Malam itu Tina duduk di kursi makan, tangannya masih menggenggam ponselnya erat. Matanya menatap kosong ke layar, menunggu balasan Romeo, menunggu sesuatu yang bisa membuatnya percaya lagi. Tapi benarkah ia ingin percaya? Atau sebenarnya ia hanya ingin mendengar Romeo mengakui semuanya?
Jawaban yang singkat, tapi cukup membuat dadanya semakin sesak. Apakah Romeo benar-benar ingin menjelaskan? Atau ini hanya bentuk kepanikan sesaat?
Tina menghela napas berat. Matanya tertuju pada makanan di meja makan yang kini dingin, sama seperti hubungannya dengan Romeo yang perlahan kehilangan kehangatan.
Tak lama kemudian, suara motor berhenti di depan rumah. Jantung Tina berdebar kencang. Ia mendengar langkah kaki Romeo mendekat, lalu pintu terbuka.
Romeo berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat lelah dan penuh pertanyaan. "Tina..." panggilnya pelan.
Tina mendongak, menatap suaminya dengan mata yang kini mulai berair. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin mengeluarkan semua yang menghimpit dadanya. Tapi yang keluar hanyalah suara bergetar, "Kenapa, Rom?"
Romeo mengerutkan kening. "Sayang aku bisa jelasin? Tapi aku gak tau tentang foto-foto itu!"
Tina meletakkan ponselnya di meja, mendorongnya ke arah Romeo. "Kenapa aku tiap hari diteror sama orang ini?" tanyanya dengan suara serak.
Romeo mengambil ponsel itu, membaca pesan dan foto yang dikirim orang asing itu. Dalam foto, ia terlihat sedang tertawa bersama seorang wanita. Matanya melebar.
"Tina, ini..." Romeo menatap istrinya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ini itu gak seperti yang kamu pikirin."
Tina menahan napas, menunggu, berharap. "Terus aku harus gimana?"
Romeo mendekat, mencoba menggenggam tangan Tina, tapi Tina menarik tangannya.
"Jangan sentuh aku kalau kamu cuma mau kasih alasan," suara Tina nyaris berbisik sambil menatap tajam Romeo dan bangun dari tempat duduknya.
"Aku capek, Rom. Aku capek nunggu kamu sadar kalau aku juga butuh kamu. Aku capek ngerasa sendirian!"
Romeo menatap Tina dalam-dalam, menyadari betapa dalam luka yang ia biarkan menganga di hati istrinya.
"Tina, aku gak pernah ada niat ninggalin kamu. Aku gak pernah selingkuh. Aku cuma..." Romeo menarik napas dalam, suaranya melemah.
"Aku cuma gak tahu gimana cara menghadapi ini semua. Aku kehilangan anak kita juga, Tina. Dan aku takut kalau aku gagal buat kamu bahagia."
Air mata Tina mengalir. "Kamu gak sadar, kan? Aku gak butuh kamu buat selalu bikin aku bahagia, aku cuma butuh kamu ada buat aku."
"Dan kamu juga sama aja kayak dulu Romeo gak ada yang berubah."
Hening.
Romeo terdiam, menyadari bahwa kesalahannya bukan hanya karena foto itu, tapi karena ia telah membiarkan jarak di antara mereka semakin melebar.
Tina mengusap air matanya, lalu berkata pelan, "Jadi, kamu mau perbaiki ini atau kita selesai sampai di sini?"
"Nggak Tina. Jangan tinggalin aku, cuma kamu keluarga yang aku punya sekarang."
lirih Romeo yang menunduk tak bisa menahan air matanya.
Romeo menatapnya, lalu tanpa ragu berkata, "Aku gak mau kehilangan kamu, Tina. Aku akan perbaiki semuanya."
"Ini sudah kesekian kalinya aku dapet terror itu Romeo, Kamu masih gak mau ngaku?" suara Tina menggema di seluruh ruangan. Matanya memerah, dadanya naik turun menahan emosi yang sudah memuncak.
Romeo terbelalak, tak percaya dengan tuduhan itu. "Tina, aku kerja! Aku gak ngapa-ngapain! Aku cuma bicara sama klien, itu wajar!" Nada suaranya ikut meninggi, merasa tak terima disalahkan atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan.
"Wajar?! Wajar kamu bilang?! Jadi wajar kalau ketawa-ketawa sama perempuan lain?" Tina melotot padanya, tangannya gemetar menahan amarah yang sudah tak terbendung.
