---
Langit ibu kota sore itu berwarna abu-abu, seolah menandai betapa kacau hatinya Arini saat langkahnya memasuki Rumah Sakit Kemiliteran Pusat. Suruhan pemindahan tugasku dari Semarang terasa mendadak, menggelisahkan, dan… membuatnya menelan kembali rasa yang sudah ia kubur tujuh tahun.
Karena di sinilah ia bertemu lagi dengan Aditya Ramanda.
Laki-laki itu kini bukan lagi kadet tinggi dingin yang pernah membuatnya menangis semalaman, melainkan perwira dengan pangkat cukup tinggi di kesatuan khusus, postur tegap, sorot mata tajam, dan wajah yang hanya bertambah matang… dan menyebalkan. Menyebalkan karena tetap tampan, tentu saja.
Arini menatap papan nama ruang briefing, menarik napas panjang.
“Tenang, Rin. Profesional. Kamu dokter militer dengan prestasi segudang. Kamu bisa menghadapi zombie sekalipun—apalagi cuma mantan.”
Ia mengetuk pintu.
Dari dalam, suara berat dan familiar itu menggema:
“Masuk.”
Ya Tuhan. Baru dengar suaranya saja lututnya lemas.
Arini mendorong pintu dan masuk.
Di ruangan itu sudah ada tiga pasangan yang dipilih untuk misi rahasia. Meisya dan Rama—pasangan suami istri yang terkenal kompak di seluruh kesatuan. Keyla dan Gilang—duo prajurit muda yang terlihat bingung antara tegang atau excited.
Dan terakhir, Aditya berdiri bersedekap di depan layar monitor, seperti bayangan masa lalu yang kembali menampar wajahnya tanpa permisi.
Sorot mata Aditya naik ketika melihatnya.
Diam satu detik. Dua detik.
Tiga detik, belum juga berkedip.
“Dokter Arini,” ucap Aditya akhirnya. “Selamat datang.”
Arini balas mengangguk datar. “Terima kasih, Kapten.”
Semua orang merasa atmosfer berubah. Hening sejenak.
Lalu, tentu saja—Gilang yang tidak sensitif itu memecah ketegangan.
“Eh bu dokter kenal komandan ya? Kok tatapannya kayak mant—”
Keyla langsung menyikut keras pinggang Gilang.
Aditya melotot.
Arini batuk pura-pura.
Meisya menahan tawa sambil menutup mulut.
Rama mengusap wajah, pasrah.
Brifing dimulai.
---
Aditya menekan tombol dan layar menampilkan peta Jawa bagian timur.
“Desa Wesih. Desa kecil di kaki hutan Anjarsari. Wilayah ini dianggap sakral oleh penduduk sekitar. Tidak banyak orang luar yang diizinkan masuk.”
Arini mengamati layar. Desa itu dikelilingi kabut hampir sepanjang tahun, seperti dunia yang terpisah dari zaman modern.
“Empat hari lalu,” Aditya melanjutkan, “Pusat menerima telepon anonim dari seseorang yang mengaku penduduk desa. Ia melaporkan serangkaian kejadian ganjil dan sering memakan korban.”
Rama mengangkat tangan. “Apa saja bentuk kejanggalannya?”
“Suaranya panik tapi terputus. Ia hanya sempat bilang ‘ada yang hilang, orang-orang tidak kembali… tidak wajar… kalian harus datang’, lalu panggilan terputus. Nomornya tak terlacak.”
Gilang menelan ludah. “Horor banget, Komandan.”
Keyla mengangkat alis. “Mending horor daripada kamu.”
Aditya melanjutkan, ekspresi tetap datar.
“Untuk memasuki desa, syaratnya bukan main. Setiap orang luar yang masuk harus berstatus pasangan suami-istri. Tradisi. Aturan adat. Dan mereka menolak menerima tim militer biasa.”
