Berangkat Sore
Sore itu kami berangkat,
matahari condong, cahaya keemasan
mengiringi langkah yang tak tergesa,
angin menyimpan sisa hangat siang.
Di persimpangan waktu, kami berkumpul,
tawa berserakan di antara cerita,
secangkir rencana diseruput perlahan,
menyatukan niat yang sempat tercecer.
Tas ditutup, doa dilipat rapi,
persiapan sederhana namun penuh harap,
malam menunggu dengan jalan terbuka,
dan kami siap melangkah, bersama.
Melaju Lagi
Perjalanan panjang membentang di dada,
aspal tak lagi menghitung jarak,
hanya detak waktu yang setia
menemani lelah dan harap.
Kota asal tinggal di kaca spion,
lampunya mengecil, namun kenangan membesar,
di sanalah nama pertama disebut,
dan rindu belajar pulang.
Empat kota kami lewati,
masing-masing menyapa dengan wajah berbeda:
satu memberi hujan, satu memberi tawa,
satu mengajarkan diam, satu menumbuhkan mimpi.
Mesin kembali bernapas panjang,
lampu hijau menyala tanpa aba-aba,
kami tak berhenti—melaju lagi,
membawa sisa cerita menuju tujuan berikutnya.
Singgah Sejenak
Kami berhenti di antara lelah,
bangku dingin, malam yang menunggu,
napas disusun ulang perlahan,
sebelum jalan memanggil kembali.
Kopi datang dengan aroma hangat,
cemilan kecil berpindah tangan,
renyahnya mengusir kantuk,
pahit-manis mengikat obrolan.
Lalu tanpa aba-aba,
kopi tumpah di sela cerita,
mengalir seperti tawa yang pecah,
mengotori meja, menghangatkan kenangan.
Kami tertawa, tak marah pada ceroboh,
sebab istirahat memang tentang jeda,
bahkan dari rapi dan sempurna,
sebelum kembali melaju ke gelap jalan.
Di Antara Diam dan Lampu Merah
Macet menahan kami seperti napas tertunda,
lampu belakang berbaris tanpa ujung,
mesin hanya berdetak pelan,
waktu terasa lebih panjang dari jalan.
Kami turun sejenak dari kursi yang dingin,
menggerakkan kaki yang kaku oleh diam,
aspal memantulkan dingin malam,
menusuk pelan hingga ke tulang.
Perjalanan ini sangat panjang rasanya,
bukan oleh jarak,
melainkan oleh berhenti yang terlalu lama,
dan rindu yang tak sabar sampai.
Angin menyelinap ke jaket tipis,
membawa sunyi dan bau hujan,
di sela keluhan kecil dan senyum pasrah,
kami belajar menunggu.
Lampu hijau akhirnya menyala,
namun dingin masih tinggal di dada,
kami kembali masuk, melaju perlahan,
membawa sabar yang tersisa di perjalanan.
Dalam Antrian Pagi
Pagi membuka mata dengan lapar kecil,
piring beradu, sendok berdenting pelan,
makan pagi sederhana menghangatkan tubuh,
sebelum hari benar-benar dimulai.
Uap teh naik seperti doa,
nasi dan lauk berpindah cepat,
waktu mendorong dari belakang,
namun kebersamaan menahan sejenak.
Di kamar mandi, air mengalir bergantian,
mandi bersama dalam arti menunggu,
handuk di pundak, tawa setengah mengantuk,
antrian menjadi ruang cerita.
Kami berdiri sabar dalam baris pagi,
dingin air, hangat kebersamaan,
dari perut yang kenyang hingga tubuh segar,
hari siap diterima, satu per satu.
Di Lokasi
Di lokasi kami tiba dengan sisa tenaga,
macet masih melekat di punggung jalan,
klakson dan debu belum sepenuhnya pergi,
meski tujuan sudah di depan mata.
Jalan panjang terbentang tanpa ampun,
langkah demi langkah menuntut sabar,
aspal berganti tanah dan batu,
waktu berjalan lebih lambat dari napas.
Jalan tinggi membuat pandangan bergetar,
langit terasa dekat namun asing,
dengkul kopong menahan beban tubuh,
setiap injakan diuji ulang oleh takut.
Gemetar bukan hanya karena lelah,
tapi karena sadar akan batas diri,
namun kami tetap berdiri, terus melangkah,
sebab sampai di sini pun sudah sebuah kemenangan.
Paling Atas di Jatidiri
Di stadion Jatidiri kami berdiri,
gema langkah bercampur suara besi,
ruang luas menyimpan riuh yang tertahan,
menunggu sorak dan cerita.
Tangga memanggil kami naik,
satu, dua, tiga lantai dilalui,
napas berat, kaki tak lagi ringan,
namun mata terus menatap ke atas.
Lantai tiga terasa paling jauh,
paling atas, dekat dengan langit,
dari sana lapangan tampak kecil,
namun mimpi justru membesar.
Kami duduk dengan dada berdebar,
angin stadion menyapa wajah,
di Jatidiri, di titik tertinggi,
lelah berubah jadi bangga yang diam.
Nada Kita
Musik-musik mengalir tanpa henti,
dentum dan melodi saling mengejar,
mengisi ruang yang tadinya kosong,
membangunkan semangat yang hampir tidur.
Yel-yel meledak dari banyak dada,
serempak, lantang, penuh keyakinan,
suara kami naik dan jatuh bersama,
menjadi satu irama kebersamaan.