Romeo meremas rambutnya frustrasi, "Aku gak pernah melewati batas! Aku gak pernah selingkuh! Aku bicara sama semua klienku sebagai partner bisnis, Bukan yang lain!" Romeo mendekat, wajahnya merah padam. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan cincin kawin mereka yang masih melingkar di jari manisnya. "Aku juga masih pakai cincin kawin kita! Dan kamu tetap gak percaya?!"
Tina tertawa sinis, air matanya menetes. "Percaya?! Gimana aku mau percaya kalau tiap hari ada yang kirim pesan menghina aku!"
Romeo mengepalkan tangannya, rahangnya mengatup rapat. "Aku gak tahu siapa yang ngirim pesan itu, tapi aku gak akan ngebiarin rumah tangga kita hancur!"
Hening.
Napas mereka berdua terengah-engah, berdiri saling menatap dengan amarah dan luka yang bercampur menjadi satu.
Tina menatap cincin itu dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi hatinya masih diliputi kekecewaan. “Cincin itu gak berarti apa-apa kalau aku terus merasa sendirian, Reo,” suaranya lirih, penuh luka yang selama ini ia pendam.
Romeo menurunkan tangannya perlahan, memahami bahwa sekadar simbol tak cukup untuk meyakinkan Tina. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang kini ikut berkecamuk di dalam dirinya.
Tina mengalihkan pandangannya, hatinya masih bimbang. Ia ingin percaya, tapi luka di hatinya terlalu dalam untuk sembuh dalam semalam.
“Aku butuh waktu, Romeo.”
Romeo mengangguk pelan, meskipun hatinya nyeri mendengar kata-kata itu. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan, tapi jangan pernah ragu sama perasaan aku ke kamu.”
Tina diam, lalu dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata, “Aku gak ragu sama perasaan kamu, Reo. Aku ragu sama prioritas kamu.”
"Tina aku sayang sama kamu, cuma kamu yang di titipin sama nenek. Aku gak punya siapa-siapa lagi." kini suara Romeo melemah ia berlutut dihadapan Tina, dan memohon maaf kepada istrinya.
Tina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Hatinya masih terasa sakit, amarahnya belum benar-benar reda, tapi melihat Romeo berlutut di depannya seperti ini … sesuatu di dalam dirinya ikut runtuh.
"Romeo …" suaranya bergetar, antara kecewa dan iba.
Romeo menunduk, kedua tangannya mengepal di lututnya. "Aku gak punya siapa-siapa lagi, Tina … Nenek udah gak ada, Mama Papa juga … Kamu satu-satunya yang aku punya. Aku gak mau kehilangan kamu." Suaranya penuh keputusasaan, matanya yang biasanya tegas kini terlihat lelah dan penuh luka.
Tina menarik napas dalam, hatinya terasa sesak. "Aku kehilangan anak kita, kehilangan nenek, dan sekarang aku merasa kehilangan kamu juga!"
Romeo mengangkat kepalanya, matanya memohon. "Aku gak pernah bermaksud ninggalin kamu, Tina. Aku sibuk, aku kerja keras … Aku pikir itu cukup buat kita, buat masa depan kita … tapi ternyata aku salah. Aku malah bikin kamu merasa sendirian."
Tina menatap Romeo dalam-dalam. Sejenak, hanya suara hujan di luar yang terdengar. Ia ingin marah, ingin menuntut lebih banyak jawaban. Tapi di saat yang sama, ia juga melihat pria yang sama yang pernah berjanji akan melindunginya, pria yang kini berlutut dengan penuh rasa bersalah di depannya.
Dengan berat hati, ia mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Romeo yang terasa dingin.
Romeo menggenggam tangan Tina erat, menempelkannya ke pipinya, seolah mencari kehangatan yang selama ini terasa jauh. "Aku janji, Tina… Aku gak akan ninggalin kamu lagi."
Malam yang terasa sangat panjang dan berat, setelah selesai bertengkar hebat. "Romeo kamu istirahat aja, biar aku yang beres-beres." ucap Tina pada Romeo yang sejak tadi hanya diam, wajahnya lesu dan pucat.
"Aku tidur duluan ya sayang." ucap Romeo pada Tina yang mengecup pelipis Tina dan pergi ke tempat tidurnya. Tina yang menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya, "Romeo kamu demam?"
"Enggak aku biasa aja."
Tina mengernyit, hatinya tidak tenang melihat wajah Romeo yang pucat pasi. Ia mendekat, menyentuh dahi suaminya, dan seketika merasakan panas yang tidak biasa.
"Romeo, kamu demam tinggi! Jangan bilang ini biasa aja," kata Tina khawatir.
Romeo memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. "Aku gak apa-apa, cuma capek aja. Setelah tidur juga bakal baikan."
