---
CHAPTER 2 — “Hal-Hal yang Tumbuh dari Senyap”
---
1. Musim yang Tidak Bernama
Sejak meninggalkan lingkaran toxic itu, hari-hari Alena terasa seperti pagi buta yang baru menemukan cahaya. Bukan terang… tapi lembut. Seolah dunia memberinya ruang yang selama ini ia cari.
Setiap pulang sekolah, ia melewati taman kecil. Daun-daun berguguran tanpa suara, jatuh di pundaknya seperti teguran manis dari alam:
“Tidak apa-apa melepaskan.”
Ia tersenyum sedikit, lalu melanjutkan langkah.
Namun ada sesuatu yang diam-diam tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang ia belum berani beri nama. Bukan cinta, bukan kagum, bukan juga ketergantungan. Lebih seperti… kepercayaan yang tumbuh perlahan pada seseorang yang baru menjadi bagian hidupnya.
Seseorang bernama Nara.
---
2. Orang Baru, Luka Lama
Meskipun hubungan dengan Nara berjalan natural, Alena tetap membawa sisa-sisa luka dari masa lalunya.
Terkadang ketika Nara terlambat membalas pesan, hatinya langsung bergetar cemas.
Terkadang ketika Nara tampak sibuk, Alena langsung merasa dirinya merepotkan.
Ia membenci perasaan itu.
“Kenapa aku seperti ini…” gumamnya suatu sore.
Ia belajar sesuatu yang menyakitkan:
toxic friendship tidak hanya pergi… mereka meninggalkan sisa yang harus ia bersihkan sendiri.
Dan terkadang, tangan yang paling lembut pun bisa gemetar saat menyentuh luka.
---
3. Ruang Musik yang Sunyi
Suatu hari, hujan turun deras.
Alena berteduh di ruang musik sekolah, tempat yang jarang dipakai. Lampu kuning redup membuat ruangan terasa hangat.
Ia duduk di depan piano dan menekan beberapa tuts pelan.
Suara yang keluar terdengar seperti napas panjang seseorang yang baru saja menangis.
Nara datang tanpa suara.
Tidak menghampiri—hanya duduk di sisi ruangan dan membiarkan jarak mengatur kenyamanan.
“Kamu selalu seperti ini saat sedang tidak baik-baik saja,” katanya.
Alena berhenti memainkan piano. “Seperti apa?”
“Seperti orang yang tidak ingin mengganggu siapa pun… termasuk dirinya sendiri.”
Kata-kata itu membuat Alena menatap lantai.
Ia tidak tahu kenapa kalimat Nara selalu seperti kunci yang membuka sesuatu di dalam dirinya.
Nara melanjutkan, “Kamu boleh sedih, Len. Kamu boleh marah. Kamu boleh tidak sempurna.”
Alena hampir menangis, bukan karena lemah, tapi karena akhirnya ada seseorang yang tidak menyuruhnya ‘sabar’ atau ‘gak usah lebay’.
---
4. Titik Retak Baru
Namun kedamaian tidak bertahan lama.
Di sekolah, kabar mulai beredar.
Ada yang mengatakan Alena menjauhi teman-temannya karena “sok suci”.
Ada pula yang bilang ia “dimanfaatkan” oleh Nara.
Bahkan ada yang menyebar rumor bahwa Alena “haus perhatian”.
Rumor itu membuat dada Alena sesak.
Tidak sebesar dulu, tapi cukup untuk membuatnya gemetar saat mendengar namanya dibisikkan.
Ketika Nara mengetahui hal itu, ia berkata:
“Kalau kamu mau, aku bisa bantu meluruskan—”
“Tidak perlu.”
Jawaban Alena cepat, hampir terlalu cepat.
Nara menatapnya. “Kenapa?”
Alena menghela napas panjang. “Karena aku ingin mencoba melindungi diriku sendiri, kali ini.”
Itu jawaban yang benar.