Ada aturan yang kami jaga,
garis tak tertulis tentang saling hormat,
tentang kapan bersuara, kapan diam,
agar semua tetap seirama.
Di antara riuh itu, ada aku,
dan ada kamu yang berdiri di sampingku,
dua suara kecil dalam lautan bunyi,
namun bersama, kita terdengar utuh.
Menunggu yang Menyala
Kami menunggu lama di bawah waktu,
matahari tak kenal kompromi,
panas jatuh tepat di kepala,
diam-diam menguras sabar.
Kursi besi serasa menyengat pantat,
panasnya merambat tanpa izin,
duduk jadi ujian kecil,
berdiri pun tak sepenuhnya lega.
Tenggorokan kering akhirnya memberontak,
kami beranjak membeli minum,
botol dingin menempel di telapak,
embun kecil seperti janji.
Tegukan pertama—lega,
dingin mengalir sampai ke dada,
segar, menyegarkan,
menunggu tak lagi seberat tadi.
Akhirnya Turun
Akhirnya kami turun dari tempat menunggu,
kaki melangkah lebih ringan,
seperti beban kecil dilepas,
bersama helaan napas panjang.
Ada pesan titip di sela langkah,
nama-nama makanan disebut cepat,
tangan saling percaya,
uang dan harap berpindah diam-diam.
Beli makan, aromanya menggoda,
beli minum, dinginnya menjanjikan,
antrian terasa lebih singkat,
karena tujuan sudah jelas.
Kami kembali dengan tangan penuh,
bungkus hangat, botol berembun,
lalu duduk dan makan tanpa banyak kata—
kenyang, dan hati ikut tenang.
Kursi Kosong yang Hilang
Kami kembali duduk, langkah berat,
menemui kursi yang dulu kami miliki,
tapi kini terisi orang lain,
senyum asing di tempat yang familiar.
Titipan yang dulu dijanjikan pun tak ada,
hanya tangan kosong dan harap yang tersisa,
namun kami menahan kecewa,
menatap depan, menyiapkan diri.
Dan mulai, meski berbeda dari rencana,
waktu berjalan tanpa menunggu keluhan,
suara, langkah, dan napas bersatu,
menciptakan ritme baru di antara kami.
Kami belajar, kadang yang hilang tak bisa dipanggil,
namun hari tetap harus dijalani,
dan setiap awal, bahkan yang tak sempurna,
layak untuk dimulai.
Tamu Penting
Orang penting datang, langkahnya berat oleh harapan,
governor menyapa dengan senyum resmi,
wakil dan petinggi lain mengikuti jejaknya,
ruang seolah hidup dalam gema hormat.
Jawa ngopeni, hati-hati merawat,
setiap detil diperhatikan, setiap tatap dijaga,
bahasa sopan menjadi jembatan,
menyambut dengan rasa yang tulus namun tertahan.
Ngangeni terasa di setiap sapaan,
rindu tersembunyi dalam protokol dan gestur,
namun kerinduan itu hadir, lembut,
mengingatkan bahwa hadirnya bukan sekadar resmi,
tapi juga menimbulkan jejak yang hangat di hati.
Sebentar Saja
Sebentar saja katanya,
namun menunggu terasa lama,
waktu berjalan lambat,
detik menempel di kulit, berat dan panjang.
Aku berdiri, mata menatap jalan,
kamu di sisi lain, entah dekat atau jauh,
namun bayanganmu selalu hadir,
mengisi ruang sabar yang hampir habis.
Lalu datang, melambai dari kejauhan,
senyummu memecah sabar yang menumpuk,
detik yang terasa berjam-jam itu
tiba-tiba ringan, hilang dalam sekejap.
Sebentar saja—
tapi cukup untuk membuat hati menunggu,
cukup untuk membuat senyum itu
selalu ingin diingat.
Usai
Usai sudah, bunyi terakhir terdengar,
kami turun cepat, langkah tak sabar,
tapi menunggu lama tetap menghadang,
seolah waktu ingin menguji kesabaran.
Pribadi dulu, urusan kecil diselesaikan,
sendiri atau berdua, masing-masing punya cara,
menata apa yang tersisa sebelum lepas,
mengikat rapi sisa energi dan pikiran.
Baru yang gede, urusan utama menanti,
tanggung jawab, keputusan, atau barang besar,
kami hadapi satu per satu,
setelah diri sendiri dibereskan dulu.
Usai memang bukan akhir,
hanya babak yang berganti ritme,
dari cepat, menunggu, pribadi,
hingga yang besar siap menyapa.
Kembali di Gerimis
Kembali kami melangkah perlahan,
jalan panjang terbentang di depan,
aku di sisi satu, kamu di sisi lain,
tapi langkah tetap bersisian, meski sunyi menempel.
Makan diselingi tawa kecil,
aroma dan rasa menenangkan yang lelah,
setiap gigitan mengisi perut dan hati,
menguatkan untuk sisa perjalanan yang masih jauh.
Pulang terasa lama,
aspal basah menatap kaki yang lelah,
gerimis meringis di kepala dan bahu,
mengiris hangat yang baru saja ditemukan.
Aku, kamu, dan langkah panjang ini,
menjadi satu cerita yang tak tergesa,
hujan kecil menambah syair dalam hati,
sebab setiap tetesnya menuntun pulang.