(Cerpen dari Seri: “Di Mana Kita Bermula? Bukan Titik, Tapi Lingkaran.”)
***
Di antara gedung-gedung lama yang direstorasi, ada satu tempat yang sering luput dari perhatian pengunjung: atap Stasiun Tua.
Tidak ada papan penunjuk. Tidak ada akses resmi. Tapi setiap malam, lampu-lampu dari festival kecil di halaman stasiun memantul sampai ke sana, membuat permukaan atap seperti hamparan perak yang disapu angin.
Alya, seorang penjual lukisan keliling yang memakai rok panjang dan sepatu lusuh, sedang menggelar cat airnya di sudut atap itu. Ia datang diam-diam hampir setiap malam, naik lewat tangga darurat yang tidak pernah dikunci. Tempat itu adalah ruang napasnya—tempat ia bisa menggambar apa pun tanpa takut salah.
Malam ini, ia menggambar bulan yang sedikit tertutup awan. Belum juga setengah jadi, ia mendengar pintu darurat berdecit.
Seseorang masuk.
Alya buru-buruh menutup kanvasnya. “Maaf! Aku—aku cuma sebentar di sini. Aku nggak bikin keributan kok—”
“Alya?”
Suara itu menghentikan napasnya.
Fahri.
Pria tinggi berkacamata, dengan rompi teknisi dan rambut yang lebih rapi dari lima tahun lalu. Dulu, mereka bertetangga. Dulu, mereka hampir jadi sesuatu. Dulu, mereka berpisah begitu saja—tanpa konflik, tanpa salam, tanpa titik. Hanya jarak yang tiba-tiba tumbuh.
“Alya? Serius kamu?” Fahri tersenyum, terkejut. “Kok kamu ada di sini?”
Alya mencoba tersenyum balik. “Harusnya aku yang nanya. Bukannya ini area teknisi?”
Fahri mengangkat tablet kecil di tangannya. “Aku lagi inspeksi lampu atap. Stasiun ini kan mau bikin festival cahaya lagi minggu depan.”
Alya mengangguk pelan.
Tentu. Fahri selalu suka pekerjaan yang detail—yang butuh ketelitian. Sejak kecil ia suka membongkar radio dan memasang kembali tanpa sisa satu sekrup pun.
Mereka berdiri dalam keheningan singkat.
Angin malam membawa bau makanan dari Food Court peron empat. Suara tawa orang-orang naik seperti riak kecil.
“Udah lama banget,” ucap Fahri akhirnya.
“Iya,” jawab Alya.
Mereka tersenyum samar—senyum dua orang yang tahu mereka punya masa lalu tak bernama.
***
“Aku boleh lihat lukisan kamu?” tanya Fahri.
Alya kaget. “Lho, dari dulu kamu nggak pernah mau lihat gambarku.”
“Itu dulu,” jawab Fahri. “Kamu gambar apa sekarang?”
Alya ragu sejenak, lalu membuka kanvasnya. Lukisannya menampilkan bulan—sendiri, pucat, sedikit redup.
“Bagus,” kata Fahri.
Alya terkekeh. “Kamu nggak berubah. Masih bikin pujian yang aman.”
“Bukan aman,” sahut Fahri sambil duduk di sampingnya. “Itu jujur.”
Untuk beberapa detik, Alya lupa menarik napas.
Fahri mengambil palet kecil. “Kenapa bulan?”
Alya menatap kanvas. “Karena dia muncul tiap malam, tapi bentuknya berubah terus. Kayak orang-orang.”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya… merasa semua orang datang ke hidupku dalam fase. Mereka muncul… lalu menghilang.”
Fahri terdiam.
Alya buru-buru mengalihkan topik. “Kamu sendiri gimana? Teknisi stasiun yang terkenal itu akhirnya balik ke kota ini juga?”
“Hmm,” Fahri menatap ke bawah, melihat kerumunan di halaman stasiun. “Ayahku meninggal tahun lalu. Ibu nggak mau pindah dari rumah lama. Jadi aku pulang.”
Alya ikut diam.
“Sedih,” katanya pelan.
Fahri mengangguk. “Tapi pulang juga… rasanya kayak menutup lingkaran yang lama.”
Kata itu—lingkaran—membuat Alya memandangnya lebih lama.
“Termasuk lingkaran yang… dulu nggak selesai?” tanyanya hati-hati.
Fahri menatapnya balik. “Kalau kamu mau, iya.”
Alya tercekat.
Udara malam seperti lebih dingin.
***
Tiba-tiba lampu di sisi timur atap padam.
“Waduh,” gumam Fahri. “Alya, jangan bergerak ya. Aku periksa bentar.”
Ia berjalan ke panel listrik kecil. Alya memperhatikannya.
Gerakan Fahri masih sama seperti dulu—tenang, terukur, seolah ia selalu tahu mana kabel yang harus disentuh, mana yang tidak.
Setelah lima menit, lampu menyala kembali.
“Aman,” katanya sambil meniup tangan yang menelan debu.
“Dari dulu kamu memang suka memperbaiki sesuatu yang rusak,” ujar Alya.
Fahri tersenyum kecil, tapi kali ini wajahnya lebih serius.
“Sayangnya dulu aku nggak bisa memperbaiki hubungan kita,”
katanya tiba-tiba.
Alya terdiam.
