Setiap pagi, Wafi putra Zidan selalu menunggu angkutan kota biru muda di depan gang kecil rumahnya. Sudah hampir tiga tahun, sejak ia pertama kali masuk SMA, rutinitas itu tak pernah berubah.
Angkot yang lewat selalu sama. Rutenya sama. Wajah-wajah penumpangnya pun sebagian besar itu-itu saja.
Ia akan duduk di kursi dekat jendela, memasang earphone, memutar lagu yang sama — Kisah yang Tak Sempurna — lalu membiarkan pikirannya melayang di antara jalanan yang penuh debu dan kenangan kecil yang menempel di setiap sudut kota.
Namun, di penghujung masa sekolahnya — di bulan-bulan terakhir kelas tiga — sesuatu berubah.
Pagi itu, matanya menangkap seseorang di pojok belakang angkot. Seseorang yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya.
Gadis itu duduk tenang, memandangi jalanan yang berlalu. Kulitnya putih pucat seperti sinar lampu pagi yang redup, matanya sipit dan tenang, rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya... wajah itu begitu damai.
Ia tampak tidak terganggu oleh suara klakson, oleh penumpang yang naik-turun, oleh panas matahari yang mulai menyelinap masuk dari celah jendela.
Ada aura hening di sekelilingnya — hening yang anehnya terasa menenangkan.
Nama Gadis itu adalah fania khaliza arin.
Sejak hari itu, angkot biru muda itu tak lagi terasa sama bagi Wafi.
Ia mulai menunggu kehadiran fania
Mulai menghitung hari, berharap bisa duduk di kursi yang cukup dekat untuk mencuri pandang, tapi cukup jauh agar tak ketahuan.
Namun seiring waktu, wafi mulai menyadari hal-hal yang tak masuk akal.
Fania tidak pernah turun.
Tidak pernah membayar ongkos.
Tidak pernah berbicara dengan siapa pun.
Dan lebih anehnya lagi — hanya wafi yang bisa melihatnya.
Sampai akhirnya, ia mengetahui kebenaran yang mengguncang hatinya — bahwa fania khaliza arin sudah tiga tahun koma di rumah sakit, sejak kecelakaan malam sebelum perpisahan sekolahnya dulu.
Namun entah mengapa, jiwanya masih di sini.
Masih naik angkot yang sama.
Masih mengulang kebiasaan semasa hidupnya.
Dari situlah kisah mereka dimulai.
Tentang cinta yang melampaui batas antara hidup dan mati.
Tentang dua dunia yang bersinggungan — dunia yang nyata, dan dunia yang tertinggal.
---
“Cepetan, Fi! Angkotnya udah dateng tuh!”
Raka berteriak dari ujung gang sambil menggoyang-goyangkan tasnya.
Wafi berlari kecil, sepatu hitamnya berdebu karena jalanan tanah.Ia merapikan rambut, sedikit terengah, lalu naik ke dalam angkot biru muda yang hampir penuh.
“Bang, dua orang depan,” katanya pada sopir.
Tapi saat matanya menatap ke belakang, langkahnya terhenti.
Ada seseorang di sana.
Duduk di pojok paling belakang.
Gadis itu mengenakan seragam SMA — putih abu-abu. Tapi entah kenapa, warna bajunya terlihat sedikit berbeda, agak pudar dan lusuh, seolah dicuci berkali-kali hingga memutih keperakan. Ia duduk dengan tenang, menatap keluar jendela dengan wajah yang datar tapi damai.
Karina tidak tahu kenapa pandangannya tak bisa lepas.
Ada sesuatu yang… memanggil.
“Ngapain, Fi? Ayo duduk!” seru Raka, menepuk bahunya.
Wafi tersadar. Ia cepat-cepat duduk di kursi dekat jendela. Tapi sesekali, matanya kembali melirik ke belakang. Gadis itu masih di sana, tak bergeming.
Bahkan saat angkot berguncang melewati jalan rusak, ia tetap tegak, seperti tak terpengaruh oleh apa pun.
Di halte berikutnya, beberapa penumpang turun. Tapi gadis itu — tetap.
Ia tidak bergerak. Tidak menatap siapa pun. Tidak melakukan apa-apa selain memandang ke luar jendela.
