Hujan turun tanpa ampun di perbatasan Aceh–Sumatra Utara hari itu, seolah langit menumpahkan seluruh kesedihannya ke bumi. Sungai-sungai meluap, menenggelamkan rumah, jalanan, dan seluruh aktivitas manusia yang tak sempat bersiap. Bencana datang begitu cepat, terlalu cepat bahkan bagi mereka yang terbiasa menghadapi hujan keras di wilayah itu.
Di tengah kekacauan itu, Riana, relawan PMI dari Semarang, turun langsung membantu. Ia baru tiga hari berada di markas KSR pusat ketika kejadian besar itu datang. Niatnya sederhana: membantu sebisa mungkin. Tapi takdir punya rencana lain.
Dalam deru hujan dan jeritan permintaan tolong, Afi—pemuda desa yang juga ikut menolong tim relawan—bertemu Riana pertama kali. Pertemuan di bawah hujan yang merendam segalanya itu menjadi awal kisah mereka. Pertemuan tanpa rencana, tanpa bayangan masa depan. Hanya dua orang asing yang sama-sama berjuang melawan derasnya bencana.
Siapa sangka, badai yang memisahkan begitu banyak keluarga justru mempertemukan dua hati yang tak pernah bertemu sebelumnya.
---
Semua relawan dikumpulkan pagi itu di markas KSR pusat. Arahan darurat dibacakan dengan wajah-wajah tegang di sekeliling ruangan. Banjir besar melanda wilayah yang selama puluhan tahun tak pernah bersentuhan dengan bencana serupa. Curah hujan ekstrem selama tiga hari berturut-turut membuat sungai meluap dan seluruh desa terendam.
“Riri, nanti jangan jauh dari gue. Pokoknya harus deket banget.”
Suara Archa, perempuan berambut pendek sebahu, terdengar jelas.
“Gak pasti, Ca. Kalau menyangkut nyawa, gue nggak bisa nahan diri.”
“Bandel banget sih, Ri…” Archa mengerucutkan bibir kesal.
“Udah Ca, Riri memang bandel. Biar gue jagain aja.” Raden menambahkan santai, membuat Riana hanya memutar bola mata malas.
Setelah pengarahan singkat, para relawan langsung dibagi dalam tujuh mobil berbeda. Masing-masing mengangkut delapan orang dan berangkat tanpa banyak bicara. Perjalanan menuju lokasi bencana memakan waktu lebih dari tiga jam—jauh lebih lama karena banyak akses jalan terputus.
Di tengah perjalanan, Daniel membaca laporan dari ponselnya yang tersisa sinyal sedikit.
“Ri, tadi gue baca… kondisi parah banget. Jalanan, rumah warga—hampir semua tenggelam. Sinyal hilang-hilang. Kita bawa obat-obatan, tapi kayaknya gak akan cukup.”
Riana menghela napas panjang. “Kita harus hubungin relawan cadangan di pusat buat siapin tambahan obat dan paket makanan. Kalau kondisi makin buruk, ini bakal jadi krisis besar.”
“Perkiraan cuaca,” Daniel menambahkan lagi, “hujan akan turun makin deras sampai malam nanti.”
“Semoga nggak ada korban jiwa lagi…” Riana berucap lirih.
Setelah itu, mobil hening. Hanya suara hujan dan deru mesin yang terdengar.
---
Desa Tenggelam
Begitu tiba di posko pengungsian sementara, seluruh relawan terdiam sejenak. Pemandangan di depan mata membuat mereka merinding.
Beberapa jenazah ditutupi kain seadanya. Banyak korban terbaring lemah, batuk, dan menggigil kedinginan. Anak-anak menangis, beberapa kehilangan orang tua. Ada yang duduk memeluk lutut, meneriakkan nama seseorang yang mungkin sudah tak bisa ditemukan.
“Semua turun! Siapkan obat dan pakaian kering!” seru ketua tim.
Riana dan Archa menangani anak-anak dan beberapa orang dewasa yang demam. Dinda membantu membagikan selimut. Sementara itu, Daniel, Bima, dan Raden membantu Basarnas membangun tenda tambahan.
Di antara relawan laki-laki, Leo mencoba menghidupkan genset bersama sejumlah warga. Lampu emergency menjadi satu-satunya penerangan.
Waktu berlalu tanpa terasa. Hari mulai gelap. Bau lembap bercampur lumpur memenuhi udara.
Malam itu, ketika sebagian relawan beristirahat, sebagian lain masih membantu Basarnas mengevakuasi warga dari wilayah terdalam desa.
Archa membuka percakapan dengan suara rendah, “Bahan makanan hanya cukup untuk dua hari. Kalau bantuan gak datang besok, kita bisa kelaparan.”
“Air bersih sulit. Sinyal hilang. Kita terjebak di sini, meskipun posisi posko tinggi. Tapi kalau hujan turun terus…” Raden mengusap wajah, jelas cemas.