Tina menggeleng, tidak percaya. Ia langsung beranjak mengambil termometer dan kembali ke sisi Romeo. "Ayo, buka mulutmu."
Romeo melirik istrinya yang kini berkacak pinggang, lalu menghela napas pasrah sebelum membuka mulutnya untuk mengukur suhu tubuhnya. Beberapa detik kemudian, angka di layar termometer membuat Tina semakin panik.
"39,5 derajat?! Romeo, ini bukan capek biasa! Kamu harus minum obat sekarang!"
Romeo hanya tersenyum lemah, "Aku cuma butuh istirahat, sayang. Udah jangan khawatir."
Tapi Tina tidak bisa diam saja. Tanpa banyak bicara, ia segera mengambil kain dan merendamnya dalam air dingin, lalu meletakkannya di dahi Romeo. "Jangan keras kepala. Aku gak mau kamu tambah parah."
Romeo menatap Tina dengan mata lelah, tapi ada sedikit kehangatan di dalamnya. Dalam diam, ia menyadari sesuatu—di tengah semua pertengkaran dan kekecewaan mereka, Tina tetaplah orang yang paling peduli padanya.
"Terima kasih, Tina," bisiknya pelan sebelum akhirnya terlelap dalam kelelahan.
Tina hanya menghela napas panjang, duduk di tepi tempat tidur sambil menatap wajah Romeo yang tertidur.
"Jangan pernah buat aku khawatir seperti ini lagi," gumamnya pelan, sebelum akhirnya ikut tertidur di sisi Romeo, memastikan suaminya baik-baik saja sepanjang malam.
Sepanjang malam ia menikmati Wajah Romeo yang cantik sekaligus tampan itu membuat Tina tak bisa marah lama-lama sama Romeo. Tina menaikan selimut tebal itu agar hangat.
"Maaa... Jangan tinggalin Reo..." gumam Romeo yang tertidur gelisah, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Tolong.... jangan .... tinggalin aku ..."
Tina tertegun. Suara Romeo terdengar begitu lirih, seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Ia menggigit bibirnya, hatinya mencelos mendengar suaminya mengigau seperti itu.
Tangannya terulur, dengan lembut mengusap rambut Romeo yang basah oleh keringat dingin. "Reo... aku di sini," bisiknya, meskipun ia tahu Romeo mungkin tidak benar-benar mendengarnya.
Wajah suaminya tampak begitu lelah, seolah-olah sedang dihantui oleh sesuatu yang begitu menyakitkan. Tina menggenggam tangan Romeo yang terasa panas. "Aku gak akan ninggalin kamu," ucapnya, meskipun ada sedikit perasaan bersalah di hatinya karena sempat berpikir ingin menyerah dengan pernikahan mereka.
Romeo menggeliat sedikit dalam tidurnya, tapi genggamannya pada tangan Tina semakin erat, seolah-olah ia takut Tina akan pergi.
Tina menatap wajah suaminya dengan perasaan yang campur aduk. Ia ingin marah, ingin menuntut penjelasan tentang semua kecurigaannya. Tapi di sisi lain, melihat Romeo seperti ini membuatnya sadar bahwa suaminya juga punya luka yang selama ini ia pendam sendiri.
Dengan hati-hati, ia mengusap pelipis Romeo, membisikkan sesuatu yang selama ini mungkin jarang ia katakan lagi.
"Aku di sini, Romeo. Aku tetap istrimu... aku tetap orang yang akan selalu ada buat kamu."
Romeo menghela napas dalam tidurnya, ekspresinya perlahan mulai tenang. Tina menatap wajah suaminya sekali lagi sebelum akhirnya ikut berbaring di sampingnya.
Malam itu, setelah sekian lama, ia benar-benar merasakan bahwa mereka masih saling memiliki.
Fajar belum menyingsing ketika Tina terbangun dari tidurnya. Cahaya bulan yang samar masih menyelinap melalui celah tirai, memberikan nuansa keheningan yang menenangkan sekaligus menyakitkan. Dengan hati-hati, ia merapikan selimut yang tadi menyelimuti tubuhnya dan Romeo. Pandangannya tertuju pada wajah suaminya yang masih terlelap, napasnya teratur, begitu damai dalam tidurnya.
Tina mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh pipi Romeo dengan lembut, seakan ingin mengabadikan setiap detail wajah itu di ingatannya. Hatinya kembali sesak. Ada luka yang belum sembuh, ada kehilangan yang masih mengendap di relung jiwanya.