Tapi jujur saja… ia masih takut.
Dan ketakutan itu adalah benih retakan baru.
---
5. Plot Twist: Rahasia yang Tidak Sengaja Terungkap
Beberapa hari setelah rumor itu merebak, Alena menemukan sesuatu yang membuatnya diam cukup lama untuk merasakan jantungnya berhenti sejenak.
Ia mendengar dua kakak kelas yang tidak sengaja membicarakan sesuatu:
> “Nara itu dulu sekolahnya pindah karena kasus pertemanan yang kacau.”
“Katanya dia pernah nyuratin konselor buat temannya, tapi semuanya jadi balik nuduh dia manipulatif.”
Alena terpaku.
Itu berarti—hal yang Nara lakukan padanya, yakni menghubungi konselor diam-diam—pernah ia lakukan untuk orang lain… dan berakhir buruk.
Sebuah pertanyaan berputar di kepala Alena:
“Apa aku hanya pengulangan dari sesuatu yang gagal di masa lalu?”
Untuk pertama kalinya, ia merasa ada kabut tebal tertarik turun di antara mereka.
---
6. Konfrontasi yang Tidak Ia Rencanakan
Setelah sekolah, Alena mendatangi Nara.
“Nara… aku dengar sesuatu tentang masa lalu kamu.”
Nara mengangguk tanpa terkejut. “Kamu mau tahu semuanya?”
Alena menelan ludah. “Iya.”
Dan Nara bercerita—tenang, tapi matanya mengeras seakan menahan badai:
“Teman dekatku dulu mengalami tekanan berat, tapi tidak mau mengakuinya. Aku panik, jadi aku lapor ke konselor diam-diam. Tapi orang lain memutarbalikkan cerita. Mereka bilang aku ingin merusak hubungan pertemanan mereka. Pada akhirnya… dia sendiri menjauh dariku. Katanya aku menusuknya dari belakang.”
Alena hanya bisa diam.
Nara melanjutkan dengan suara lebih pelan:
> “Sejak itu aku berhenti berharap ada yang mengerti maksud baikku.
Sampai aku bertemu kamu.”
Hening menguasai ruangan.
Alena menatap tangannya sendiri.
Ia ingin berkata bahwa ia mengerti.
Ia ingin berkata bahwa ia tidak akan meninggalkan Nara.
Namun bekas luka lamanya berbisik:
“Jangan cepat percaya… kamu bisa sakit lagi.”
---
7. Healing Tidak Selalu Manis
Malam itu, Alena duduk di kamarnya sambil memeluk lutut.
Ia bukan menangis—ia hanya diam, terlalu penuh untuk mengeluarkan suara.
Ia sadar sesuatu:
Healing ternyata bukan garis lurus.
Ada kalanya luka baru muncul dari tempat yang tidak dia duga.
Ada kalanya orang yang ingin ia percayai justru memicu rasa takut lama.
Tapi ia juga tahu:
“Kalau aku terus lari… aku tidak akan pernah sembuh.”
Jadi ia menulis lagi di buku harian:
> “Aku takut… tapi aku ingin memilih keberanian meski tipis.”
---
8. Penutup: Langkah Kecil yang Menggetarkan
Keesokan harinya, Alena menghampiri Nara di perpustakaan.
Ia tidak menunggu Nara bicara.
Ia yang dulu selalu menahan suara… kali ini langkahnya lebih dulu.
“Nara,” katanya sambil menatap mata orang itu,
“boleh aku belajar mempercayaimu… pelan-pelan?”
Nara tersenyum. Senyum yang tidak mengikat, hanya menyambut.
“Tentu. Kita tidak harus terburu-buru.”
Dan untuk pertama kalinya, Alena merasa ia tidak sendiri dalam proses penyembuhannya.
Hari itu terasa seperti langkah kecil… tapi langkah yang mengguncang seluruh hatinya.
---
to be continued to CHAPTER 3