“Siapa, sih, cewek itu?” gumam Wafi tanpa sadar.
Siska menoleh. “Cewek mana?”
“Yang di belakang…” wafi menoleh.
Tapi kursi di pojok belakang itu kosong.
Tak ada siapa pun.
Padahal baru beberapa detik lalu — ia masih di sana.
“fi, kamu ngelamun, ya? Tadi gak ada siapa-siapa dari awal,” kata Raka sambil terkekeh kecil. “Pagi-pagi udah halu.”
WafI hanya diam. Ia yakin matanya tidak salah.
Wajah itu jelas sekali — pucat, tenang, dan... anehnya, seperti menyimpan kesedihan yang dalam.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, hatinya tidak tenang.
Ia menatap jendela, tapi bayangan gadis itu terus terpantul di benaknya.
Ia bahkan bisa mengingat detailnya — seragamnya, posisi duduknya, bahkan tatapan matanya yang kosong namun hidup.
Sampai di sekolah, langkahnya terasa ringan tapi juga gemetar.
Saat melewati gerbang, ia sempat menoleh ke jalanan.
Dan di kejauhan, angkot biru muda itu masih berhenti sebentar, seperti menunggu seseorang.
Di pojok belakangnya — wafi yakin ia melihat siluet yang sama.
Fania.
Dan sejak hari itu, pagi Wafi tak pernah sama lagi.
Ia menunggu angkot bukan karena ingin cepat sampai sekolah, tapi karena ingin tahu — apakah gadis itu akan muncul lagi?
Dan tiap kali ia muncul, hanya wafi yang bisa melihatnya.
---
Keesokan paginya, Wafi berangkat lebih cepat dari biasanya. Embun masih menempel di dedaunan, dan hawa pagi membuat napasnya terlihat seperti asap tipis.
Ia berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot biru muda yang mulai terasa seperti rumah kedua penyimpanan rahasianya.
Angkot itu datang beberapa menit kemudian, mengerem pelan dengan bunyi khas yang sudah ia hafal. Begitu pintu geser dibuka, Wafi menelan ludah.
Ada dia.
Gadis itu.
Duduk di bangku pojok — tempat yang sama — dengan posisi yang sama. Rambutnya berantakan indah, menutupi sebagian pipinya. Ia masih memandangi jalanan, seolah dunia luar lebih menarik daripada apa pun yang terjadi di dalam angkot.
Bedanya…
Hari ini tatapan matanya tidak sepenuhnya kosong.
Ada sedikit kesadaran di sana.
Seperti ia menyadari kehadiran Wafi.
Wafi naik pelan, hampir lupa mengucap “Bang, satu belakang,” pada sopir. Ia berjalan ke kursinya, menahan diri agar tidak kelihatan aneh. Tapi mata mereka sempat berpapasan.
Hanya sepersekian detik.
Tapi itu cukup membuat jantung Wafi berdebar seperti genderang perang.
Lalu—
Gadis itu tersenyum.
Tipis. Halus. Hampir tak terlihat.
Tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh Wafi merinding.
Karena senyum itu… bukan senyum manusia biasa.
Senyum itu terasa dingin, sendu, seolah diseret dari masa yang sudah lama hilang.
Wafi menunduk cepat, jari-jarinya gemetar.
“Aduh, kenapa lagi gue ini…”
Ia tidak berani melihat ke belakang lagi sampai angkot berhenti di halte. Beberapa penumpang turun, tapi seperti biasa… gadis itu tetap.
Tak bergerak. Tak bicara. Tak pernah turun.
---
Hari-hari berikutnya, kejadian itu terus berulang. Kadang gadis itu muncul. Kadang tidak. Kadang ia duduk sambil menatap jalanan, kadang menatap langsung ke arah Wafi.
Hingga suatu pagi, angkot hampir kosong. Hanya ada Wafi, sopir, dan… dia.
Wafi memberanikan diri menoleh.
“Em… kamu…” suaranya hampir tidak terdengar.
Gadis itu menatapnya.
Tatapannya lembut tapi dalam, seolah ia melihat seluruh isi hati Wafi.
Lalu—
“Kamu bisa lihat aku?”
Suara itu lirih. Aneh. Seperti gema yang datang dari jauh.