Arini mengerutkan kening. “Mereka hanya menerima pasangan suami-istri? Kenapa?”
“Katanya, roh penjaga desa akan murka kalau kedatangan ‘wanita atau pria sendirian yang tidak terikat’. Kebiasaan adat lama.”
Meisya mengangguk. “Wajar. Banyak desa adat yang punya aturan serupa.”
Aditya menoleh pada ketiga pasangannya.
“Itu sebabnya, kalian semua dipilih untuk menyamar sebagai tiga pasangan suami istri.”
Gilang langsung terbatuk. “S-saya sama Keyla? Nikah, Komandan?”
Keyla memelototinya. “Masalah?”
“Masalahnya aku takut kamu yang bunuh aku duluan sebelum roh desa,” celetuk Gilang.
Semua tertawa.
Lalu Aditya memandang Arini.
Tatapan itu menusuk, ragu, sekaligus… entah apa itu.
“Kita,” Aditya berkata pelan, “akan menyamar sebagai pasangan suami-istri.”
Ruangan mendadak senyap.
Arini membeku. “M-maksudnya, saya dengan… Kapten?”
“Ya.”
“Ada pilihan lain?”
“Tidak.”
“Benar-benar tidak?”
“Benar-benar.”
Arini memejamkan mata. “Tujuh tahun menghilang, sekarang datang bawa paket pernikahan kilat?”
Meisya memekik kecil karena menahan tawa.
Rama langsung bersandar, siap menikmati drama.
Aditya menatapnya tanpa berkedip.
“Ini misi. Kita profesional.”
Arini mengangkat dagu. “Baik. Profesional.”
Walaupun, di dalam hatinya, gemuruh mulai pecah.
---
Pernikahan seperti film komedi. Ada penghulu, ada buku nikah, ada tanda tangan, ada saksi.
Hanya saja, pernikahan itu berlangsung di ruang khusus markas militer.
Dengan aroma desinfektan.
Dengan Aditya memakai seragam.
Dan Arini memakai jas dokter.
“Dengan ini… sah,” ucap penghulu.
Sah.
Kata itu menggema seperti aneh di telinga Arini.
Ia mengintip Aditya—yang tampak lebih tegang dari ketika menghadapi latihan tempur.
Mereka saling menatap beberapa detik.
Canggung. Sungguh canggung.
Meisya berseru riang, “Selamat, kalian resmi jadi suami-istri”
Arini hampir tersedak udara.
Gilang berseru sambil mengambil foto, “Nanti aku bikin grup WA: Pasangan Penyamar Bahagia.”
Keyla menjitak kepalanya. “Hapus niat itu.”
Di tengah keributan kecil itu, Aditya mendekati Arini. Suaranya rendah, nyaris tak terdengar.
“Terima kasih sudah… bersedia.”
Arini mengerjap. “Ini misi. Bukan pilihan.”
Namun ekspresi Aditya meredup sedetik. Luka lama itu muncul lagi di mata laki-laki itu—luka yang dulu tak pernah ia jelaskan.
Arini buru-buru memalingkan wajah.
Tidak. Ia tidak boleh tenggelam lagi.
---
Rombongan berangkat menggunakan kendaraan taktis ringan, dilanjutkan jalan kaki memasuki kawasan hutan karena kendaraan tidak boleh masuk wilayah adat.
Udara dingin. Kabut tebal. Tanah berlumut.
Rama berseru sambil mengusap lengan. “Kenapa hawanya kayak mau shooting film horor begini?”
Gilang menyahut, “Saya lihat dedaunan bergerak sendiri, sumpah.”
Keyla memutar mata. “Itu namanya angin.”
“Tapi anginnya dari bawah, Key.”
“Bawah mana sih, Gil?”
“Ya bawah… kayak ada yang tiup dari tanah.”
Meisya memeluk lengannya. “Kalian jangan bercanda yang seram-seram dulu.”