Fahri duduk kembali. “Aku pergi ke luar kota waktu itu karena diterima kerja. Tapi aku juga… pengecut. Aku takut kalau aku bilang ke kamu, kita bakal ribut atau… aku jadi nggak pergi.”
“Aku juga salah,” Alya menunduk. “Aku nggak nanya apa pun. Aku cuma… membiarkan jarak itu makan kita.”
Fahri memandangnya lama sekali. “Kita sama-sama diam. Itu masalahnya.”
Alya tertawa kecil. “Nggak nyangka. Kita bisa ngobrol kayak gini lagi.”
“Dan aku masih mau.”
“Untuk apa?” tanya Alya pelan.
Fahri mengangkat wajahnya ke bulan—yang sama dengan yang Alya lukis. “Untuk nyoba lagi. Bukan kembali ke masa lalu. Tapi… mulai dari fase baru.”
Alya memeluk lengan kirinya sendiri. “Aku takut.”
“Aku juga,” jawab Fahri. “Tapi ketakutan itu kan bisa jadi lampu yang harus kita nyalakan ulang.”
Alya menatapnya lama-lama, dan entah kenapa, kalimat itu—lampu yang harus dinyalakan ulang—menyentuhnya jauh lebih dalam daripada kata “maaf” atau “ayo mulai lagi.”
***
Tepat saat suasana mulai melembut, angin malam mengencang. Kanvas Alya roboh dan terguling hingga nyaris jatuh ke sisi atap.
Alya kaget. “Astaga!”
Fahri langsung bangkit, mengejar kanvas itu sebelum jatuh ke bawah.
Ia menangkapnya tepat waktu.
Alya menahan napas.
Fahri berbalik dengan wajah lega. “Masih selamat.”
Alya menerima kanvasnya perlahan. “Terima kasih.”
Fahri duduk lagi, kali ini lebih dekat. “Alya… kalau kanvas kamu jatuh, kamu bisa bikin baru. Tapi kalau hubungan jatuh, kita nggak selalu bisa ngulang.”
“Jadi… apa yang kamu mau sekarang?”
“Aku mau ngobrol,” jawab Fahri kalem. “Bukan untuk pacaran lagi. Bukan untuk masa lalu. Tapi untuk… nutup lingkaran itu secara benar, lalu mulai yang baru kalau kamu mau.”
Alya mengembuskan napas panjang. “Aku belum janji apa-apa.”
“Aku nggak minta janji.”
“Cuma…?”
“Cuma kesempatan.”
Alya menatap bulan, kali ini lebih terang. Seolah dunia memberi lampu sorot untuk keputusan kecil di atap stasiun.
“Baik,” katanya akhirnya. “Satu kesempatan.”
Fahri tersenyum lega. “Terima kasih.”
“Dengan satu syarat,” Alya menunjuk tablet teknisinya. “Kamu harus ajarin aku cara nyalain lampu-lampu itu.”
Fahri tertawa. “Deal.”
***
Setengah jam kemudian, mereka duduk berdampingan sambil mempelajari panel listrik tua yang masih mempertahankan bentuk besi kuno.
“Ini sakelar utama,” kata Fahri. “Kalau mati, lampu atap padam.”
“Aku ngerti. Kayak hati manusia,” ujar Alya.
Fahri meliriknya. “Kamu benar-benar masih puitis, ya?”
Alya mengangkat bahu. “Aku lukis bulan, bukan diagram mesin.”
Mereka tertawa.
Di bawah mereka, festival makan malam mulai ramai. Lampu-lampu kios memantul seperti ribuan kunang-kunang.
“Fahri,” ucap Alya setelah hening lama, “menurutmu… kita ini apa sekarang?”
Fahri berpikir sejenak. “Dua orang yang pernah hilang arah… tapi malam ini nemu peta kecil.”
Alya menelan ludah. “Kalau petanya salah?”
“Kita cari lagi bareng-bareng,” jawabnya.
Kata-kata itu sederhana—tapi menenangkan.
Alya mengangguk pelan. “Oke.”
Dan di saat itu, tanpa perlu sentuhan atau janji apa pun, sebuah lingkaran lama akhirnya tertutup—bukan untuk mengakhiri, melainkan untuk memberi ruang pada lingkaran baru yang mulai berputar perlahan.
***
Saat mereka turun dari atap, Alya membawa lukisannya dan Fahri membawa toolkit-nya.
“Besok kamu ke sini lagi?” tanya Fahri.
“Kalau lampunya hidup, iya,” canda Alya.
“Aku hidup juga kok,” Fahri menunjuk dirinya sendiri. “Kalau butuh nyala, tinggal panggil.”
Alya tertawa. “Jangan gombal.”
“Aku serius.”
Mereka berjalan sampai ujung tangga.
“Fahri,” panggil Alya sebelum berpisah.
“Ya?”
“Terima kasih… buat datang malam ini.”
Fahri tersenyum lembut. “Aku nggak datang. Aku kembali.”
Alya terdiam.
Hatinya menghangat seperti lampu yang baru diganti bohlamnya.
Saat ia berjalan turun, ia menatap bulan sekali lagi.
Mungkin benar, seperti lukisannya.
Ada fase-fase dalam hidup. Ada yang menghilang, lalu terang lagi. Ada yang redup, lalu tumbuh penuh.
Dan malam ini, Alya dan Fahri memasuki fase baru—lingkaran baru—yang perlahan-lahan mulai menyala.