah mulai.”
“Mereka siapa?”
Lyra tersenyum tipis. “Orang-orang yang ingin menghapus dunia ini… dan membangunnya ulang dengan cara paling membosankan.”
Raka menelan ludah. “Dan peran gue di semua ini?”
Lyra melemparkan jaket kepadanya. “Kalau kamu mau hidup… ikut aku.”
Raka melihat lengannya lagi, lalu langit yang retak, lalu toko yang hancur.
Ia menghela napas panjang.
“Baiklah. Tapi satu syarat.”
Lyra mengangkat alis.
“Kalau gue mati, tolong hapus riwayat pencarian internet gue.”
Lyra tertawa untuk pertama kalinya.
Dan di malam penuh neon itu, petualangan yang akan mengubah dunia—dan mungkin menghancurkannya—pun dimulai.