Wafi membeku.
“B-bisa…”
Gadis itu tersenyum samar, kali ini lebih jelas.
“Akhirnya.”
Wafi berkedip. “Akhirnya?”
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam ujung rok seragamnya.
“Namaku…”
Ia seperti ragu.
“…Fania.”
Wafi menahan napas.
Nama itu terasa familiar. Sangat familiar.
“Fania siapa?” bisiknya.
Gadis itu menatapnya lagi.
“Fania Khaliza Arin.”
Rasanya seperti batu besar jatuh ke dada Wafi.
Nama itu…
Ia pernah mendengarnya. Dari kabar lama. Dari sekolah yang gempar tiga tahun lalu.
Seorang siswi kelas dua meninggal dalam kecelakaan sepulang dari latihan perpisahan sekolah.
Tapi tubuhnya tidak pernah benar-benar sadar. Ia… koma. Tidak bangun lagi hingga sekarang.
Fania.
Gadis yang hilang dari dunia.
Gadis yang kini duduk tepat di hadapan Wafi.
---
Keesokan harinya, Wafi memberanikan diri mencari tahu. Ia mendatangi ruang arsip sekolah yang sepi pada jam istirahat.
Ia menemukan berita yang sama:
> “Fania Khaliza Arin — siswi kelas XI — mengalami kecelakaan di simpang empat…”
“Kondisinya koma… sudah tiga tahun…”
“Dipindahkan ke ruang perawatan jangka panjang di RS Aulia Medika.”
Wafi memejamkan mata.
Kalau begitu…
Apa yang setiap pagi ia lihat di angkot?
Fania yang duduk sendiri…
Fania yang tersenyum padanya…
Fania yang berbicara…
Itu… apa?
Jiwa?
Arwah?
Bayangan?
Atau sekadar kenangan yang tersisa di dunia?
Ia tidak tahu.
Satu-satunya hal yang ia tahu adalah:
Ia ingin bertemu Fania lagi.
---
Pagi berikutnya, Fania kembali muncul.
Kali ini angkot tidak terlalu ramai. Mereka duduk bersebelahan — walau sebenarnya jarak mereka hanya beberapa sentimeter terasa seperti dunia yang tak terjangkau.
“Kenapa kamu selalu di angkot ini?” tanya Wafi pelan.
Fania menatap keluar jendela, bibirnya bergerak sedikit.
“Aku… lupa,” jawabnya lirih.
“Tapi seingatku… setiap pagi aku naik angkot ini. Waktu masih sekolah dulu.”
Ia tersenyum tipis. “Rasanya seperti kebiasaan yang tidak mau pergi.”
Wafi menelan ludah.
“Itu sebelum… sebelum kecelakaan?”
Fania tidak menjawab.
Namun rahangnya mengeras, dan matanya berkaca-kaca.
“Aku takut,” katanya.
“Kadang aku merasa… aku ada di dua tempat.
Kadang di sini…”
Ia menatap angkot yang berguncang.
“Kadang di ruangan putih yang dingin dan sepi.”
Wafi merasakan dadanya sesak.
“Fania…”
Ia ingin menyentuh bahunya — tapi sebelum tangannya tiba, tubuh Fania memudar seperti kabut tertiup angin.
Dalam hitungan detik…
Ia menghilang.
---
Sejak hari itu, Fania muncul dan menghilang sesukanya.
Kadang ia bicara banyak, kadang diam seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh.
Tapi setiap kali muncul, ia selalu tersenyum pada Wafi.
Dan Wafi…
Tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.
Ia jatuh cinta.
Pada gadis yang tidak sepenuhnya hidup.
Tidak sepenuhnya mati.
Cinta yang menggantung di dua dunia.
---
Suatu malam, Wafi tidak bisa tidur. Ia mengambil motor dan pergi ke rumah sakit tempat Fania dirawat.
Di sana, ia menemukan kenyataan yang membuatnya hampir roboh.
Fania terbaring di ranjang putih, tubuhnya kurus dan lemah. Alat-alat medis mengelilinginya. Rambutnya dipotong pendek. Matanya tertutup. Nafasnya naik turun pelan.
Wafi berdiri terpaku.
Gadis yang tiap pagi duduk di angkot…
Kini terlelap seperti patung kaca yang hampir pecah.