Arini diam sambil mengamati sekitar. Insting dokternya berkata ada sesuatu yang tidak wajar dengan desaan ini. Udara lembap, jejak kaki yang tidak konsisten, dan aroma kayu tertentu yang menusuk.
Aditya melangkah di sampingnya.
Jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
Arini merasakan keanehan: laki-laki itu selalu berjalan di sisi kanannya—seperti dulu ketika mereka masih kuliah.
“Arini,” Aditya memanggil pelan.
“Hm?”
“Berjalanlah sedikit di dekatku. Medan di sini licin.”
Arini menaikkan alis. “Tujuh tahun lalu kamu tidak peduli kalau aku jatuh.”
Aditya menoleh, menatapnya lama. “Tujuh tahun lalu aku bodoh.”
Arini tercekat.
Sial. Kenapa ucapan sederhana itu bisa begitu mengejutkan?
Ia cepat-cepat mempercepat langkah.
“Fokus ke misi, Kapten.”
Aditya tersenyum samar. “Baik, Bu Dokter.”
---
Gerbang desa terbuat dari kayu besar dengan ukiran rumit. Setiap orang yang melewati harus menunduk sedikit seolah memberi hormat.
Penduduk desa berkumpul di pinggir jalan. Mereka memandangi tiga pasangan “suami-istri” itu dengan ekspresi nyaris tanpa emosi.
Seorang tetua desa, lelaki dengan rambut putih dan tongkat kayu, mendekat.
“Selamat datang, pasangan baru. Desa kami menerima kalian. Aturan kami ketat, tapi selama kalian menghormati adat, kami akan melindungi.”
Senyumnya ramah, namun matanya… kosong. Tidak ada cahaya.
Aditya maju. “Kami datang untuk menjalankan tugas medis dan pemeriksaan wilayah.”
Tetua itu mengangguk. “Baik. Kalian akan tinggal di rumah sesuai pasangan masing-masing.”
Gilang berseru, “Saya satu rumah sama Keyla?”
Keyla mengetap bibir. “Tenang, aku nggak bakal makan kamu.”
“Takutnya kamu makan hatiku.”
“Gilang…”
“Ya?”
“Diam.”
Rama dan Meisya sudah tertawa kecil.
Lalu tetua itu memerhatikan Aditya dan Arini.
“Kalian berdua… auranya kuat. Ada sesuatu di antara kalian yang belum selesai.”
Arini menegang. “Maksudnya?”
Tetua itu hanya tersenyum samar, misterius.
“Kalian akan tahu sendiri.”
---
Pasangan Arini-Aditya ditempatkan di rumah kayu paling ujung desa. Rumah itu sederhana tapi rapi. Ada satu ranjang besar di tengah.
Arini menunjuk ranjang itu.
“Ada kasur lipat lain?”
“Tampaknya tidak,” jawab Aditya.
“Kita tidak bisa tidur satu ranjang.”
“Kita memang tidak akan. Ambil saja bantal, aku bisa tidur di lantai.”
Arini memelototinya. “Kamu kapten. Tidurlah di ranjang.”
“Tidak masalah.”
“Aditya.”
“…Arini.”
“Aku tidak nyaman kalau kamu tidur di lantai.”
Aditya terdiam. Tatapannya melunak.
“Kalau begitu, kita tidurlah dengan pembatas bantal di tengah.”
“Ya, seperti anak TK,” gumam Arini.
“Anak TK tidak menikah dulu baru tidur sekamar.”
Arini menutup wajah dengan tangan. “Tolong jangan diucapkan dengan santai seperti itu.”
Aditya tertawa kecil—suara yang dulu selalu membuat Arini leleh.
Sial.
Tidak boleh terbawa.
---
Malam pertama, saat semua pasangan berkumpul untuk makan malam adat, Arini memperhatikan beberapa hal ganjil:
1. Tidak ada anak-anak.
Satu pun tidak terlihat di desa.
