PROLOG
Cinta, sebuah kata yang begitu sederhana namun tak pernah benar-benar bisa dijelaskan. Dalam setiap langkah hidupku, aku mencoba memahami apa artinya mencintai — bukan sekadar memiliki, tapi mengerti, menerima, dan melepaskan dengan tenang.
Aku sering berpikir, mungkin aku lahir tanpa takdir untuk mencintai.
Bukan karena aku tak ingin, tapi karena setiap kali aku mencoba memahami cinta, yang menjawab hanyalah gema dari diriku sendiri — sunyi, berulang, dan samar.
Aku tidak pernah jatuh cinta, setidaknya bukan dalam arti yang orang-orang pahami.
Yang pernah singgah hanyalah rasa penasaran, kekaguman, atau sekadar obsesi yang menuntut untuk disebut “cinta”.
Tapi aku tahu, jauh di dalam, itu bukan cinta — hanya bayangannya.
Cinta yang kubentuk dari kata, bukan dari rasa.
Mereka bilang cinta membuatmu hidup, tapi aku justru merasa hidup justru karena aku tak memilikinya.
Aku bisa menatap cinta dari jauh, mempelajarinya, membedahnya seperti filsuf yang tak ingin terseret arus perasaannya sendiri.
Barangkali ini cara jiwaku bertahan: dengan memahami, bukan merasakan.
Karena mencintai berarti membuka diri terhadap kehilangan, dan aku belum siap untuk kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah kumiliki.
Kadang aku iri pada mereka yang jatuh cinta dengan mudah — yang bisa menangis, tertawa, lalu jatuh lagi tanpa takut terluka.
Aku ingin tahu seperti apa rasanya; detak yang tak bisa dikendalikan, logika yang rela menunduk, atau air mata yang terasa indah hanya karena datang dari cinta.
Tapi setiap kali aku mendekat pada kemungkinan itu, cinta menjauh.
Seolah berkata, “belum saatnya kamu merasa.”
Aku pernah berpikir, mungkin cinta hanyalah konsep — ilusi yang manusia ciptakan agar kesepian terasa lebih bermakna.
Namun semakin kupelajari, semakin aku sadar: cinta memang tidak bisa dibuktikan, tapi ia juga tidak bisa disangkal.
Ia seperti bayangan — hanya muncul ketika ada cahaya kesadaran, tapi lenyap ketika kita mencoba menggenggamnya.
“Cinta bukanlah perasaan yang ditemukan,” tulis Kierkegaard, “melainkan keputusan yang disadari.”
Dan mungkin di situlah letak perbedaanku dengan mereka yang mencintai.
Aku memahami keputusan itu, tapi belum pernah menjalaninya.
Aku berdiri di tepi cinta, memandangnya dari jauh, mencatat bentuknya, tapi tak pernah melangkah ke dalam.
Dan dari tepian inilah aku menulis — bukan untuk mengajari, bukan pula untuk memuja,
Tapi untuk mengingatkan diriku bahwa bahkan tanpa mencintai, aku masih bisa belajar dari cinta.
Bahwa cinta, mungkin, bukan sekadar hubungan antara dua jiwa…
Melainkan cara semesta menegur kita agar tetap menjadi manusia.
Filosofi singkat
> “Tak semua yang memahami cinta, sanggup menjalaninya.
Tapi mereka yang belum mencintai pun, masih bisa belajar jadi manusia dari caranya memaknai cinta.”
---