Wafi menggenggam pagar besi ranjang itu.
“Fania…” bisiknya. Suaranya bergetar.
“Kalau kamu masih bertahan… tolong kembali. Biar aku bisa bicara lagi sama kamu… beneran kamu.”
Saat itulah, suara lembut terdengar dari belakangnya.
“Wafi…”
Ia menoleh cepat.
Fania.
Seragamnya. Rambutnya. Senyum sendunya.
Tapi tubuhnya tembus cahaya, redup seperti bayangan bulan.
Ia berdiri tepat di samping tubuhnya yang koma.
“Aku lelah…” suara Fania pecah.
“Tiga tahun… aku tidak tahu harus pergi atau tetap tinggal…”
Wafi hampir menangis.
“Kalau kamu pergi… aku gak bakal bisa ketemu kamu lagi.”
Fania tersenyum lembut.
“Tapi kalau aku tinggal… aku tetap tidak hidup.”
Ia mendekat. Menatap Wafi dengan mata yang penuh luka.
“Kamu harus biarkan aku memilih,” katanya.
“Apa aku harus kembali… atau menghilang.”
Wafi menggenggam udara — ingin menyentuh, tapi tidak bisa.
“Kalau kamu bisa… aku ingin kamu kembali,” kata Wafi.
“Aku ingin ngobrol sama kamu tanpa batas. Tanpa takut kamu hilang.”
Fania menatap tubuhnya yang terbaring.
Lalu ia menatap Wafi.
“Kalau begitu… tunggu aku.”
Ia tersenyum.
“Besok… mungkin aku bangun.”
---
Pagi itu, Wafi menunggu angkot dengan gugup.
Ia menatap setiap sudut.
Bangku pojok tampak kosong.
Sampai angkot tiba di halte terakhir.
Sampai sekolah.
Sampai jam masuk.
Fania tidak muncul.
Untuk pertama kalinya sejak ia melihat arwah itu… angkot terasa benar-benar kosong.
Seperti sesuatu telah berakhir.
Atau baru saja dimulai.
---
Pulang sekolah wafi buru-buru ke rumah sakit untuk melihat fani. Wafi takut jika ketidak munculah fania adalah berarti dia tidak akan bangun.
Wafi tiba di rumah sakit dengan napas terengah-engah.
Ia berlari ke ruangan Fania.
Di sana, Fania duduk bersandar di ranjang.
Matanya terbuka. Kulitnya masih pucat, tapi hidup. Benar-benar hidup.
Dan ketika melihat Wafi…
Ia tersenyum — kali ini hangat, manusiawi, penuh cahaya.
“Kamu datang,” bisiknya.
Wafi tidak bisa menahan air matanya.
“Fania…”
Fania mengulurkan tangan.
Dan untuk pertama kalinya…
Wafi bisa menggenggamnya.
“Terima kasih,” kata Fania.
“Sudah menemani aku selama aku… tersesat.”
Wafi menggeleng, memegang erat tangannya.
“Aku tetap akan duduk di angkot itu. Bangku pojoknya gak boleh kosong.”
Fania tertawa kecil.
“Tapi aku gak bisa naik angkot dulu.”
“Gak apa. Nanti aku tunggu.”
Wafi tersenyum.
“Sampai kamu cukup kuat buat duduk di bangku pojok lagi.”
Fania menunduk, pipinya memerah.
“Janji?”
“Janji.”
---
Tiga bulan kemudian, saat Fania sudah cukup sehat…
Pagi itu, Wafi duduk di angkot.
Ia menatap bangku pojok yang dulu selalu kosong.
Hingga seseorang naik.
Fania.
Dengan seragam putih abu barunya.
Ia duduk pelan di pojok belakang, mengikat rambutnya cepat-cepat.
Menatap Wafi.
Dan tersenyum.
Senyum hangat.
Senyum hidup.
Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun lalu, bangku pojok itu tidak lagi menyimpan roh yang terjebak.
Pagi itu…
Ia menyimpan seorang gadis yang kembali ke dunia.
Gadis yang akhirnya bisa ia genggam.
Gadis yang dulu hanya hening…
tapi kini nyata.
Gadis di bangku pojok.
Gadis yang pulang.
---