Hujan tidak pernah berhenti sejak pagi. Langit pekat, seolah menggantungkan duka di setiap tetes air yang jatuh. Hasan berdiri di depan loket bus Pekanbaru–Sibolga dengan tas ransel besar yang ia peluk erat. Di dalamnya ada makanan ringan, dua botol susu kotak, dan baju hangat kecil—semua ia siapkan untuk dua putrinya, Aira dan Tasya.
Dua bulan lalu, ia meninggalkan mereka di rumah sederhana peninggalan orang tuanya di Sibolga untuk merantau. Saat itu, ia hanya ingin mencari uang agar bisa memperbaiki rumah, menyekolahkan mereka, memberi kehidupan yang lebih layak. Tapi takdir berubah lebih cepat daripada langkah kaki manusia.
Kabar buruk itu datang tiga hari lalu: Sibolga diterjang banjir bandang. Banyak rumah hanyut. Banyak orang hilang. Banyak nama tidak ditemukan.
Termasuk dua putrinya.
Hasan langsung pulang. Ia menaiki bus pertama yang ia temui tanpa peduli ongkosnya. Namun perjalanan tidak mulus. Saat bus memasuki wilayah pegunungan, jalan telah terputus. Air mengalir deras menuruni bukit, menggulung batu-batu besar. Sopir menggeleng.
“Bang, sampai sini saja. Bus nggak bisa lewat. Mau lewat pun bahaya, masih ada longsor,” katanya dengan suara getir.
Hasan turun. Hujan langsung membasahi wajah dan bajunya. Tasnya semakin berat. Tapi ia tak peduli.
“Nak… tunggu ayah. Ayah datang…”
Ia berjalan kaki, melawan arus yang dingin menggigit tulang. Ketinggian air sampai selutut, kadang naik setinggi pinggang ketika arus deras menyapu dari samping. Beberapa kali ia hampir tumbang, namun setiap kali tubuhnya goyah, bayangan wajah Aira dan Tasya muncul dalam ingatan. Senyum mereka. Tawa mereka. Cara Aira memeluk pinggangnya sebelum tidur. Cara Tasya menyanyikan lagu sebelum mandi.
Itu yang membuatnya tetap berdiri.
Medan semakin terjal. Jalanan berlumpur. Beberapa titik longsor membuatnya harus memanjat sisa akar pohon untuk melewati tebing kecil. Sesekali, ia berpapasan dengan warga yang turun dari arah Sibolga.
“Bang, jangan ke sana. Desa banyak yang hanyut.”
“Air sudah dua meter lebih!”
“Banyak korban… banyak yang belum ditemukan…”
Hasan hanya menjawab dengan helaan napas panjang dan sepasang mata yang memohon.
“Tolong… kalau lihat dua anak perempuan, umur delapan dan lima tahun… bilang sama mereka, ayah sedang cari.”
Ia tak berhenti. Harapannya hanya satu: menemukan kedua putrinya hidup-hidup.
---
Ketika Hasan sampai di bibir desa, langkahnya berhenti. Dadanya terasa hampa.
Desa itu bukan lagi desa.
Hanya lautan coklat mengganas.
Rumah-rumah lenyap, kecuali beberapa atap yang masih tampak di permukaan air yang kotor.
Hasan tersungkur. Lututnya jatuh ke tanah berlumpur. Air mata bercampur hujan, mengalir tanpa ia sadari.
“Ya Allah… Anak-anakku…”
Ia berteriak memanggil nama mereka berulang-ulang, suaranya parau, hanyut bersama gemuruh banjir. Tidak ada jawaban. Tidak ada suara anak kecil. Tidak ada tawa yang ia rindukan. Hanya angin, hujan, dan bau kematian.
Karena air terus naik, warga yang selamat bergerak menuju bukit di sebelah desa. Hasan ikut bersama mereka, setengah diseret oleh beberapa pria. Di bukit itu, ratusan orang sudah menggigil di bawah tenda darurat. Sebagian menangis mencari keluarga. Sebagian hanya menatap kosong ke langit.
Hasan mencari dari satu kelompok ke kelompok lain, menyebut nama putrinya berulang-ulang.
“Aira… Tasya… Nak, ayah datang… Aira sayang… Tasya…”
Tapi tetap saja tidak ada jawaban.
Malam itu, ia tidak tidur. Ia duduk di tanah becek, basah, dan dingin, memeluk tasnya seakan itu yang tersisa dari kehidupannya. Sesekali ia menengadah, memohon pada Tuhan, memohon keajaiban.
---
Keajaiban itu datang saat fajar.
Saat kabut tipis menyelimuti bukit, seorang relawan PMI naik dengan membawa daftar korban selamat.
“Ini ada rombongan yang tadi malam dievakuasi dari bukit seberang,” katanya lantang. “Ada beberapa anak kecil juga!”
Hasan langsung berdiri. Jantungnya serasa akan pecah.
“Anak kecil?!” suaranya gemetar. “Perempuan? Dua orang?”
Relawan itu membuka catatan basahnya.
“Yang saya ingat, ada anak umur delapan tahunan yang menggandeng adiknya yang lebih kecil. Mereka kedinginan, katanya sudah dua hari nggak makan.”
Hasan menjatuhkan tasnya. Kakinya gemetar hebat.
Itu pasti mereka. Itu pasti Aira dan Tasya.
Tanpa menunggu penjelasan, ia berlari menuruni bukit, menyeberangi jalan kecil menuju bukit seberang tempat rombongan itu dievakuasi. Air masih tinggi, arus masih deras, tapi kali ini ia tidak merasakan apa pun.
Hanya satu suara di kepalanya:
“Nak… ayah datang…”
Di balik tenda biru besar, ia melihat dua tubuh kecil terbungkus selimut. Rambut mereka kusut, wajah mereka pucat karena dingin. Aira sedang memeluk Tasya erat-erat.
“Aira…” suara Hasan pecah. “Tasya…”
Aira mengangkat kepala. Mata kecilnya membesar, bergetar, lalu berlinang.
“Ayah…?”
Tasya ikut menatap, lalu menangis keras.
“Ayah jemput kami… ayah… kami takut…”
Hasan berlari dan memeluk keduanya erat, seakan dunia yang hancur tak mampu memisahkan mereka lagi. Tangis ketiganya pecah dalam satu pelukan panjang—pelukan yang menandakan bahwa harapan tidak pernah benar-benar hanyut.
“Maafkan ayah… Ayah telat datang…" Hasan menutup mata, mencium kepala mereka satu per satu. “Tapi sekarang… ayah di sini. Ayah sudah datang, Nak.”
Dalam deras hujan, dalam bau lumpur dan kematian, ada tiga hati yang kembali dipertemukan—dan bagi Hasan, itu lebih dari cukup untuk membuat dunia hidup kembali.
---
Hai teman-teman saya banyak mengambil tema cerpen tentang bencana yang melanda pulau Sumatera saat ini. Sedih rasanya melihat teman-teman yang berjuang, lebih sakit lagi saat kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Saya tinggal di Sumatra Utara perbatasan dengan aceh. Saya melihat dampak bencana itu, banyak korban jiwa, harta, dan lain. Lebih sakit banyak juga orang yang memanfaatkan kejadian ini dengan menaikkan harga pangan. Do'a kan semoga teman teman yang terdampak di beri ketabahan.
Nb:daerah saya juga terkenal bencana dan Alhamdulillah rmh saya tidak kena