Tahun 2012.
Di distrik Yangpu, Shanghai. Berdiri sebuah bangunan tua yang kokoh bernama Blok Yanjiang. Bangunan ini bukan yang tertinggi atau termegah, tapi menjadi rumah bagi keluarga Zheng.
Di sana, Zheng Shu Yi, gadis berusia 17 tahun, menjalani kehidupan remajanya yang sederhana namun hangat.
Ayahnya, Zheng Wenbo adalah seorang pekerja keras dengan senyum yang menenangkan, yang selalu pulang tepat waktu untuk makan malam.
Ibunya, Li Ruolan, adalah pilar keluarga, seorang wanita dengan hati yang lembut yang memastikan rumah mereka selalu dipenuhi tawa dan aroma masakan.
Kehidupan mereka mengalir dengan damai, seperti aliran Sungai Huangpu yang tak jauh dari sana. Shu Yi adalah kebanggaan mereka, gadis yang cerdas dan penuh ambisi, yang berjuang di tengah kesederhanaan untuk meraih impiannya.
Suatu sore yang terik di musim panas, ketenangan Blok Yanjiang terusik. Sebuah truk pindahan berwarna biru tua berhenti di depan lobi. Dari dalamnya, seorang pria dengan wajah yang muram dan langkah yang sedikit gontai turun. Ia adalah Wang Jin Tao, dan di sampingnya, berdiri putranya yang seusia dengan Shu Yi, Wang Jia Wei.
Mereka adalah penghuni baru di unit 502, sebuah apartemen yang sudah lama kosong. Berbeda dengan kehangatan dan keharmonisan yang biasa dirasakan di blok itu, aura ketidakpastian dan ketegangan menyelimuti keluarga Wang.
Wang Jin Tao berbicara dengan nada yang kasar dan menggerakkan barang-barang dengan paksa, sementara Jia Wei hanya mengikuti dalam diam, tatapan matanya tajam namun kosong, seolah sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Tidak ada tawa atau percakapan, hanya kelelahan yang terasa berat dan aura gelap yang samar.
Di balkonnya, Zheng Shu Yi sedang menyiram tanaman ketika ia melihat mereka. Matanya bertemu dengan mata Wang Jia Wei. Di antara kehangatan keluarganya sendiri dan ketenangan yang rapuh dari pemuda itu, sebuah cerita baru yang dipenuhi konflik dan rahasia baru saja dimulai.
SMA Guangming adalah salah satu sekolah terbaik di distrik Yangpu. Tempat dimana Zheng Shu Yi bersekolah. Di sebuah ruang kelas yang ramai, tahun ajaran baru telah dimulai, dan setiap bangku telah terisi... kecuali satu.
Saat pelajaran matematika baru saja dimulai, pintu kelas terbuka, dan seorang guru masuk bersama seorang siswa baru.
"Hari ini kita kedatangan murid pindahan," kata guru itu. "Jia Wei, perkenalkan dirimu."
Dengan suara rendah yang hampir tak terdengar, pemuda itu berucap, "Halo , aku Wang Jia Wei."
Seketika, mata Shu Yi membelalak. Wang Jia Wei? Nama itu bergaung di kepalanya. Ia langsung teringat sosok dua pria yang ia lihat kemarin sore di depan Blok Yanjiang.
'Jadi itu dia?'batinnya.
Tetangga baru itu kini duduk di bangku tepat di sampingnya.
Seolah didorong oleh rasa penasaran dan sifatnya yang ceria, Shu Yi tersenyum ramah. Saat Jia Wei meletakkan tasnya, ia mengulurkan tangan. "Halo, aku Zheng Shu Yi. Kau tetanggaku, kan? Senang bertemu denganmu!"
Jia Wei tidak membalas uluran tangannya. Ia hanya duduk, menoleh ke jendela, dan berbisik dengan suara dingin.
"Gak usah basa-basi."
"Aneh, jutek sekali dia. Padahal aku hanya ingin berkenalan saja tidak lebih. Dasar!" dengus Shu Yi dalam hati.