2. Penduduk selalu menghindari hutan di belakang desa, seolah ada sesuatu yang harus dihindari.
3. Setiap pukul 10 malam, semua rumah menutup pintu rapat dan tidak ada suara sedikit pun.
Gilang mengangkat tangan saat makan bersama. “Pak tetua, boleh tanya?”
Tetua menoleh. “Silakan.”
“Kenapa desa ini sepi anak-anak?”
Tetua tersenyum hambar. “Mereka sedang tidur. Malam bukan waktu aman bagi yang kecil.”
Keyla mengerutkan kening. “Tidak ada suara sama sekali.”
“Mereka tidur sangat tenang.”
Arini mencatat dalam pikirannya: jawaban menghindar.
Setelah makan, Aditya menarik Arini ke samping.
“Kamu melihat?” tanya Aditya.
“Iya. Terlalu banyak yang disembunyikan.”
“Kita harus hati-hati.”
“Sejak kapan kamu peduli kepadaku?”
Aditya memandangnya lama. “Sejak dulu. Aku hanya tidak pandai menunjukkannya.”
Arini tercengang.
Ada sesuatu dalam nada suara Aditya yang membuat hatinya goyah.
Namun sebelum ia sempat menjawab, jeritan terdengar dari kejauhan.
---
Seorang wanita desa berlari sambil menangis. “Suamiku! Dia belum pulang sejak pergi mengambil kayu sore tadi!”
Penduduk lain panik.
Rama berkata, “Kami bisa bantu mencari.”
Tetua mengangkat tangan. “Tidak perlu. Malam bukan waktu mencari.”
Aditya maju. “Jika ada warga hilang, kami harus membantu.”
Tetua menatapnya dengan tajam. “Aturan desa melarang orang keluar rumah setelah malam tiba. Kemarahan penjaga bisa bangkit.”
Arini berbisik pada Aditya, “Ini semakin aneh.”
Aditya mengangguk. “Besok pagi, kita cari.”
Namun menjelang subuh, hal yang lebih mengerikan terjadi.
Teriakan lain menggema—lebih besar, lebih putus asa.
Ketika tim tiba di lokasi, seorang laki-laki ditemukan bersimpuh sambil memeluk sesuatu yang diselimuti kain.
Ketika kain itu terbuka…
Arini menahan napas.
Rama dan Meisya membeku.
Gilang mundur selangkah.
Mayat pria yang hilang semalam… wajahnya membiru, tubuh penuh luka gores panjang seperti cakaran, dan matanya terbuka kosong.
Tetua berkata pelan. “Penjaga hutan sudah mengambil.”
Arini menatap luka-luka itu. “Ini bukan cakaran hewan biasa.”
Aditya mengamati sekitar, tangannya refleks melindungi Arini di belakangnya.
“Ada sesuatu di hutan itu,” gumam Aditya. “Dan mereka menutupinya.”
---
Di rumah, malam itu…
Arini duduk di tepi ranjang, pikiran kacau. Mayat tadi muncul terus di benaknya. Lalu suara lembut mengusik.
“Arini.”
Aditya duduk di lantai, bersandar di sisi ranjang. “Kamu tidak apa-apa?”
“Aku dokter, Aditya. Mayat bukan hal baru.”
“Tapi ini berbeda.”
Arini terdiam.
Aditya memandangnya lama. “Aku tahu kamu berusaha tetap kuat. Tapi kamu boleh—”
“Aditya,” Arini memotong, “kenapa dulu kamu pergi begitu saja?”
Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya.
Aditya membeku.
“Aku tidak pergi,” jawabnya pelan. “Aku… dipindah tugaskan tiba-tiba ke daerah konflik. Tidak boleh kontak siapa pun. Aku ingin kembali mencari kamu setelah itu, tapi kamu sudah… menghilang. Nomormu berubah. Kamu pindah kos. Semua kontakmu hilang.”
