Aku ingat betul, masa kecilku bagaikan taman bermain tak berujung. Sebagai anak tunggal, aku menjadi pusat perhatian Papa dan Mama. Setiap keinginanku selalu dituruti, setiap langkahku selalu didukung. Teman-temanku sering iri, apalagi mereka yang punya banyak saudara.
“Enak ya jadi anak tunggal, semua buat kamu sendiri,” kata mereka, dan aku hanya tersenyum bangga.
Saat itu, aku memang merasa sangat beruntung. Tidak ada rebutan mainan, tidak ada persaingan nilai di sekolah, tidak ada pertengkaran karena hal sepele. Aku merasa istimewa, satu-satunya bintang di galaksi kecil keluargaku.
Waktu berlalu begitu cepat. Aku tumbuh menjadi seorang pria dewasa, meniti karir, membangun mimpi. Papa dan Mama semakin bangga padaku. Mereka selalu mendukung setiap keputusanku, meskipun kadang aku merasa terbebani dengan harapan mereka yang begitu besar.
Namun, semuanya berubah saat Papa didiagnosis menderita penyakit jantung. Mama, yang selalu kuat dan tegar, mulai terlihat rapuh. Aku melihat kerutan di wajah mereka semakin jelas, rambut mereka semakin memutih.
Sejak saat itu, aku merasa hidupku berubah drastis. Aku tidak lagi bisa bebas mengejar impianku. Aku harus membagi waktu antara pekerjaan, merawat Papa, dan menemani Mama.
Aku ingat, dulu aku sangat bersemangat dengan pekerjaanku sebagai seorang Penulis. Aku ingin Membuat Cerita-cerita yang akan menjadi inspirasi Banyak Orang. Tapi sekarang, aku lebih sering lembur di rumah sakit, mengurus administrasi dan menemani Papa menjalani terapi.
Aku juga harus menggantikan Papa mengurus pekerjaannya, sebuah Kebun kecil yang sudah bertahun-tahun menjadi sumber penghasilan kami. Dulu, aku tidak pernah tertarik dengan urusan Bercocok Tanam. Tapi sekarang, aku harus belajar Bercocok Tanam, Menanam Sayuran, dan menghitung keuntungan.
Aku merasa lelah dan tertekan. Aku merindukan masa-masa saat aku bisa bebas melakukan apa pun yang aku inginkan. Aku iri pada teman-temanku yang punya saudara. Mereka bisa berbagi beban dan tanggung jawab. Sementara aku, harus memikul semuanya sendirian.
Suatu malam, saat aku sedang menemani Mama di rumah sakit, dia menggenggam tanganku erat-erat. “Nak, Mama tahu ini berat buat kamu. Maafkan Mama dan Papa karena sudah membebanimu.”
Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Ma. Aku tidak merasa terbebani. Aku hanya ingin Papa dan Mama sehat kembali.”
Mama tersenyum. “Mama tahu kamu anak yang baik. Tapi, jangan lupa bahagiakan dirimu sendiri. Jangan korbankan semua impianmu demi kami.”
Aku terdiam. Kata-kata Mama membuatku tersadar. Selama ini, aku terlalu fokus pada orang tuaku hingga lupa pada diriku sendiri. Aku lupa bahwa aku juga punya mimpi yang harus kuwujudkan.
Aku tahu, aku tidak bisa mengubah takdirku sebagai anak tunggal. Aku tidak bisa meminta orang tuaku untuk tidak berharap padaku. Tapi, aku bisa belajar menyeimbangkan hidupku. Aku bisa tetap merawat orang tuaku dengan baik, tanpa mengorbankan semua impianku.
Aku mulai mencari cara untuk meringankan beban kerjaku. Aku merekrut Beberapa Petani untuk membantu Bercocok Tanam. Aku juga meminta bantuan Kepada Teman Dekat Papaku atau Teman Dekat mamaku untuk mengurus Papa saat aku sedang bekerja.
Aku juga mulai meluangkan waktu untuk diriku sendiri. Aku kembali Menulis Cerita yang selama ini terbengkalai. Aku juga bergabung dengan komunitas Novelis dan Penulis untuk menambah wawasan dan menciptakan Karya-karya Yang Menginspirasi Banyak Orang.