(Cerpen dari Seri: “Di Mana Kita Bermula? Bukan Titik, Tapi Lingkaran.”)
***
Peron Lima Stasiun Tua bukan lagi tempat orang menunggu kereta.
Setelah revitalisasi, peron itu berubah menjadi ruang pamer fotografi kota, dengan lampu-lampu gantung yang temaram dan suara musik jazz pelan mengalun dari speaker kecil.
Di sinilah Nara, seorang penulis naskah radio yang hidupnya dipenuhi suara orang-orang, tapi jarang mendengar suaranya sendiri, berdiri memandangi sebuah foto besar berukuran 120x80 cm.
Foto itu adalah gambar peron lima sebelum direstorasi: gelap, kusam, penuh lumut.
Tapi yang membuat Nara terpaku bukanlah peronnya.
Melainkan sosok kecil di ujung foto:
Seorang anak laki-laki belasan tahun, menggendong ransel usang, berdiri tepat di bawah lampu kuning yang hampir padam.
Itu dirinya.
Dua belas tahun lalu.
Hari ketika ibunya meninggalkannya dengan alasan “kelak kamu akan mengerti”.
Nara tersenyum miris. “Aku masih belum mengerti, Bu.”
Ia mendekat, matanya menelusuri setiap detail.
Hingga ia membaca nama fotografer yang terpampang di label bawah frame:
“Mahesa A.”
Jantungnya langsung jatuh.
Mahesa.
Nama yang sama.
Orang yang dulu pernah menjadi sahabatnya, rivalnya, sekaligus seseorang yang hampir ia cintai—kalau saja mereka tidak berpisah dengan cara paling konyol: salah paham yang dibiarkan membesar selama bertahun-tahun.
Nara mengambil napas panjang.
“Takdir memang suka bercanda,” gumamnya.
“Sepertinya iya.”
Suara itu muncul dari sampingnya—dalam, tenang, familiar.
Nara menoleh.
Mahesa, dengan kamera tergantung di leher dan rambut sedikit berantakan, berdiri di sana. Matanya menatapnya begitu lama, seolah-olah ia memastikan bahwa sosok yang berdiri di depannya benar-benar nyata.
“Nara?”
“Mahesa.”
Keduanya tertawa hambar, seperti dua orang yang tidak tahu harus mulai dari mana.
***
“Kamu lihat fotoku?” tanya Mahesa, meski jelas ia sudah tahu jawabannya.
“Aku lihat,” jawab Nara. “Aku juga… lihat diriku sendiri di dalamnya.”
“Hmm.”
“Kenapa kamu foto peron itu… di hari itu?”
Mahesa menatap lama ke arah foto, sebelum menjawab pelan, “Karena aku inget kamu pernah bilang… kalau peron lima itu hari terburuk dalam hidupmu. Jadi aku datang ke sana. Nggak sengaja malah nangkep adegan itu.”
Nara menahan napas.
“Aku kira kamu nggak peduli soal itu.”
“Aku peduli,” balas Mahesa, suaranya serius. “Aku cuma nggak tahu gimana cara menunjukkannya ke kamu waktu itu.”
Hening menyergap mereka.
Lampu peron lima memantulkan sinar kuning lembut di wajah Nara.
“Kenapa kamu pajang fotonya?” tanya Nara.
“Untuk nunjukkin ke orang-orang bahwa tempat yang hancur bisa jadi indah kalau diberi kesempatan.”
“Termasuk orang-orang?”
Mahesa mengangkat bahu. “Termasuk hubungan yang hancur juga.”
Nara menatapnya lebih lama dari yang seharusnya.
***
Mereka berjalan menyusuri galeri peron. Di kiri-kanan, foto-foto lain tergantung—tentang stasiun, tentang kota lama, tentang manusia-manusia yang singgah sebentar lalu pergi entah kemana.
“Masih suka nulis?” tanya Mahesa.
“Suka,” jawab Nara. “Tapi aku sekarang penulis naskah radio. Kamu masih… fotografer keliling?”
Mahesa mengangguk. “Kadang keliling, kadang tetap. Tapi aku suka kembali ke sini.”
“Kenapa?”
“Karena stasiun ini selalu mengingatkanku kalau orang datang dan pergi. Termasuk kamu.”
Nara berhenti melangkah.
Mahesa mengembuskan napas. “Nara, waktu kita ribut dulu… aku terlalu keras kepala. Aku kira kamu yang salah. Aku nggak dengar penjelasanmu. Seandainya aku—”
“Mahesa,” potong Nara lembut. “Kita dua-duanya salah. Aku juga nggak coba bicara lagi setelah itu.”
Mahesa tersenyum pahit. “Kita kayak dua rel kereta yang memanjang bareng dalam waktu lama… tapi begitu belok sedikit, langsung kehilangan arah.”
“Rel juga bisa ketemu lagi di stasiun berikutnya,” balas Nara.
Mahesa menatapnya—kali ini lebih lembut.
***
Di ujung galeri, mereka tiba di sebuah foto yang berbeda dari semua:
Foto ini menampilkan sepasang sepatu kanvas kecil, berdiri di atas garis kuning peron.