Arini tertegun. “Aku pikir kamu meninggalkanku.”
“Aku pikir kamu ingin putus,” ucap Aditya, suaranya parau. “Aku pikir kamu membenciku.”
Hening.
Sesak memenuhi udara.
“Arini,” ia melanjutkan pelan, “aku selalu mencintaimu. Itu tidak pernah berubah.”
Arini menelan ludah. “Tapi… kita menikah hanya untuk misi.”
“Tapi perasaanku bukan bagian dari misi.”
Arini menutup wajah. Air mata turun tanpa ia sadari.
Aditya berdiri pelan, mendekat. “Boleh aku… memelukmu?”
Arini tak menjawab. Tapi ia tidak menolak ketika Aditya merengkuhnya ke dalam pelukan hangat dan kuat itu.
Untuk pertama kali dalam tujuh tahun, Arini merasa pulang.
Namun saat mereka saling mendekap, di luar rumah…
suara langkah berat terdengar.
Dug… dug… dug…
Langkah yang tidak wajar.
Langkah yang terlalu besar untuk manusia.
Aditya menegang, memeluk Arini lebih erat.
Arini berbisik, “Apa itu?”
Aditya menggeleng. “Bukan hewan. Bukan manusia.”
Malam di desa itu baru mulai menunjukkan wajah aslinya.
---
Pagi harinya, tim berunding.
“Semalam aku dengar sesuatu besar lewat dekat rumah,” lapor Aditya.
Rama menambahkan, “Jejak kaki aneh ditemukan dekat sungai. Ukurannya tiga kali ukuran manusia.”
Gilang langsung pucat. “Aku resign besok.”
Keyla mencubit lengannya. “Besok kita masih hidup nggak, Gil?”
Arini berkata, “Mayat pria kemarin punya pola goresan yang bukan binatang normal. Ini seperti—”
“Tangan manusia, tapi memanjang,” sambung Meisya.
Aditya mengangguk. “Kita pergi ke hutan. Cari petunjuk.”
Tetua muncul tiba-tiba di belakang mereka. “Tidak boleh.”
“Kami harus,” balas Aditya.
Tatapan tetua berubah gelap. “Kalau kalian masuk hutan… yang tersesat tidak akan kembali.”
“Biarkan kami mencoba.”
Tetua menatap Aditya lama, lalu Arini.
“Baiklah. Tapi ingat: yang kalian cari bukan selalu ingin ditemukan.”
Ucapan itu terasa seperti ancaman.
---
Hutan itu tidak seperti hutan biasa.
Aromanya tajam—mirip tanah basah bercampur darah.
Pohon-pohnya tinggi dengan akar menjalar seperti jari raksasa.
Arini berjalan di samping Aditya, menahan rasa mual yang datang tiba-tiba.
Tiba-tiba, Keyla menunjuk sesuatu. “Jejak kaki!”
Jejak besar, dalam, dan bertiga. Tidak beraturan.
Gilang mendekat, tapi langsung menjauh. “Ini… ini bukan kaki.”
Arini menunduk.
Betul. Jejak itu seperti kaki manusia… tapi dengan dua ruas jari tambahan memanjang ke samping.
Tidak wajar.
Tidak manusiawi.
Saat mereka melangkah lebih dalam, suara lirih terdengar.
Seperti… bisikan.
Pulang…
pergi…
jangan masuk…
Arini gemetar. “Kalian dengar?”
Semua mengangguk kecuali Aditya, yang langsung berdiri di depan Arini, melindungi.
Tiba-tiba…
suara teriakan.
“ARGHHHH!”
Mereka berlari ke sumber suara dan menemukan seorang pria desa jatuh terguling, wajah penuh luka cakaran. Ia gemetar ketakutan.
“Ada… ada penjaga… hutan… dia… memburu…”
Aditya berlutut. “Penjaga itu apa?”