Sore itu, setelah les tambahan Zheng Shu Yi pulang kerumah. Koridor apartemen Blok Yanjiang biasanya tenang, namun hari itu, suara teriakan dan nada kasar memecah keheningan. Suara itu berasal dari apartemen 502, tempat keluarga Wang tinggal.
Shu Yi berhenti di depan pintu, ragu. Ia mengenali suara ayah Jia Wei, Wang Jin Tao, yang terdengar marah dan frustrasi. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, ia mengintip.
Di dalam, ruangan berantakan dan tegang. Wang Jin Tao terlihat mabuk, menunjuk-nunjuk ke arah Jia Wei. "Kau sembunyikan di mana?! Ayah butuh uang! Cepat berikan!" teriaknya, bau alkohol tercium bahkan dari luar.
Jia Wei berdiri tegak, wajahnya pucat, tapi matanya dipenuhi perlawanan. Di genggamannya, ia memegang sebuah kotak kecil yang terlihat usang. "Tidak," jawabnya dingin. "Ini satu-satunya barang peninggalan Ibu. Kau tidak bisa menjualnya."
Kata-kata itu memicu kemarahan Wang Jin Tao.
"Ibu? Dimana ibumu?! Dia tidak ada di sini! Dia sudah mati!" teriaknya sambil mendorong Jia Wei dengan kasar hingga punggung pemuda itu membentur dinding. Kotak itu terjatuh ke lantai.
"Kalau begitu, Ayah akan ambil sendiri," desisnya. Ia maju, mencengkeram kerah baju Jia Wei. Tanpa ampun, ia melayangkan pukulan ke wajah Jia Wei. Jia Wei tidak melawan, hanya membiarkan dirinya dipukul, matanya tetap kosong, menahan rasa sakit.
Pukulan kedua mendarat, dan Jia Wei tersungkur di lantai, tepat di samping kotak kecil yang terbuka. Di dalamnya, sebuah liontin giok yang indah terbelah menjadi dua. Shu Yi, di balik pintu, membeku. Ini adalah sisi lain dari Wang Jia Wei yang ia lihat. Sisi yang penuh dengan kekerasan dan keputusasaan.
Dan di sana, di lantai, Jia Wei tetap diam, tubuhnya bergetar. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pecahan liontin giok ibunya.
Pintu apartemen 502 terbuka dengan kasar. Wang Jia Wei keluar, langkahnya cepat dan buru-buru. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang lebam. Ia berpapasan langsung dengan Zheng Shu Yi, yang baru saja berdiri di depan pintu tetangganya, terpaku.
Mata Shu Yi membelalak. Ia melihat darah mengalir di pelipis Jia Wei dan tatapan kosong yang lebih dingin dari biasanya. Sebelum ia sempat berucap, Jia Wei
bergegas pergi, menuruni tangga secepat mungkin.
Shu Yi tidak bisa berdiam diri. Kakinya bergerak sendiri, mengikuti Jia Wei. Ia melihat pemuda itu berjalan cepat ke belakang kompleks, menuju taman yang sunyi. Di bawah lampu taman yang redup, Jia Wei duduk di bangku, membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Dengan hati-hati, Shu Yi mendekat. Ia duduk di sampingnya, menjaga jarak. Suaranya selembut mungkin, penuh dengan kekhawatiran yang tulus. "Jia Wei... kau baik-baik saja?"
Jia Wei tidak menjawab. Shu Yi merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah plester. "Ini... untuk lukamu."
Tangannya gemetar saat ia mengulurkan plester itu. Jia Wei mengangkat wajahnya. Matanya yang gelap memancarkan kemarahan, bukan rasa sakit. Dengan kasar, ia menepis tangan Shu Yi hingga plester itu jatuh ke rumput.
"Pergilah." desisnya, suaranya serak dan tajam. Ia berdiri, menatap Shu Yi dengan kebencian. "Aku tidak butuh dikasihani. Jangan ikuti aku. Lupakan apa yang kau lihat. Sekarang, pergi!"
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Shu Yi sendirian di bawah cahaya redup, dengan plester yang tergeletak di rumput sebagai saksi dari penolakannya yang dingin.
