Suara ban mobil sport itu mendecit pelan saat meninggalkan gerbang besi setinggi tiga meter yang selama empat belas tahun terakhir mengurung Adrian. Tidak ada drama teriakan, hanya keheningan dingin di ruang makan pagi itu.
"Kalau kau melangkah keluar dari gerbang itu, fasilitasmu dicabut. Kartu kredit, mobil, akses ke klub-semuanya," kata Ayahnya, Pak Bramantyo, tanpa menoleh dari iPad-nya.
Adrian, pemuda berusia 19 tahun itu, hanya mengangguk. la meletakkan kunci mobil Ferrari-nya di atas meja marmer. "Aku cuma butuh tas punggung ini, Yah. Aku bukan investasi saham yang harus Ayah atur nilai jualnya. Aku manusia."
Itulah percakapan terakhir mereka. Adrian memesan taksi online-sebuah hal yang dianggap "tidak higienis" oleh ayahnya-dan meluncur membelah Jakarta, dari kawasan elite Menteng menuju pinggiran kota yang padat di Jakarta Timur.
Tujuannya satu: Rumah Ibu.
Sejak usia lima tahun, setelah perceraian yang pahit, hak asuh jatuh ke tangan Ayah. Alasannya klasik: finansial. Ibu Adrian, Sarah, hanyalah seorang guru honorer yang dianggap tidak mampu memberikan "masa depan cerah". Selama bertahun-tahun, Adrian hidup dalam sangkar emas. la sekolah di tempat termahal, tapi dilarang berteman dengan mereka yang "bukan levelnya".la punya segalanya, kecuali kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu bercat putih yang sedikit mengelupas. Halamannya sempit, tapi penuh dengan pot bunga kamboja dan melati.
"Adrian?"
Wanita paruh baya itu keluar dengan daster batik yang warnanya mulai pudar. Matanya membelalak, lalu berkaca-kaca. Tanpa kata, Adrian menjatuhkan tasnya dan memeluk ibunya. Wangi Ibu masih sama seperti ingatan masa kecilnya: wangi bedak bayi dan bawang goreng.
"Maaf aku baru pulang sekarang, Bu," bisik Adrian.
"Tidak apa-apa, Nak. Rumah ini selalu terbuka buat kamu. Selalu."Seminggu setelah kepindahannya, Adrian mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya. Gang-gang sempit itu terasa hidup. Anak-anak berlarian tanpa takut kotor, ibu-ibu bergosip sambil memilah sayuran.
Sore itu, Ibu meminta tolong Adrian membeli gula di warung kelontong di ujung gang. Dengan canggung, Adrian berjalan mengenakan kaos oblong dan celana pendek.
"Beli gula pasir sekilo, Bu," kata Adrian pada pemilik warung.
"Sebentar ya, Mas," jawab suara yang bukan suara ibu-ibu.
Adrian mendongak. Di balik etalase kaca yang penuh toples kerupuk, berdiri seorang gadis. Usianya mungkin sebaya dengannya. Rambutnya diikat asal-asalan, wajahnya polos tanpa make-up, dan ada noda tepung di pipinya.
"Kamu anak Bu Sarah yang baru pindah itu, ya?" tanya gadis itu sambil menimbang gula dengan cekatan.
"Iya. Saya Adrian."
"Aku Naya. Ibuku lagi di belakang," katanya sambil tersenyum. Senyum itu renyah, tulus, tanpa pretensi. Berbeda jauh dengan senyum-senyum sopan tapi palsu yang biasa Adrian lihat di pesta-pesta bisnis ayahnya.
Kehidupan Adrian berubah 180 derajat. Tidak ada lagi AC sentral yang dingin menggigit. Tidak ada pelayan yang menyiapkan sarapan. Di sini, Adrian tidur di kamar sempit bekas gudang yang dirapikan Ibu, dengan kipas angin yang berbunyi kletek-kletek setiap kali menoleh.
Tapi anehnya, Adrian tidur lebih nyenyak daripada saat ia tidur di kasur berharga ratusan juta miliknya dulu.
Seminggu setelah kepindahannya, Adrian mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya. Gang-gang sempit itu terasa hidup. Anak-anak berlarian tanpa takut kotor, ibu-ibu bergosip sambil memilah sayuran.
Sore itu, Ibu meminta tolong Adrian membeli gula di warung kelontong di ujung gang. Dengan canggung, Adrian berjalan mengenakan kaos oblong dan celana pendek.
"Beli gula pasir sekilo, Bu," kata Adrian pada pemilik warung.
"Sebentar ya, Mas," jawab suara yang bukan suara ibu-ibu.
Adrian mendongak. Di balik etalase kaca yang penuh toples kerupuk, berdiri seorang gadis. Usianya mungkin sebaya dengannya. Rambutnya diikat asal-asalan, wajahnya polos tanpa make-up, dan ada noda tepung di pipinya.
"Kamu anak Bu Sarah yang baru pindah itu, ya?" tanya gadis itu sambil menimbang gula dengan cekatan.
"Iya. Saya Adrian."