Riana memeriksa catatannya. “Total korban meninggal ada 11, masih di posko kesehatan. Belum bisa dikuburkan. Yang terjangkit penyakit 43 orang, 17 bayi. Stok obat tipis, pakaian habis. Pengungsi 397 orang. Kita kekurangan relawan.”
Leo mendesah keras. “Situasi makin nggak terkendali. Kalau hujan turun lagi, permukaan air naik… semua makin terjebak.”
Riana mengangguk pelan. Hatinya berat.
Ketegangan itu tidak berlangsung lama ketika salah satu warga masuk sambil berlari kecil.
“Relawan! Ada tambahan korban ditemukan di arah timur desa!”
Riana refleks berdiri. Archa memegang lengan Riana cepat. “Hei, jangan sembarang pergi—”
“Archa, ini nyawa! Gue harus ikut!”
Archa ingin memprotes, tapi terlambat. Riana sudah berlari mengikuti tim evakuasi.
---
Hujan kembali turun deras. Lampu emergency yang dibawa relawan terasa hampir tak berguna menembus gelapnya malam.
Riana menembus genangan air setinggi lutut. Tangannya memegangi tas medis yang kini mulai basah. Suara deras air bercampur pekikan warga yang tersisa membuat suasana semakin mencekam.
Tiba-tiba seseorang memanggil.
“Mbak! Mbak relawan! Sini! Tolong!”
Riana menoleh. Seorang pemuda lokal dengan jas hujan tipis dan wajah basah oleh hujan melambai padanya. Ia mendorong pintu rumah kayu yang setengah tenggelam.
“Ada dua orang di dalam! Nenek sama cucunya! Gue gak bisa angkat sendiri!”
“Oke! Saya bantu!”
Pemuda itu mendekat, memegangi tubuh Riana agar tidak tergelincir di genangan lumpur deras.
“Nama saya Afi! Awas licin!”
Riana tak sempat menjawab. Mereka berdua masuk ke rumah yang sudah miring. Air sudah hampir mencapai pinggang.
Afi mengangkat tubuh seorang nenek, Riana menggendong anak kecil yang menggigil hebat.
“Afi, cepat ke posko kesehatan! Anak ini hipotermia ringan!”
“Iya, Mbak! Ikuti saya! Jalannya lewat sini!”
Hujan semakin lebat, menutup pandangan.
Di tengah perjalanan menuju posko, arus air tiba-tiba mendorong tubuh Riana keras. Ia tergelincir.
“Riana!” Afi spontan menahan tubuhnya dari belakang.
Mereka berdua terjatuh ke dalam genangan air, namun Afi sekuat tenaga menjaga agar Riana dan anak kecil itu tidak tenggelam.
“Pegang tangan saya!”
“Saya bisa sendiri—ah!” hujan menghalangi pandangannya.
“Jangan keras kepala!” Afi balas memarahi.
Dengan susah payah, mereka akhirnya tiba kembali di posko.
Di bawah lampu emergency, wajah Afi tampak jelas untuk pertama kalinya bagi Riana—mata teduh, penuh kepedulian meski tubuhnya gemetar karena kedinginan.
Afi tersenyum samar sambil menyerahkan nenek itu kepada petugas medis.
“Mbak Riana, kan? Saya lihat tadi nametag-nya. Makasih… berkat Mbak mereka bisa selamat.”
Riana menatapnya sejenak.
“Iya… terima kasih juga. Kalau Afi tidak muncul, saya mungkin terlambat datang.”
Hujan terus turun—seolah langit turut menyaksikan awal dari sesuatu yang belum mereka sadari.
---
Malam itu, banjir naik lagi. Semua orang benar-benar terjebak. Bantuan dari kota tidak bisa masuk karena jembatan utama roboh. Helikopter belum bisa dikirim karena angin terlalu kencang.
Riana duduk di samping tenda kesehatan, menatap hujan yang seakan tak pernah berniat berhenti.
Afi datang membawa dua gelas air panas.
“Minum dulu, Mbak. Dari dapur umum. Meski panasnya sudah hampir hilang…”
Riana menerima sambil tersenyum lemah. “Terima kasih. Kamu relawan juga?”
“Enggak. Saya warga sini. Rumah saya juga tenggelam. Tapi… kalau cuma diam, rasanya lebih sakit daripada hujan ini. Jadi saya bantu sebisanya.”
Riana mengangguk, menatap wajah Afi yang diterangi cahaya lampu emergency.
“Kamu kelihatan capek.”
Afi tertawa pelan. “Mbak juga. Tapi mata Mbak lebih sayu. Sudah tidur?”
“Belum. Banyak yang harus saya data.”
“Kalau begitu… saya temani. Biar Mbak nggak pingsan sendirian.”
Riana menoleh cepat, tak menduga kalimat itu keluar begitu saja.
“Heh? Siapa juga yang mau pingsan—”
“Mbak, lihat mata Mbak. Capek banget. Saya aja yang lihat ikut lelah.”
Riana memutar mata. “Kamu cerewet juga ya?”
“Lumayan. Tapi cuma kalau ngomong sama orang yang saya pikir butuh ditemani.”
Riana terdiam.
