---
CERITA: “Alena dan Hari yang Tidak Mengeluarkan Suara”
---
1. Pagi yang Selalu Terlalu Sunyi
Alena selalu bangun sebelum matahari selesai menenangkan dirinya. Baginya, pagi punya cara tertentu untuk bicara—pelan, hampir seperti bisikan yang tidak ingin mengganggu siapa pun.
Di kamarnya, aroma buku-buku tua bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh. Ia duduk di meja kayu kecil, membuka jendela sedikit, dan membiarkan udara masuk.
Ada ritual yang tidak pernah ia lewatkan:
menulis satu kalimat ke dalam buku harian.
Hari itu ia menulis:
> “Aku harap hari ini tidak menelan aku seperti kemarin.”
Ia menutup buku itu perlahan, seakan takut kalimatnya pecah.
---
2. Lingkungan yang Terlalu Ramai untuk Hati yang Terlalu Lembut
Di sekolah, Alena selalu berjalan sambil menunduk. Bukan karena takut—sejujurnya, ia hanya tidak punya tenaga untuk menatap dunia yang selalu menuntut.
Sahabat-sahabatnya dulu bilang ia “terlalu lembut”, “terlalu peka”, “terlalu mudah merasa”.
Mereka menyebutnya terlalu…
padahal mereka sendiri yang terlalu sedikit memberi ruang.
Dulu, ia punya satu lingkaran pertemanan yang terlihat hangat—padahal panasnya kadang membakar.
Ada Reena, yang suaranya manis di depan orang lain tapi penuh duri ketika hanya berdua.
Ada Mira, yang suka menjadikan Alena bahan cerita tanpa izin, hanya agar dirinya tampak menarik.
Dan ada Gavin, laki-laki yang selalu bicara seolah ia tahu segala hal tentang perasaan orang lain.
Mereka bertiga sering bilang:
> “Kamu tuh kebanyakan mikir.”
“Gak usah baper, Len. Biasa aja kali.”
“Kamu tuh lucu… soalnya gampang dimainin.”
Dan Alena, dengan segala kerapuhannya, hanya tersenyum.
Karena diam selalu terasa lebih aman daripada memperjuangkan diri sendiri.
---
3. Mulai Retak, Pelan Tapi Pasti
Hari itu, Reena merampas buku catatan milik Alena.
Lembaran yang berisi tulisan-tulisan paling pribadi—tempat Alena menyembunyikan rasa cemasnya, rasa takutnya, dan daftar hal-hal kecil yang membuatnya bertahan.
“Buat apa sih nulis beginian? Drama banget,” ucap Reena, tertawa.
Mira ikut membaca, “Ya ampun, ini bagian kamu sedih gara-gara kita? Serius Len? Kita kan bercanda!”
Gavin menambahkan, “Dia emang gitu, guys. Bawaannya mellow.”
Tawa mereka meletup seperti petasan.
Dan di saat itulah sesuatu di dalam dada Alena patah tanpa suara.
Ia mengambil bukunya kembali. Tangannya gemetar.
“Jangan sentuh hidupku kalau kalian hanya ingin membongkarnya untuk ditertawakan,” katanya pelan.
Mereka terdiam.
Karena Alena tidak pernah marah.
Tapi retakan itu hanya awal.
---
4. Pertemuan Tak Terduga
Di perpustakaan sekolah, tempat yang sering ia jadikan persembunyian, Alena bertemu seseorang yang jarang ia perhatikan sebelumnya—Nara, si murid baru yang punya tatapan seperti langit setelah hujan: tenang, tapi terlihat pernah badai.
Nara menatapnya lama, sebelum berkata:
> “Aku sering lihat kamu duduk sendiri.
Tapi kamu tidak terlihat kesepian… kamu terlihat menjaga sesuatu.”
Alena terdiam. Tidak banyak orang bisa membaca dirinya seperti itu.
“Nara,” katanya, “apa kamu juga pernah disakiti orang yang kamu sayangi?”
