Pagi yang cerah menyambut Feby dengan optimisme. Setelah menarik napas panjang di mulut gang, mengumpulkan doa dan semangat, ia siap berjuang demi masa depan yang lebih baik. Feby membunyikan klakson dan melaju menuju Central Park Metro, sebuah area kuliner ramai yang menjadi "rumah kedua" baginya.
Di sana, 15 gerai makanan berjajar rapi, dari soto Bibi Haryati hingga lima food truck, termasuk milik Feby. Pilihan yang beragam, lokasi strategis, dan tempat yang bersih membuatnya menjadi favorit para pekerja kantoran.
"Sudah datang, By?" sapa Bibi Haryati yang sedang merapikan piring.
"Iya, Bi. Semalam buat kulit siomay sampai larut. Budi juga kesiangan," jawab Feby, mulai sibuk menyusun siomay udang dan rumput laut—menu best seller-nya—ke dalam kukusan.
Setelah persiapan selesai, Feby duduk dan menatap gedung perkantoran di seberang, sebuah impian yang terasa jauh bagi seseorang dengan tingkat pendidikan sepertinya. Lamunannya buyar oleh kedatangan Fahmi, seorang manajer penjualan dealer yang flamboyan.
"Pagi, Feby! Siomaynya enam, biasa," ujar Fahmi.
Feby menyajikan pesanan itu, lalu duduk menemani Fahmi mengobrol. Seperti biasa, topiknya adalah kisah asmara Fahmi yang baru kandas.
"Aku baru putus, By," curhat Fahmi, tanpa ekspresi sedih sedikit pun.
"Kenapa?" tanya Feby datar.
"Bosan saya! Pacar saya itu cemburuan, curigaan, posesif. Hidupku jadi nggak tenang. Pacaran kan buat senang-senang, kenapa jadi beban?" keluh Fahmi, mengunyah siomaynya dengan santai.
Feby mendebat, "Bukannya cemburu itu tanda sayang, Kak?"
Fahmi tertawa, "Kau terlalu banyak nonton drama. Di dunia nyata, mana ada laki-laki senang diinterogasi tiap jam? Dia bilang aku kejam, jahat."
"Terus Kakak bilang apa?" tanya Feby, jengah.
"Diam aja, pasang wajah bersalah," jawab Fahmi cekikikan, bangga dengan modusnya. Feby hanya bisa berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah tertipu oleh pesona Fahmi yang playboy kelas berat itu.
"Besok-besok jangan jatuh cinta sama cowok kayak aku, ya," nasehat Fahmi. "Cari yang baik, yang penting baik seperti menasehati anak-anak agar berperilaku baik."
"Aku bukan anak kecil, Kak! Aku sudah 23 tahun!" protes Feby.
"Mana KTP-mu? Anak SMP aja ngaku 23 tahun," ledek Fahmi, masih cekikikan. "Nih uangnya, makasih ya. Saya mau cari pacar lagi. Eh, kerja lagi."
Fahmi melambaikan tangan dan berlalu. Mau tak mau, Feby ikut tertawa melihat tingkahnya.
Feby kembali merenung. Cinta? Memikirkannya saja sudah melelahkan. Baginya, mencari uang jauh lebih utama. Impian terbesarnya kini hanyalah melihat adiknya sehat, sukses, dan bahagia, terlepas dari impian masa SMK-nya yang tak sempat diperjuangkan.