Hujan terus turun, namun untuk pertama kalinya sejak ia tiba di daerah bencana ini… Riana merasa sedikit hangat.
---
Hari keempat bencana. Stok obat hampir habis. Bayi-bayi mulai menunjukkan tanda infeksi. Ibu-ibu kelelahan. Banyak orang mulai muntah karena air yang tidak bersih.
Afi bekerja tanpa lelah, membantu Raden dan Daniel mengangkat logistik yang tersisa.
Sementara itu, Riana memeriksa pasien tanpa henti. Tubuhnya pegal, kepala berdenyut, namun ia menolak berhenti. Archa dan Dinda terus memarahi, tapi ia tetap bersikeras.
Sore itu, Afi menemukan Riana berdiri sendirian, memandangi sungai yang kini seperti laut.
“Mbak. Hujannya nggak berhenti-berhenti. Tapi… orang-orang tetap percaya kalian bisa ngejaga mereka.”
Riana menatap ke arah anak-anak yang sedang bermain tanah basah di bawah tenda.
“Saya cuma takut nggak cukup kuat. Takut ada yang nggak bisa bertahan.”
Afi melangkah mendekat.
“Mbak Riana…” suaranya lebih lembut dari biasanya, “punya hati paling kuat yang pernah saya lihat. Kalau bukan Mbak… mungkin banyak yang sudah menyerah di hari pertama.”
Riana menunduk, menahan emosi.
“Kamu selalu bilang hal-hal yang membuat saya tidak bisa marah.”
Afi tersenyum. “Bagus dong. Jangan marah terus, nanti cepat tua.”
Riana mencubit lengannya.
“Aw! Mbak!”
Untuk pertama kalinya sejak bencana datang, Riana tertawa.
---
Hari keenam.
Akhirnya helikopter bantuan datang. Logistik, tim medis tambahan, obat-obatan, dan selimut tiba bersama sinar matahari yang untuk pertama kalinya muncul kembali setelah hampir seminggu.
Korban dievakuasi bertahap. Warga mulai dipindahkan ke tempat aman di bukit sebelah utara.
Di hari yang sama, posko sementara akan ditutup. Relawan bersiap kembali ke pusat untuk evaluasi.
Riana membereskan tasnya. Hatinya terasa aneh—seperti ada sesuatu yang tertinggal.
Afi datang membawa kotak kecil berwarna hitam yang isinya adalah kalung peninggalan mendiang ibunya.
“Mbak Riana… ini buat Mbak. Mungkin nggak seberapa, tapi saya mau kasih sesuatu sebelum Mbak pulang.”
Riana menerimanya pelan.
“Afi… kamu tahu kamu nggak harus kasih apa-apa, kan?”
“Tahu. Tapi saya mau. Karena… mungkin setelah ini kita nggak ketemu lagi.”
Riana terdiam.
Afi menatapnya dalam-dalam, matanya serius. “Terima kasih… karena sudah nyelametin banyak orang di desa saya. Dan terima kasih… karena sudah buat saya ngerasa nggak sendirian di tengah bencana ini.”
Angin sore meniup rambut Riana pelan. Hatinya terasa sesak.
“Afi…”
“Iya?”
“Kalau… kalau suatu saat kamu ke Semarang, kabari saya, ya.”
Afi tersenyum lebar—senyum paling tulus yang pernah Riana lihat.
“Iya, Mbak Riana. Dan kalau Mbak ke Aceh lagi… jangan lupa cari saya. Di desa kecil yang suka kebanjiran ini.”
Riana tertawa kecil meski matanya berkaca-kaca.
Helikopter memanggil relawan untuk naik.
Afi melangkah mundur, melambaikan tangan.
Riana naik ke helikopter, duduk, lalu menatap ke luar jendela.
Di bawah sana, Afi berdiri sendirian, basah oleh sisa hujan, menatap ke arahnya.
Dan entah kenapa… jantung Riana terasa berdegup lebih berat dari sebelumnya.
---
Dua bulan kemudian.
Hujan turun di Semarang sore itu. Riana baru pulang dari laporan pasca-bencana. Saat ia membuka pintu markas PMI, seorang relawan memanggil.
“Riri! Ada yang nyariin! Dari Aceh katanya!”
Riana membeku.
Langkahnya berubah pelan ketika memasuki halaman depan.
Di sana, berdiri seorang pemuda berjaket hitam, basah oleh hujan, namun tetap tersenyum begitu melihatnya.
“Mbak Riana. Katanya kalau saya ke Semarang… harus kabarin.”
Riana tertegun.
“Afi… kenapa kamu—”
“Karena saya kangen. Dan karena… saya pikir… hujan di sini juga bisa jadi saksi awal yang baru.”
Hujan turun lebih deras.
Riana tersenyum—manis, tulus, dan penuh rasa yang sejak bencana itu ia coba abaikan.
“Baiklah… selamat datang di Semarang, Afi.”
Dan untuk pertama kalinya, bukan hujan yang membuat mereka basah…
…melainkan perasaan yang akhirnya menemukan tempat pulangnya.
---