Nara tersenyum miring. “Pernah. Tapi aku belajar… kalau orang yang salah bisa membuatmu lupa siapa dirimu.”
Sejak hari itu, mereka berdua sering duduk bersama. Tidak perlu banyak bicara. Kadang hanya diam—tapi diam yang tidak membebani.
---
5. Titik Balik yang Tidak Pernah Ia Duga
Suatu siang, ketiga “teman” lama itu memanggilnya.
“Tolong perbaiki hubungan kita,” kata Reena. “Kita kan dulu dekat.”
“Dekat,” ulang Alena perlahan, “atau aku yang terus mendekat sementara kalian mendorong?”
Mira mengerutkan kening. “Kamu berubah, Len.”
Dan Nara yang berdiri di samping Alena menjawab:
> “Dia tidak berubah. Dia pulang.”
Ucapan itu membuat Alena tersentak.
Ada sesuatu yang hangat merayapi dadanya—seperti kelegaan yang sudah lama ia tunggu.
Reena mendengus. “Nara sok tahu banget, baru kenal.”
Nara menatap mereka seperti membaca buku tipis.
“Kalau kalian benar-benar peduli… kalian sudah berhenti menyakitinya sejak dulu.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alena tidak meminta maaf hanya untuk menjaga perdamaian palsu.
Ia berbalik, meninggalkan mereka.
Dadanya ringan—tak ada lagi rasa bersalah yang tidak seharusnya ia tanggung.
---
6. Saat Semua Kebenaran Terungkap (Plot Twist)
Beberapa minggu setelah ia meninggalkan lingkaran toxic itu, sebuah rahasia muncul tanpa sengaja.
Guru konselor memanggil Alena untuk menunjukkan sesuatu:
laporan anonim dari seseorang yang mengaku khawatir tentang kondisi mental Alena.
Ternyata, bukan Reena. Bukan Mira. Bukan Gavin.
Nara yang diam-diam melakukannya.
Namun bukan untuk mengawasi atau mengasihani—melainkan karena Nara takut Alena terlalu banyak menanggung kesedihan sendirian.
“Tapi kenapa harus diam-diam?” tanya Alena.
Nara menghela napas.
“Aku tahu kamu tipe yang tetap tersenyum meski hatimu retak. Orang seperti itu kadang tidak akan minta tolong. Jadi… aku melakukannya untuk berjaga.”
Itu plot twist yang membuat dunia Alena terasa sejenak berhenti.
Bukan karena rahasianya terbongkar—tapi karena ada seseorang yang benar-benar memperhatikannya tanpa menuntut balasan.
---
7. Bagaimana Healing Dimulai
Healing Alena tidak terjadi tiba-tiba.
Tangisannya masih datang saat malam.
Kenangan dimarahi tanpa alasan, diguraukan secara berlebihan, diremehkan… semuanya masih muncul.
Tapi ia mulai menulis lagi.
Kali ini, tidak untuk menghapus dirinya—tapi untuk merawatnya.
Ia mulai berjalan lebih pelan.
Mulai membuat batasan.
Mulai membiarkan dirinya marah, kalau memang marah.
Mulai berhenti meminta maaf atas hal-hal yang bukan salahnya.
Nara menjadi tempat ia bersandar—bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai saksi perjalanan penyembuhan.
> “Kalau kamu tersesat lagi, aku di sini,” kata Nara.
“Tapi kamu sendiri yang memilih jalannya.”
Alena tersenyum. Untuk pertama kalinya, bukan senyum yang dipaksakan.
---
8. Penutup: Hari yang Akhirnya Mengeluarkan Suara
Beberapa bulan kemudian, Alena duduk di bangku taman.
Ia membuka buku harian barunya.
Ia menulis:
> “Aku tidak lagi takut pada hari yang belum datang.
Karena aku sudah menemukan diriku—dan itu cukup.”
Dan untuk pertama kalinya, hari itu mengeluarkan suara:
suara damai yang hanya bisa didengar oleh seseorang yang akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri.
--
To be continued
Masi ada Lanjut nyaa ya