Sejak pertemuan di taman belakang, Shu Yi tidak bisa lagi mengabaikan keberadaan Jia Wei. Di sekolah, ia mencoba segalanya untuk mendekati pemuda itu. Ia mencoba bertanya tentang pelajaran matematika, menawarkan bantuan saat ia terlihat kesulitan, atau sekadar menyapa dengan senyum tulus.
Namun, semua usahanya sia-sia. Jia Wei membangun dinding yang tak tergores oleh keramaian kelas, seolah ia adalah sebuah pulau di tengah samudra.
Suatu hari di perpustakaan, Shu Yi melihatnya sendirian di sudut yang sunyi. Ia memberanikan diri duduk di seberangnya, berharap kehadirannya saja bisa menjadi awal percakapan. Namun, saat Shu Yi mengeluarkan buku, Jia Wei segera bangkit, mengemas barang-barangnya, dan pergi tanpa menoleh. Hati Shu Yi terasa perih.
Di kesempatan lain, Shu Yi diam-diam meninggalkan sebuah kotak kecil berisi biskuit di atas meja Jia Wei. Ketika Jia Wei kembali, ia hanya melirik kotak itu dan langsung memasukkannya ke tempat sampah.
Penolakan-penolakan itu terasa seperti tamparan yang berulang. Shu Yi mulai merasa lelah dan bingung. Seolah-olah Jia Wei tidak hanya menolak kehadirannya, tapi juga menolak setiap kebaikan yang ia tawarkan. Ia kembali ke rumah sore itu dengan perasaan hampa dan letih, seolah semua tenaganya telah habis.
Shu Yi berjalan gontai di koridor Blok Yanjiang. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan mengapa Jia Wei begitu dingin. Saat ia hendak mencapai pintu apartemennya, langkahnya terhenti. Dari lorong, ia mendengar suara teriakan keras yang menggema, bukan lagi suara keluarga Wang yang bertengkar, melainkan suara-suara asing yang penuh ancaman.
"Wang Jin Tao! Mana kau?! Bayar utangmu!"
Jantung Shu Yi berdebar kencang. Ia mengintip, dan yang ia lihat adalah dua pria berbadan besar yang mendorong-dorong ayah Jia Wei, yang terlihat kotor dan kacau. Tepat di belakang mereka, Jia Wei berdiri, wajahnya pucat, tapi matanya dipenuhi kemarahan yang membara.
Keributan itu menarik perhatian warga lain, termasuk ayah Shu Yi, Zheng Wenbo, yang keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ia langsung berhadapan dengan penagih utang yang hendak melayangkan pukulan pada Wang Jin Tao.
"Ada apa ini?!" teriak Wenbo.
Dalam kekacauan itu, Jia Wei melangkah maju, mencoba membela ayahnya. Saat salah satu pria hendak memukulnya, Jia Wei menoleh, dan matanya bertemu dengan mata Shu Yi. Hanya satu sepersekian detik, tapi ia melihat Shu Yi berdiri di sana, terperanjat, menyaksikan semuanya.
Detik berikutnya, sebuah pukulan mendarat di wajahnya. Jia Wei tersungkur ke lantai, tepat di depan tatapan terkejut ayahnya. Shu Yi, tanpa berpikir, segera berlari ke arahnya, tidak peduli dengan penolakan atau bahaya. Ia berlutut di sampingnya, memegang tangan Jia Wei yang dingin.
"Cukup!" teriak Shu Yi, menatap tajam ke arah para penagih utang, suaranya dipenuhi tekad yang tidak pernah ia duga ia miliki. "Ini tidak ada hubungannya dengan dia, jangan memukulinya!"
Kata-kata Shu Yi menggantung di udara, menghentikan kekacauan yang terjadi. Terkejut oleh keberanian gadis itu, para penagih utang menatapnya dengan bingung, lalu menoleh ke arah Zheng Wenbo yang berdiri tegak dan tenang di belakang. Mengerti bahwa keributan sudah tidak terkendali, mereka menggerutu dan akhirnya pergi, tidak lupa melontarkan ancaman.