“Ini kapan?” tanya Nara.
“Kemarin sore,” jawab Mahesa. “Aku pikir bagus aja.”
“Tapi kenapa… sepi banget? Bahkan nggak ada penumpang atau pedagang?”
“Karena aku sengaja nunggu sampai semua pergi.”
Nara mengerutkan dahi.
“Untuk apa?”
Mahesa menatap foto itu cukup lama sebelum menjawab.
“Untuk mengingatkan diri sendiri… bahwa ruang kosong bisa diisi ulang. Tempat yang sepi bisa ditempati lagi. Hati yang pernah kamu tinggalkan… bisa dibuka lagi.”
Nara terdiam.
“Aku bukan minta kita kembali,” jelas Mahesa. “Aku cuma… ingin bicara lagi. Ingin ada di orbit kamu lagi, walaupun sejenak.”
Nara mengembuskan napas panjang. “Kamu tahu aku takut, kan?”
“Aku juga,” katanya. “Tapi ketakutan kita dulu yang bikin kita menjauh. Kalau kita ulangin lagi, kita cuma bikin lingkaran yang sama.”
Ucapan itu seperti mengetuk ruang yang sudah lama tertutup dalam hati Nara.
***
Tepat pada saat itu, listrik galeri berkedip sesaat.
“Wah,” gumam Mahesa. “Kayaknya sistemnya lagi error.”
“Jangan bilang kamu juga yang motret lampu stasiun sebelum rusak,” canda Nara.
Mahesa tertawa kecil. “Tenang, kali ini bukan aku.”
Lampu kembali stabil.
Tapi suasana hening setelahnya terasa berbeda—lebih hangat, lebih jujur.
“Nara.”
“Hm?”
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Boleh.”
“Kalau waktu itu aku datang ke kamu sehari lebih cepat… kita masih bersama?”
Pertanyaan itu menghentikan langkah Nara.
Peron lima terasa seperti kembali ke tahun-tahun lalu—sunyi, dingin, dan penuh kemungkinan yang tidak pernah dipilih.
Nara menatap Mahesa. “Entahlah. Tapi aku rasa… kita nggak punya kapasitas untuk saling mencintai waktu itu.”
Mahesa menunduk pelan.
“Sekarang?”
Nara menahan napas.
“Sekarang… kita mungkin sudah lebih utuh.”
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Mahesa tersenyum dengan cara yang membuat Nara merasa tidak sedang dilihat—tapi sedang ditemukan.
***
Di luar, suara pengunjung makin ramai. Musik jazz berubah menjadi musik indie lembut. Bau kopi dari kedai di lorong stasiun masuk lewat sela-sela pintu.
“Nara,” panggil Mahesa ketika mereka hendak keluar galeri.
“Ya?”
“Kalau kamu nggak keberatan… aku mau motret kamu di peron lima.”
“Motret aku?”
“Iya. Untuk nutup lingkaran itu secara benar.”
Nara terdiam sejenak.
Kemudian ia tersenyum.
“Oke.”
***
Peron lima kini lebih terang daripada foto lama yang menggantung di dinding. Lampu-lampu modern berpadu dengan rangka besi tua yang masih dipertahankan sebagai identitas bangunan.
Nara berdiri di garis kuning.
Mahesa mengambil jarak, menaikkan kamera, lalu—
klik
“Satu lagi,” katanya.
Nara tertawa lembut. “Ini bukan sesi foto wisuda.”
“Bukan,” Mahesa mendekat sambil menurunkan kamera. “Ini sesi foto… kesempatan kedua.”
Nara memutar bola mata, tapi pipinya memanas sendiri.
Mahesa menatapnya lama. “Nara.”
“Hm?”
“Aku nggak minta kita mulai lagi sekarang. Aku cuma… mau jalan bareng lebih sering. Ngobrol. Ngetes relnya masih cocok atau nggak.”
Nara memandangi foto-foto yang dipasang di sepanjang peron.
Setiap foto adalah waktu yang berhenti sekejap.
Setiap pertemuan adalah lingkaran yang kembali.
“Baik,” katanya akhirnya. “Satu langkah dulu. Lihat kemana relnya pergi.”
Mahesa tersenyum—senyum yang sama seperti dulu, tapi lebih dewasa, lebih tenang.
“Terima kasih.”
***
Saat mereka meninggalkan peron lima, angin membawa serpihan suara konser kecil dari halaman stasiun.
Mahesa meliriknya. “Kamu mau minum kopi?”
Nara tersenyum. “Asal bukan kopi hitam pahit kayak hatimu dulu.”
Mahesa tertawa. “Tenang. Hatiku sudah direstorasi juga.”
Nara menahan senyum.
Mereka berjalan berdampingan, perlahan, tanpa terburu-buru.
Karena untuk pertama kalinya sejak lama, mereka sama-sama sadar:
Beberapa lingkaran tidak pernah benar-benar putus.
Ia hanya menunggu momen untuk tersambung kembali—di peron yang sama, tapi versi yang lebih terang.