Senja selalu datang dengan cara yang pelan. Seakan ia mengerti bahwa beberapa hal di dunia perlu waktu untuk mereda sebelum berubah menjadi sesuatu yang baru. Begitu pula dengan kisah antara Rendra dan Malika. Tidak pernah ada yang benar benar dimulai dengan gegas dalam hidup mereka. Semuanya lahir dari perlahan. Dari sesuatu yang mereka sendiri tidak sadari sedang tumbuh.
Rendra pertama kali melihat Malika di sebuah kafe kecil di sudut Jalan Melur. Kafe itu tidak terlalu istimewa, hanya tempat dengan beberapa meja kayu dan bau kopi yang memenuhi udara. Tetapi siang itu, ketika ia berusaha mencari tempat tenang untuk menulis artikel yang sudah lewat tenggat, ia melihat perempuan berkerudung cokelat muda itu duduk sendirian di dekat jendela.
Malika sedang membaca. Matanya menyapu halaman dengan tenang, jari jemarinya sesekali mengetuk permukaan meja seakan mengikuti ritme pikirannya sendiri. Ada sesuatu yang membuat Rendra memperhatikan lebih lama dari yang seharusnya. Bukan kecantikannya, meskipun ia memang cantik. Bukan pula suaranya, karena ia belum mendengarnya. Tetapi aura itu. Sejenis ketenangan yang justru terasa rapuh jika disentuh terlalu keras.
Rendra duduk di meja seberang. Tidak sengaja. Setidaknya itu yang ia yakini. Atau yang ia paksa untuk ia yakini.
Tidak sampai lima menit, Malika mendongak dan mata mereka saling bertemu. Bukan tatapan yang membuat jantung berdetak dua kali lebih cepat, tetapi tatapan yang membuat seseorang berpikir bahwa dunia mungkin sedikit lebih baik daripada yang mereka kira.
Malika tersenyum kecil. Rendra membalas. Dan setelah itu keduanya kembali ke dunianya masing masing.
Atau begitulah kelihatannya.
Pertemuan kedua terjadi seminggu kemudian. Masih di kafe yang sama. Masih dengan tempat duduk yang sama. Bedanya, hari itu hujan turun dan kaca jendela penuh titik titik air.
Malika mendongak ketika mendengar suara kursi digeser. Kali ini, Rendra tidak memilih meja seberang. Ia duduk tepat di hadapan Malika.
“Kayaknya kita sering ketemu di sini,” kata Rendra dengan suara yang ia buat santai meskipun dadanya sedikit menegang.
Malika menutup bukunya. “Mungkin karena kita punya kebiasaan yang sama.”
“Kebiasaan apa itu”
“Lari dari keramaian,” jawab Malika sambil tersenyum.
Rendra tertawa kecil. Percakapan seharusnya berhenti di situ, tetapi sesuatu dalam diri Malika tampak membuka celah. Ia bertanya balik sebelum Rendra sempat berpikir lebih jauh.
“Kamu penulis ya”
“Kelihatannya seperti itu”
“Kelihatannya itu apa maksudnya”
“Aku lebih sering menatap layar kosong daripada menulis. Jadi aku tidak yakin apakah itu pantas disebut penulis.”
Malika tertawa. Dan Rendra merasa suara itu seperti hangat yang mengalir di sela sela hawa dingin hujan.
“Aku Malika.”
“Rendra.”
Untuk pertama kalinya, nama itu terdengar sangat pas ketika ia mengucapkannya.
Hubungan mereka tidak tumbuh tiba tiba. Tidak ada percikan dramatis atau adegan yang membuat keduanya langsung jatuh cinta. Hubungan itu tumbuh dari obrolan obrolan kecil, dari temu yang tidak pernah direncanakan tetapi selalu terasa tepat. Dari dua manusia yang sama sama menyimpan luka lama dengan caranya sendiri.
Rendra membawa kepahitan dari hubungan sebelumnya. Seorang perempuan yang meninggalkannya karena ia dianggap terlalu banyak ragu dan terlalu sedikit berani mengambil langkah. Sementara Malika membawa kehilangan yang lebih dalam. Ia pernah mencintai seseorang yang meninggal dalam kecelakaan ketika sedang dalam perjalanan menemui keluarganya. Duka itu tidak lagi menenggelamkannya, tetapi jejaknya masih tertinggal.
Rendra tahu cerita itu pada bulan kedua mereka sering bertemu. Pada malam ketika Malika mengajaknya berjalan di sepanjang tepi sungai setelah kafe tutup. Udara malam terasa lembut, tetapi suara Malika retak meski ia berusaha menyembunyikannya.
“Aku percaya bahwa seseorang bisa mencintai lagi,” kata Malika sambil memandang air gelap di bawah jembatan. “Tapi aku masih takut. Kadang aku merasa bahwa jika aku memberi ruang untuk orang baru, aku sedang mengkhianati masa lalu.”
Rendra tidak menjawab. Hanya berdiri di sampingnya. Diam adalah satu satunya bahasa yang ia rasa paling tepat malam itu.
Dan dalam diam itu, Malika merasakan kehadiran yang tidak menuntut apa apa.
Semakin sering mereka bertemu, semakin sulit rasanya untuk memungkiri bahwa ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka. Tetapi justru karena perasaan itu, konflik kecil mulai muncul. Bukan karena sesepele kecemburuan atau salah paham, melainkan ketakutan yang menahan keduanya dari langkah yang lebih jauh.
