Happy reading
---
CHAPTER 3 — “Perkara yang Tidak Selesai Dalam Diri Kita”
---
1. Hari-Hari yang Tidak Mengikuti Pola
Seminggu setelah percakapan itu, hidup Alena berjalan seperti hujan rintik yang turun tanpa jadwal. Ada hari dia merasa ringan saat pagi, lalu tiba-tiba tertekan menjelang siang. Ada hari dia merasa berani bicara… tapi dadanya mendadak mengeras saat mendengar seseorang tertawa terlalu keras.
Ia tidak tahu kenapa hal-hal sederhana bisa mengganggu begitu dalam.
Dalam buku catatannya, ia menulis:
> “Kadang aku merasa sembuh.
Kadang aku merasa kembali ke titik awal.
Tapi kupikir mungkin memang begitulah prosesnya.”
Dia masih bertemu Nara, tapi kini ada jarak tipis — bukan setiap saat terasa, tapi cukup jelas untuk membuat mereka sama-sama berhati-hati.
Kadang dekat, kadang canggung, kadang kembali hangat lagi.
Seperti hubungan dua orang yang sama-sama takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya mereka pegang.
---
2. Kafe Kecil yang Menyimpan Kebiasaan Baru
Setiap Jumat sore, Alena dan Nara punya kebiasaan baru:
pergi ke sebuah kafe kecil di sudut kota.
Tempat itu tenang, dindingnya dipenuhi cat warna pastel, dan lampu gantungnya berpendar seperti kunang-kunang malas.
Alena selalu memesan coklat hangat. Nara selalu pesan latte.
Kadang mereka hanya duduk tanpa bicara lama, tapi keheningan itu tidak pernah terasa memaksa.
Namun hari itu berbeda.
Nara tampak gelisah — mengetuk meja, menggenggam gelas terlalu kuat.
“Kamu capek?” tanya Alena pelan.
Nara terdiam sejenak. “Bukan capek. Hanya… aku merasa kamu menjauh.”
Kalimat itu jatuh seperti batu kecil tapi berbunyi sangat keras di hati Alena.
“Aku tidak bermaksud menjauh,” jawabnya.
“Kadang… aku hanya perlu ruang untuk bernapas.”
Nara menatapnya lama sekali, sebelum berkata:
“Ruang itu hak kamu. Tapi aku takut kamu menjauh bukan karena butuh ruang… tapi karena aku salah lagi.”
Kata lagi itu menampar pelan.
Alena tiba-tiba sadar:
bukan hanya dia yang membawa trauma ke hubungan ini — Nara pun membawa ketakutannya sendiri.
Dan itu membuat segalanya lebih rumit.
---
3. Kejadian di Lorong Sekolah
Tiga hari kemudian, rumor baru muncul. Lebih buruk, lebih menusuk.
Mereka bilang Alena “sengaja menempel pada Nara karena mau tempat aman baru.”
Dan saat Alena berjalan di lorong, dua siswi senior melempar komentar:
> “Kasian Nara, pasti dia dimanfaatin lagi.”
Kata lagi itu membuat wajah Alena pucat.
Ia menunduk, menahan napas.
Suara-suara itu menghidupkan kembali trauma lama yang ia pikir sudah padam.
Tiba-tiba, seseorang berdiri di depannya — Mercy, teman sekelas yang jarang bicara tapi punya kehadiran tenang.
“Jangan dengerin,” bisiknya.
“Mereka cuma mau lihat kamu hancur.”
Kalimat itu sederhana, tapi cukup membuat Alena terpaku.
Ada sesuatu dalam tatapan Mercy yang seperti… memahami luka yang sama.
---
4. Saat Rumah Menjadi Tempat yang Terlalu Ribut Untuk Hati yang Lelah
Di rumah, Alena juga tidak menemukan ketenangan.
Ayah ibunya sedang sering bertengkar.
Adiknya rewel.
Pintu kamar sering diketuk karena hal-hal kecil.
Dan ketika seseorang di rumahnya berkata,
> “Kamu itu sensitif banget, hal sepele aja dibesar-besarin,”
Ia merasa seluruh dunia tiba-tiba menyempit.
Di balik pintu kamar, ia duduk memeluk selimut dan menangis tanpa suara.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merindukan sesuatu yang tidak ia pahami.
Bukan rumah. Bukan teman.
Tapi… tempat pulang untuk emosinya sendiri.
---
5. Plot Twist: Pesan dari Orang yang Tidak Duga
Saat tengah malam, ketika matanya bengkak dan ruangan sunyi, ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk.
Dari seseorang yang tidak dekat dengannya —
Cece, yang dulu satu lingkaran toxic dengannya.
> “Len… boleh bicara sebentar?
Aku dengar rumor itu. Ada hal yang kamu perlu tahu.”
Hati Alena langsung tegang.
Ia menatap layar lama sekali sebelum membalas:
> “Ada apa?”
Cece menjawab cepat:
> “Rumor tentang kamu dan Nara… itu berasal dari orang yang kamu kira sudah berhenti peduli.
Dan bukan seseorang yang kamu kira.”
Napas Alena tercekat.
> “Siapa?”
Cece mengirim satu nama.