Setelah suasana kembali hening, Zheng Wenbo membantu Wang Jin Tao yang tak berdaya dan membawanya kembali ke apartemennya. Namun, fokus Shu Yi tidak pada mereka. Ia masih berlutut di samping Jia Wei, yang tatapannya kini berubah, dari kebencian menjadi keterkejutan yang murni.
Tanpa berkata apa-apa, Shu Yi membantu Jia Wei berdiri. Ia tidak bertanya apakah ia baik-baik saja. Ia hanya memegang tangannya dengan lembut dan menuntunnya kembali ke taman belakang yang gelap, tempat di mana mereka pertama kali berhadapan.
Di bawah rembulan, Jia Wei akhirnya bicara, suaranya serak. "Kenapa... kenapa kau melakukannya?"
"Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian," jawab Shu Yi. "Aku tidak bisa."
Jia Wei menunduk, wajahnya yang lebam terlihat jelas di bawah cahaya rembulan. "Kau tidak tahu... dia... dia adalah alasan mengapa Ibuku pergi. Dan sekarang, dia sudah menghancurkan sisa kenangan darinya."
Jia Wei mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Dengan gemetar, ia menunjukkannya kepada Shu Yi. Di dalamnya, liontin giok yang pecah berkeping-keping. "Itu satu-satunya yang tersisa."
Melihat kerapuhan dalam dirinya, hati Shu Yi terasa sakit. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memegang pecahan giok itu, lalu, perlahan, ia meletakkan tangannya di atas tangan Jia Wei, memberinya kehangatan.
"Aku minta maaf," bisik Jia Wei. "Aku tidak ingin kau melihat semua ini."
Shu Yi menggeleng. "Kau tak perlu minta maaf, ini bukan salahmu."
Jia Wei menatap liontin giok yang pecah di tangannya, matanya kosong. Entah mengapa, di depan Zheng Shu Yi, semua tembok yang ia bangun runtuh begitu saja. Suara yang biasanya dingin kini bergetar saat ia memulai kisahnya, perlahan, seperti mencoba menyusun kembali pecahan-pecahan kenangan yang menyakitkan.
"Adikku... Wang Xinyue.. ia berusia delapan tahun. Setahun yang lalu, ia sakit parah. Demamnya tinggi, dan ia butuh ke rumah sakit." Suaranya tercekat. "Tapi Ayah... dia menghabiskan uangnya di tempat judi."
Shu Yi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mendengarkan, tatapannya lekat, tanpa sedikit pun rasa kasihan-hanya empati yang tulus.
"Ia... ia meninggal." Jia Wei menunduk, air mata yang selama ini ia tahan tumpah membasahi celananya. "Lalu Ibuku... ia terguncang.. ia tidak bisa menanggung kepergian adikku. Ia tidak lagi makan, tidak lagi bicara. Kemudian Ibuku juga meninggalkan ku"
Jia Wei akhirnya mengangkat kepalanya, air mata mengalir di wajahnya. "Aku benci Ayahku. Aku harus membencinya. Tapi aku... aku tidak bisa. Aku terlalu lemah untuk melawan." Suaranya berubah menjadi rintihan yang pilu. "Aku hanya bisa melihatnya... aku tidak bisa menyelamatkan mereka."
Saat itu, Shu Yi tidak mengucapkan satu pun kata. Ia tidak menawarkan plester, tidak mengucapkan "aku turut berduka." Ia hanya menggeser tubuhnya lebih dekat, lalu dengan lembut, ia mengulurkan tangannya, menutupi tangan Jia Wei yang menggenggam pecahan giok. Kehangatannya terasa nyata dan menenangkan.
"Kau sudah cukup kuat," bisik Shu Yi, suaranya mantap dan penuh ketenangan. "Kau sudah bertahan sejauh ini. Mulai sekarang, kau tak akan sendirian. Ada aku"
Jia Wei menatap matanya. Dan di sana, di bawah cahaya redup lampu taman, ia akhirnya menemukan sebuah rumah. Bukan di tempat tinggalnya, bukan di keluarganya yang hancur, tetapi di dalam tatapan mata Shu Yi yang tidak lagi meninggalkannya. Ia tidak lagi harus sendirian.