Ketika Rendra mulai merasa ingin memberi nama pada hubungan mereka, ia mendapati dirinya mundur. Ia ingat ucapan mantan kekasihnya. Tentang ketidakpastian yang membuat perempuan itu pergi. Rendra takut mengulang cela yang sama. Ia takut menawarkan sesuatu yang tidak ia yakini sepenuhnya.
Sedangkan Malika, meskipun ia menikmati setiap detik bersama Rendra, ia takut membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam. Takut mencintai sesuatu yang suatu hari mungkin juga hilang.
Pada suatu sore, ketika langit memerah di ujung, mereka duduk di bangku taman yang menghadap ke matahari terbenam. Senja hari itu terasa berat. Entah karena warna oranye yang terlalu pekat atau karena ada kata kata yang menekan dada keduanya.
Rendra mengambil napas. “Malika… kita sudah cukup dekat. Tapi aku merasa kamu menahan banyak hal.”
Malika memejamkan mata sejenak. “Aku tahu.”
“Kenapa”
“Karena aku takut terlalu berharap.”
Rendra menatap wajahnya. “Kamu rasa aku akan pergi seperti orang orang sebelumnya”
“Bukan itu,” jawab Malika perlahan. “Aku takut kehilangan lagi. Dan kehilangan yang berikutnya mungkin tidak akan sanggup aku hadapi.”
Suara Rendra melembut. “Aku tidak ingin menggantikan siapa siapa. Aku hanya ingin ada. Jika kamu mengizinkan.”
Malika mengalihkan pandangan ke langit yang mulai gelap. “Aku ingin percaya. Tapi bagian dalam diriku masih belum sembuh sepenuhnya.”
Rendra menelan rasa kecewa yang pelan pelan mengalir. Tidak marah. Tidak tersinggung. Hanya sedih.
“Sampai kapan kamu butuh waktu”
Malika menggeleng lembut. “Aku tidak tahu.”
Senja turun lebih cepat dari biasanya. Dan dalam hening yang memanjang itu, keduanya menyadari bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka tidak selalu cukup untuk menenangkan ketakutan yang paling dalam.
Seminggu tanpa bertemu terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Rendra sibuk dengan tulisannya, tetapi pikirannya selalu kembali kepada senyum Malika dan kalimat kalimat yang seperti menahan napas.
Sementara Malika menghabiskan hari hari dengan rutinitas yang sama, tetapi jiwanya terasa kosong. Ia merindukan Rendra, tetapi rasa bersalah selalu mengikuti. Perasaannya sendiri membingungkan. Ia ingin sembuh, ia ingin mencoba, tetapi ia takut patah di tengah jalan.
Malam itu, ketika hujan kembali turun, Malika memutuskan untuk pergi ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Tidak tahu apa yang ingin ia lakukan. Tidak tahu apakah Rendra ada di sana. Ia hanya tahu bahwa ia tidak ingin lagi lari dari sesuatu yang justru membuatnya merasa hidup.
Ketika ia masuk, ia melihatnya.
Rendra duduk di sudut yang paling ia suka. Di hadapan secangkir kopi yang sudah separuh dingin. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya langsung berubah ketika melihat Malika berdiri di pintu.
Mereka saling mendekat tanpa bicara.
“Boleh aku duduk di sini” tanya Malika dengan suara pelan.
“Tentu,” jawab Rendra. Ada getar kecil yang tidak ia sembunyikan.
Mereka duduk. Hening beberapa saat. Hujan mengetuk jendela seakan memahami sesuatu yang penting sedang terjadi.
“Rendra,” suara Malika nyaris bergetar. “Aku sudah terlalu lama memaksa diriku untuk kuat dengan cara yang salah. Aku kira dengan menutup hati, aku bisa melindungi apa yang tersisa dari diriku. Tapi ternyata aku malah kehilangan kesempatan untuk bahagia.”
Rendra tidak menyela. Malika melanjutkan.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai tanpa takut. Tapi aku tahu satu hal. Kalau aku harus belajar membuka diri lagi, aku ingin memulainya dengan kamu.”
Perlahan Rendra menghela napas. Seperti seseorang yang telah menahan dunia selama berminggu minggu.
“Malika… aku tidak butuh jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu. Dan kalau kamu memilih datang kepadaku, aku akan tetap di sini.”
Senyum Malika muncul, tipis tetapi penuh makna. “Itu sebabnya aku datang.”
Rendra menggenggam tangan Malika. Hanya itu. Tanpa kata kata besar. Tanpa janji yang rumit. Tetapi sentuhan itu terasa seperti sesuatu yang telah mereka cari sejak lama.
Di luar, hujan mulai mereda. Senja memang sudah lewat, tetapi warna jingga masih tertinggal samar di belakang awan. Seakan hari itu memaksa memberi harapan lain, meskipun hanya sedikit.
Malika menatap jemari mereka yang saling bertaut.
“Rendra,” suaranya pelan tetapi penuh keyakinan, “kalau aku jatuh, aku ingin jatuh perlahan. Bersama kamu. Tanpa terburu buru. Tetapi dengan yakin.”
Rendra tersenyum. “Kalau begitu, biarkan kita mulai dari sini. Dari perlahan.”
Dan di antara sisa hujan dan aroma kopi yang masih hangat, keduanya tahu bahwa cinta tidak datang untuk menghapus luka. Cinta datang agar dua manusia belajar berjalan bersama, bahkan ketika langkah mereka belum sepenuhnya stabil.
Senja di luar mungkin telah hilang. Tetapi di hati keduanya, senja baru saja dimulai.
***
Kalo kalian suka jangan lupa komen dan follow!!!
Mampir juga ke novel aku😇
Terima kasih😇