Ia mengecup kening Romeo, lalu perlahan menurunkan bibirnya hingga menyentuh bibir ranumnya yang hangat. Ciuman itu sarat dengan perasaan yang tak terucapkan—rindu, cinta, dan kesedihan yang masih bergelayut di hatinya.
Tatapannya jatuh pada tas di sudut kamar. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke sana, membuka resletingnya, dan memasukkan foto USG yang selama ini ia simpan dekat dengan hatinya. Selembar kertas kecil itu adalah bukti keberadaan yang kini hanya menjadi kenangan.
Tina berdiri di ambang pintu, menoleh sekali lagi ke arah Romeo. Dadanya terasa berat, suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Ia ingin berpamitan, ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa ia butuh waktu untuk sendiri, tapi kata-kata itu tak sanggup keluar.
Dengan langkah pelan namun pasti, Tina meninggalkan kamar, membiarkan keheningan menemani Romeo yang masih terlelap dalam tidurnya—tanpa mengetahui bahwa saat ia terbangun nanti, dunia yang ia kenal akan terasa jauh lebih sepi.
Romeo menatap layar ponselnya dengan mata lelah yang masih setengah terpejam. Detak jantungnya seketika berdegup lebih kencang saat membaca pesan dari Tina.
Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Apakah Tina baik-baik saja? Apakah dia menangis sendirian di suatu tempat? Atau... apakah dia ingin benar-benar pergi dari hidupnya?
Romeo menekan pedal gas lebih dalam, jantungnya berdegup kencang. Hanya satu yang ada di benaknya: ia harus menemukan Tina, sebelum semuanya terlambat.
Romeo mencoba mengendalikan setirnya, namun hujan deras membuat jalanan begitu licin. Lampu terang dari mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan menyilaukan matanya.
Benturan keras menggema di antara derasnya hujan. Tubuh Romeo terhempas ke depan, kepalanya membentur keras kemudi. Suara kaca pecah dan logam beradu memenuhi udara.
Darah mengalir di dahinya, pandangannya mulai kabur. Napasnya tersengal, kesadarannya perlahan memudar. Dalam sisa kesadarannya, hanya satu nama yang berulang kali terlintas di benaknya.
Tina.
Ia ingin mengucapkan nama itu, tapi suaranya tertahan. Dingin mulai merayapi tubuhnya. Apakah Tuhan berkata lain? Apakah ini akhir dari pencariannya?
Ponsel di tangan Tina bergetar terus-menerus, tapi dia hanya menatap layar dengan mata membelalak. Jari-jarinya gemetar, napasnya tersengal.
"Tidak... ini tidak mungkin."
"Tuhan, jangan ambil dia dariku."
Seorang dokter yang keluar dari uang IGD dengan wajah seriusnya mendekati Tina dan Rian.
"Dengan keluarga bapak Romeo?"
"Saya istrinya! Bagaimana keadaan suami saya dokter?"
"Maaf saya tidak bisa menyelamatkan suami anda karena dia kekurangan banyak darah dan juga luka di area vitalnya ... "
"Enggak mungkin!" Tina menerobos masuk ke dalam IGD dan melihat Romeo yang masih terpejam banyak alat yang ada di tubuhnya.
"Romeeeoooo." Tina menyentuh jemari suaminya yang sudah dingin itu, rasanya seperti sengatan listrik yang menyakitinya, sesak dan Isak tangisnya pecah tak bisa menghentikan air matanya. Seolah ada sesuatu yang mencabik hatinya, merenggut separuh jiwanya pergi bersama Romeo.
"Romeo, kamu janji gak bakal ninggalin aku... Kamu janji kita akan selalu bersama... Kamu bohong... Kamu bohong, Romeo!!"
Suaranya bergema dalam ruangan yang sunyi itu, semuanya terasa nyata dan dunia seakan berhenti.
"ROMEEEOOOO... KENAPAAAA????"
Suara jeritannya menggema di dalam ruangan yang sepi, memantul di setiap sudut dinding seakan menertawakan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Tubuhnya gemetar, terisak dalam pelukan kedua tangannya yang erat memegang foto Romeo—wajah itu, senyuman manis yang dulu selalu menenangkannya, kini hanya sebatas kenangan yang terpampang di selembar kertas dingin.
Air matanya jatuh membasahi permukaan kaca bingkai foto, memburamkan pandangannya. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak seolah seluruh dunia menekan beban di hatinya. Dalam hatinya hanya ada satu tanya yang terus berulang, menggema bersama rasa kehilangan. "Kenapa harus kamu, Romeo...? Kenapa harus secepat ini...?"
Terimakasih banyak sudah membaca cerpenku, mohon kritik dan sarannya ya terimakasih.
Cerpen GC Rumah Menulis