Sejak malam di taman belakang itu, dinding tak kasat mata yang mengelilingi Jia Wei perlahan mulai runtuh. Perubahannya tidak drastis, tapi terasa nyata. Ia tidak lagi menghindar. Saat Shu Yi menyapanya di sekolah, ia akan membalasnya dengan gumaman pelan. Saat Shu Yi bertanya tentang pekerjaan rumah, ia akan menjawabnya, bahkan kadang memberi penjelasan singkat.
Rutinitas baru pun terbentuk di antara mereka. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, mereka akan berjalan bersama menuju halte, dan pulang menggunakan bus yang sama. Perjalanan yang dulu membosankan kini terasa berbeda. Mereka jarang mengobrol, dan seringkali hanya ada keheningan. Namun, itu adalah keheningan yang nyaman, yang terasa penuh dengan percakapan tak terucapkan.
Suatu sore, mereka duduk berdampingan di kursi belakang bus. Jia Wei menatap keluar jendela, menyaksikan jalanan Yangpu yang ramai. Tiba-tiba, sebuah pemandangan menarik perhatiannya: seorang anak kecil di trotoar tersenyum ceria sambil memegang balon. Tanpa sadar, sebuah senyum kecil yang nyaris tak terlihat terukir di bibir Jia Wei.
Senyum itu hanya berlangsung sepersekian detik, namun Shu Yi melihatnya. Jantungnya berdebar pelan. Ada rasa hangat yang tak terlukiskan menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu apa yang dilihat Jia Wei, atau apa yang membuatnya tersenyum, tapi melihat gurat bahagia, sekecil apa pun, di wajah pemuda itu adalah hal terbaik yang pernah ia lihat.
Mungkin, pikir Shu Yi, kebahagiaan itu tidak perlu datang dalam bentuk yang besar. Cukup sekadar melihat seseorang yang kau pedulikan, akhirnya bisa tersenyum.
Rutinitas baru mereka menjadi sebuah kenyamanan. Setiap pulang sekolah, tawa kecil Shu Yi dan senyum tipis Jia Wei mengisi ruang kosong di dalam bus. Jia Wei mulai menceritakan hal-hal kecil, seperti pelajaran yang sulit atau lelucon yang ia dengar. Meskipun percakapan itu sederhana, bagi Shu Yi, itu lebih berharga dari apa pun. Ia merasa telah menemukan sebuah ruang rahasia di hati Jia Wei, tempat yang selama ini tertutup rapat.
****************
Hari-hari mereka mengalir dengan lembut, diwarnai dengan tawa kecil dan percakapan bisik-bisik di bawah langit malam yang penuh bintang. Setiap petang di atap gedung, di antara bisikan angin, mereka berdua berbagi mimpi.
Jia Wei menatap gemerlap lampu kota yang membentang di bawah. "Cita-citaku..." ia memulai, suaranya kini terdengar mantap. "Aku ingin mengubah hidupku. Ingin jadi orang yang berhasil, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk bisa melindungi orang-orang yang ku sayangi."
Ia menoleh ke arah Shu Yi, senyum tulusnya kini sudah mudah ditemukan di wajahnya. "Bagaimana denganmu?"
Shu Yi tersenyum, wajahnya cerah. "Aku ingin menjadi seorang jurnalis," katanya. Itu adalah ambisi yang sudah ia pendam sejak lama. "Aku ingin menemukan kebenaran dan mengungkap rahasia yang tersembunyi, juga memastikan keadilan ditegakkan."
Jia Wei mengangguk, mengerti. Ia tidak butuh penjelasan lebih. Ia tahu. Shu Yi tidak hanya ingin menjadi sukses, ia ingin menggunakan suaranya untuk melindungi orang-orang yang rentan.
Malam itu, mereka duduk berhadapan, di bawah langit Shanghai yang luas. Dua jiwa yang dulunya sendirian, kini menemukan jalan untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga bermimpi. Mimpi mereka tidak lagi hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang harapan, dan sebuah janji untuk membangun masa depan yang lebih baik, bersama-sama.