"Aku Naya. Ibuku lagi di belakang," katanya sambil tersenyum. Senyum itu renyah, tulus, tanpa pretensi. Berbeda jauh dengan senyum-senyum sopan tapi palsu yang biasa Adrian lihat di pesta-pesta bisnis ayahnya.
"Ini gulanya. Tiga belas ribu."
Adrian merogoh saku, mengeluarkan lembaran lima puluh ribu. "Kembaliannya ambil saja."
Naya mengerutkan kening. la menyodorkan uang kembalian dengan tegas ke tangan Adrian. "Mas Adrian, di sini kita nggak main tip-tip-an kayak di film. Uang ini bisa buat beli kerupuk sekaleng, tahu."
Adrian tertegun, lalu tertawa kecil. Itu pertama kalinya seseorang menolak uangnya dan memarahinya dengan cara yang begitu wajar. "Maaf, kebiasaan lama. Makasih, Naya."
Pertemuan di warung itu menjadi awal dari segalanya. Adrian mulai sering mencari alasan untuk pergi ke warung. Kadang beli telur, kadang cuma beli permen, kadang hanya duduk di bangku panjang depan warung sambil mengobrol dengan Naya saat warung sedang sepi.
Naya adalah mahasiswa sastra yang membantu ibunya menjaga warung sepulang kuliah. Dia cerdas, bicaranya ceplas-ceplos, dan yang paling penting: dia tidak peduli siapa ayah Adrian.
"Jadi, kamu kabur dari istana karena nggak boleh temenan sama orang miskin?" tanya Naya suatu sore, sambil mengupas kulit kacang rebus.
"Kasar banget bahasanya," Adrian tertawa. "Bukan cuma itu. Ayahku... dia mengatur napas yang aku hirup. Aku harus kuliah hukum, harus nikah sama anak rekan bisnisnya, harus jadi 'Bramantyo' yang sempurna. Aku capek."
Naya menatap Adrian lekat-lekat. "Terus sekarang, makan tempe orek buatan ibumu dan tidur kegerahan, kamu nyesel?"
Adrian menatap langit sore yang mulai jingga di atas atap seng rumah-rumah tetangga. "Nggak sama sekali. Aku baru ngerasa hidup."
Naya tersenyum, kali ini lebih lembut. "Baguslah. Karena kekayaan itu bukan soal apa yang kamu punya di dompet, tapi seberapa nyenyak kamu tidur malam hari."
Jantung Adrian berdesir. Di mata Naya, ia melihat pantulan dirinya yang baru. Bukan Adrian si pewaris tunggal, tapi Adrian yang suka kacang rebus dan obrolan sore.
Sebulan kemudian, ada pasar malam di lapangan kecamatan. Adrian memberanikan diri mengajak Naya. Tidak ada mobil mewah, mereka pergi naik motor matic butut milik Naya yang dipinjam Adrian.
Di tengah hiruk-pikuk suara musik dangdut dan teriakan pedagang, mereka duduk di atas rumput sambil makan gulali.
"Dulu, kalau mau kencan, aku harus reservasi restoran seminggu sebelumnya, pakai jas, dan ngomongin soal saham," cerita Adrian.
Naya tertawa renyah. "Membosankan banget. Mendingan di sini, kan? Bisa lihat bianglala karatan yang muternya bikin deg-degan."
Adrian menatap wajah Naya yang diterangi lampu warna-warni pasar malam. Gadis itu sederhana, tapi di mata Adrian, dia lebih bersinar daripada semua chandelier kristal di rumah ayahnya.
"Nay," panggil Adrian.
"Hmm?" Naya menoleh, gulali masih menempel sedikit di sudut bibirnya.
Adrian mengulurkan tangan, membersihkan gulali itu dengan ibu jarinya. Naya terdiam, pipinya merona merah.
"Aku senang pindah ke sini," kata Adrian pelan. "Bukan cuma karena aku bebas dari Ayah. Tapi karena di sini aku ketemu kamu."
Naya menunduk, menyembunyikan senyum malunya.
"Anak orang kaya gombalnya beda ya."
"Aku serius. Aku nggak punya mobil lagi, Nay. ATM-ku isinya cuma sisa tabungan jajan. Aku... aku cuma punya diriku sendiri sekarang."
Naya mengangkat wajahnya, menatap mata Adrian dalam-dalam. "Itu sudah lebih dari cukup, lan. Asal itu diri kamu yang asli."
Malam itu, di bawah langit yang tidak tertutup gedung pencakar langit, di antara riuh rendah pasar malam dan aroma jagung bakar, Adrian menggenggam tangan Naya. Tangannya kasar karena sering mengangkat beras di warung, tapi bagi Adrian, itu adalah genggaman paling hangat yang pernah ia rasakan.
la sadar, ia tidak kehilangan kemewahan. la justru baru saja menemukannya. Kemewahan untuk memilih, kemewahan untuk dicintai apa adanya, dan kebebasan untuk mencintai gadis penjaga warung yang mengajarkannya bahwa bahagia itu sederhana.