Pria itu menggigil. “Dulu… ia manusia. Tapi dihukum… karena melanggar adat… menjadi pelindung… sekaligus kutukan… Dia lapar…”
Arini menelan ludah. “Dan dia mencakar orang sampai mati?”
“Itu… kalau kalian melanggar wilayahnya.”
Tiba-tiba tanah bergetar.
Semua orang menoleh.
Di antara kabut…
sebuah bayangan besar muncul.
Tinggi.
Berbulu sebagian.
Bentuk tubuh manusia, tapi tangan panjang dengan kuku tajam.
Dan mata merah membara.
Aditya menjerit, “SEMUA MUNDUR!”
Makhluk itu mengeluarkan suara rendah, seperti tangisan bercampur geraman.
Gilang berteriak, “ITU APAAN?!”
Rama menarik Meisya. Keyla menodongkan senjatanya.
Arini berdiri terpaku—ketakutan, tapi juga terpesona oleh tingkat mutasi aneh itu.
Makhluk itu maju selangkah.
Aditya berdiri tepat di depan Arini, tubuhnya seperti tameng.
“Jangan dekati dia!” teriaknya pada makhluk itu.
Makhluk itu mengaum. Suaranya memekakkan.
Dan tiba-tiba… ia melompat.
---
Aditya menepis serangan dengan pisau tempur. Rama dan Gilang membantu menembakkan peluru bius. Keyla mengalihkan perhatian makhluk itu.
Arini mundur, namun tersandung akar pohon.
“Arini!” Aditya berlari ke arahnya.
Makhluk itu berbalik ke arah Arini.
Detik itu, dunia seperti berhenti.
Arini memejamkan mata.
Tapi… makhluk itu berhenti hanya beberapa sentimeter darinya.
Ia menunduk.
Mencium…
seolah mengenali bau sesuatu.
Tetua muncul tiba-tiba di antara pepohonan, wajahnya pucat.
“Hentikan! Dia tidak boleh melukainya!”
Makhluk itu langsung mundur, mengeluarkan suara lirih—nyaris seperti… memohon.
Arini membuka mata dengan gemetar. “Kenapa dia tidak melukai saya?”
Tetua menatapnya dengan sorot rumit. “Karena… kamu mirip seseorang yang sangat berarti baginya.”
“Siapa?”
“Perempuan yang menyebabkan kutukan ini muncul.”
Aditya menegang. “Apa maksud Anda?”
Tetua mendesah. “Kalian mencari jawaban. Maka kalian harus tahu: penjaga hutan itu dulunya manusia. Dan dia menjadi monster… karena pengkhianatan cinta.”
Arini bergidik.
Aditya menggenggam tangannya tanpa sadar.
Tetua melanjutkan:
“Dan kini, ia melihat Arini… sebagai reinkarnasi orang yang membuatnya tersesat.”
Arini menelan ludah. “Saya… mirip pacarnya?”
“Mirip cintanya… yang membuatnya dikutuk oleh roh desa.”
Suasana hening. Berat.
Aditya menarik Arini mendekat.
Nada suaranya dingin, penuh kecemburuan.
“Jadi, bahkan monster pun tertarik padamu?”
Arini memelototinya. “Aditya, serius?”
Aditya menunduk sedikit. “Ya. Aku serius.”
Arini terdiam. Wajahnya memanas.
Tetua melanjutkan. “Jika kalian ingin menghentikan makhluk itu… hanya Arini yang bisa mendekatinya.”
Arini mundur selangkah. “S-saya?”
“Dia mengenalimu. Kamu satu-satunya yang bisa menenangkan.”
Aditya langsung menolak, “Tidak. Tidak mungkin. Arini tidak akan dijadikan umpan.”
Arini memandang Aditya. “Tapi… kalau itu satu-satunya cara?”
Aditya menatapnya tajam. “Aku tidak akan membiarkan kamu terluka. Tidak lagi.”