Dan nama itu bukan siapa-siapa yang sedang ia curigai.
Justru seseorang yang dulu ia anggap teman paling aman di lingkaran itu —
yang pernah bilang akan selalu ada untuknya.
Seseorang yang ia tidak pernah sangka punya dendam.
Hatinya bergetar hebat.
---
6. Konfrontasi Paling Tenang, Namun Paling Menyakitkan
Esoknya, Alena menemui orang itu—Liria, teman lama yang wajahnya selalu lembut tapi kata-katanya sering tajam tanpa disadari.
Pertemuan mereka terjadi di perpustakaan.
“Kenapa kamu buat rumor itu?” tanya Alena, suaranya pelan namun stabil.
Liria menghela napas seolah ia korban.
“Len… aku cuma bilang apa yang aku lihat. Kamu dulu dekat banget sama kami, lalu kamu ninggalin begitu aja. Sekarang kamu sama Nara. Kamu pikir itu gak keliatan mencurigakan?”
Alena terpaku.
Liria melanjutkan:
“Aku gak mau kamu terluka lagi, jadi aku bilang ke orang-orang… mungkin kamu butuh hati-hati sama Nara.”
Itu bukan jawaban.
Itu manipulasi.
“Kalau kamu peduli,” ucap Alena pelan, “kamu harusnya ngomong ke aku. Bukan ke semua orang.”
Liria diam. Diam yang berarti bersalah tapi menolak mengakuinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
Alena memilih pergi tanpa menunduk.
---
7. Retakan Terbesar: Nara Mendengar Sesuatu yang Salah
Namun konflik tidak berakhir.
Saat Alena hendak pulang, Nara memanggilnya—wajahnya kusut, marah, tapi juga terluka.
“Aku dengar kamu bilang ke orang kalau kamu sebenarnya gak percaya aku,” katanya.
Alena langsung membeku.
“Aku gak pernah bilang begitu!”
“Tapi seseorang tadi ngomong langsung ke aku,” potong Nara.
“Seseorang yang kamu kenal.”
Alena langsung tahu siapa.
Liria.
Seseorang telah memutarbalikkan kata-katanya — lagi.
“Aku gak bilang itu, Nara,” suara Alena tremor.
“Tolong percaya aku.”
Nara menatapnya.
Lama sekali.
Dan inilah bagian yang paling menyakitkan:
> “Aku ingin percaya kamu…
tapi masa lalu aku membuat itu sulit.”
Kalimat itu membuat seluruh tubuh Alena terasa dingin.
---
8. Malam Paling Sunyi
Malam itu, Alena duduk di lantai kamarnya, memeluk lutut, cahaya lampu meja memantul di air matanya.
Ia tidak menangis keras.
Tangisnya datang seperti embun yang terus-menerus jatuh tanpa suara.
Ia berbisik pada dirinya sendiri:
> “Kenapa selalu begini?
Kenapa aku selalu jadi orang yang disalahpahami?”
Namun di tengah keputusasaan itu, ada sesuatu yang baru tumbuh:
kesadaran bahwa dirinya bukan lagi gadis yang pasrah.
Meski hancur, ia tidak ingin kembali pada versi lamanya.
---
9. Pagi yang Membawa Keberanian Kecil
Esok paginya, Alena bangun lebih awal.
Ia membuat teh hangat, duduk di balkon kecil, memandangi langit pagi yang biru pucat.
Angin dingin mengetuk pipinya lembut.
Di buku harian, ia menulis:
> “Aku lelah menjadi korban dalam cerita orang lain.
Mungkin sudah waktunya aku memilih versi diriku yang berani.”
Dan untuk pertama kalinya setelah lama,
ia merasa hatinya punya ruang untuk bertumbuh.
---
10. Ending Chapter 3: Alena Mengambil Langkah Yang Tidak Pernah Ia Berani Ambil
Sore itu, Alena berjalan ke arah tempat Nara biasa duduk di taman.
Langkahnya mantap, namun jantungnya berdetak keras.
Nara melihatnya, ragu-ragu, hampir ingin bangkit tapi juga hampir ingin pergi.
Alena berhenti di depan dirinya dan berkata:
> “Kalau kamu mau menjauh karena takut… aku gak bisa menahan.
Tapi aku ingin kamu tahu satu hal:
aku tidak ingin hubungan kita ditentukan oleh ketakutan masa lalu.
Milikmu… ataupun milikku.”
Nara menatapnya, untuk pertama kalinya tanpa dinding emosional.
Alena melanjutkan:
> “Kalau kamu juga mau… kita bisa belajar percaya.
Pelan-pelan.
Bareng-bareng.”
Angin sore meniup rambut mereka.
Nara menunduk, lalu menghela napas panjang —
napas seseorang yang akhirnya berani menurunkan beban.
“Aku mau,” katanya.
Dengan suara yang pecah sedikit.
“I really… want to try.”
Dan di bawah langit sore yang lembut,
dua hati yang sama-sama penuh luka
akhirnya sepakat untuk mencoba menyembuhkan diri — bukan sendirian,
tapi bersama-sama, meski jalannya tidak mudah.
---
Continued to CHAPTER 4
✨