Arini membeku. Kata-katanya begitu tulus.
Tetua menatap mereka berdua lama. “Kalian berdua terikat takdir yang rumit. Seperti penjaga itu dan kekasihnya dulu.”
---
Pada malam berikutnya, keputusan harus diambil. Makhluk itu semakin agresif, mulai mendekati desa setiap malam.
Arini berkata tegas, “Saya akan bicara padanya.”
Aditya menggeleng. “Tidak.”
Rama menambahkan, “Arini, ini berbahaya.”
Meisya mencoba menenangkan. “Kita cari cara lain.”
Namun Keyla justru mendukung Arini. “Kalau makhluk itu menyerang desa, korban akan lebih banyak.”
Akhirnya Arini menatap Aditya.
“Trust me.”
Aditya menutup mata, napas berat.
“Aku percaya kamu. Aku hanya takut kehilangan kamu lagi.”
Arini menggenggam tangan Aditya. “Aku tidak akan hilang.”
---
Malam itu…
Di hutan, makhluk itu muncul dari kabut.
Arini melangkah maju perlahan.
Makhluk itu menggeram tapi tidak menyerang.
“Kalau kamu masih punya bagian dari manusia,” ucap Arini lirih, “tolong berhenti melukai penduduk.”
Makhluk itu mengeluarkan suara seperti isak. Tangannya gemetar.
“Aku bukan perempuan masa lalumu,” Arini berkata. “Tapi aku bisa membantumu menemukan kedamaian.”
Aditya berdiri beberapa meter di belakang, tegang setengah mati.
Makhluk itu meraih tangan Arini…
perlahan…
seperti seorang manusia yang meminta tolong.
Tetua mengangkat tongkat dan membacakan mantra adat.
Makhluk itu menjerit keras, tubuhnya bergetar.
Arini memperlihatkan ketenangan luar biasa.
“Lepaskan dendammu… pulanglah,” bisiknya.
Dalam kilatan cahaya, tubuh makhluk itu mengecil—perlahan kembali menjadi manusia.
Seorang lelaki muda yang tampak lemah, meneteskan air mata.
“Terima kasih… terima kasih,” bisiknya sebelum pingsan.
Penduduk desa menangis lega.
Aditya berlari, langsung meraih Arini dalam pelukan.
“Kamu gila,” Aditya memeluknya erat. “Kamu benar-benar gila.”
Arini tersenyum kecil. “Tapi berhasil, kan?”
Aditya mengusap pipinya. “Kalau tadi kamu terluka sedikit saja, aku—”
Arini menutup mulutnya dengan jari. “Aku baik-baik saja.”
Mereka saling tatap… lama.
Tanpa kata.
Dan akhirnya—setelah tujuh tahun berputar-putar, salah paham, hilang, dan bertemu lagi…
Aditya mencium Arini dengan lembut namun penuh penyesalan yang terbayar.
Dan untuk pertama kalinya, Arini membalas tanpa ragu.
“Misi kita belum selesai,” bisik Aditya.
Arini tersenyum. “Hubungan kita belum juga.”
---
Setelah misi selesai, semuanya kembali ke ibu kota.
Rama dan Meisya langsung menggoda Arini-Aditya setiap hari.
Keyla dan Gilang akhirnya resmi pacaran (walau mereka menyangkal).
Arini dan Aditya…
Mereka tidak membatalkan pernikahan itu.
Bahkan, Aditya mulai mengantar Arini bekerja setiap pagi, memanggilnya “istri” dengan ekspresi bangga dan menyebalkan.
Dan Arini?
Arini akhirnya berani mengakui bahwa dia jatuh cinta lagi.
Pada laki-laki yang sama.
Dengan cara yang baru.
Yang lebih matang.
Yang tidak akan ia lepaskan lagi.
Karena kali ini…
mereka tidak hanya terikat misi,
tapi juga terikat hati.
---
Selesai.