Di sebuah jalan kecil dekat taman kota yang selalu disapu cahaya lampu kekuningan, Arde berdiri dengan tangan menggenggam secarik kertas. Angin sore menampar wajahnya lembut, seolah menyuruhnya pulang, tetapi ia tetap menunggu. Menunggu sesuatu yang sejak setahun lalu tidak pernah benar-benar selesai.
Di ujung jalan, langkah ringan terdengar. Mira muncul, mengenakan jaket tipis dan wajah yang mencoba tampak tegar. Ia berhenti dua langkah darinya.
“Jadi… kamu masih simpan tempat ini,” ucap Mira pelan.
“Susah hilang dari kepala,” jawab Arde. “Kamu yang pilih lampu jalan ini. Katanya cahaya ini paling jujur.”
Mira tersenyum tipis. “Lucu ya, kita ketemu di bawah lampu yang jujur, tapi justru di sini juga kita paling sering saling bohong.”
Sunyi jatuh seperti debu.
Di antara mereka, ada luka yang tidak terlalu besar—hanya seukuran jarum—tetapi tepat menusuk tempat yang membuat hubungan mereka retak. Bukan perselingkuhan, bukan pengkhianatan besar. Hanya komitmen yang tak pernah diucapkan, dan janji kecil yang tak kunjung ditepati. Mereka pernah berjanji tidak akan meninggalkan satu sama lain tanpa bicara. Namun Mira pergi waktu itu—tanpa suara, tanpa penjelasan—meninggalkan Arde dengan ratusan kalimat tidak selesai yang ia tulis tetapi tak pernah terkirim.
Mira tahu Arde menyimpan semuanya. Ia mengenal cara Arde menyimpan luka: diam yang rapih, rapi yang menyakitkan.
“Kenapa kamu minta aku datang?” tanya Mira.
Arde mengeluarkan kertas dari genggaman. “Ini. Kamu pernah minta aku tulis satu hal jujur yang paling sulit aku ucapkan. Katamu, nanti kalau sudah siap, bacain ke kamu.”
“Kamu baru siap sekarang?”
“Nggak siap,” jawab Arde lirih. “Tapi kalau aku terus nunggu berani, kamu bisa hilang lagi.”
Mira menelan napas. Arde membuka kertas itu perlahan. Tulisan tangannya sedikit bergetar—tinta yang pernah pecah; tulisan yang pernah ia robek tapi ia satukan lagi dengan selotip.
“Aku cuma nulis satu kalimat,” kata Arde. “Aku nggak bisa bohong. Setahun berlalu, dan itu tetap sama.”
Mira menunggu.
Arde membaca, “Aku takut kehilangan kamu, tapi aku lebih takut kalau kita terus saling menjauh tanpa bicara.”
Kertas itu kembali dilipat. Arde menatapnya, kali ini tanpa pelindung.
“Waktu kamu pergi, aku sempat marah. Lalu aku sedih. Lalu aku marah lagi. Tapi ujungnya… aku nyesel. Bukan karena kamu pergi. Tapi karena aku nggak bikin kamu cukup yakin buat tinggal.”
Mira menunduk. Cahaya lampu jatuh di pipinya seperti noda emas.
“Aku nggak pergi karena aku nggak yakin sama kamu,” bisik Mira. “Aku pergi karena aku nggak yakin sama diri sendiri.”
Arde tidak menjawab. Ia membiarkan Mira bicara.
“Kamu tahu orang kayak aku, kan? Yang selalu kelihatan baik-baik aja, padahal nggak pernah benar-benar tahu harus apa. Aku takut jadi beban. Takut kalau kamu lihat aku runtuh, kamu akhirnya ikut jatuh.”
Arde mendekat setengah langkah. “Kamu pikir aku cuma mau lihat versi kuat dari kamu?”
“Dulu iya. Aku pikir kamu cuma butuh aku di momen-momen indah. Padahal waktu itu… aku lagi hancur. Dan aku nggak mau kamu lihat.”
“Kenapa?” tanya Arde.
“Karena kamu orang pertama yang bikin aku ngerasa pantas dicintai,” ujar Mira. “Dan aku takut kehilangan itu.”
Arde terdiam. Menyaksikan Mira bicara seperti melihat seseorang membuka pintu ruangan yang selama ini ia hanya intip dari celah kecil.
“Kalau kamu ngomong waktu itu…” suara Arde melemah. “Aku bakal tetap pilih kamu.”
Mira menggeleng. “Aku tahu. Tapi aku yang nggak bisa pilih diriku sendiri.”
Ada kejujuran yang begitu telanjang hingga keduanya merasa asing satu sama lain, meski pernah begitu dekat.
Angin kembali lewat, membawa suara daun kering dan aroma tanah yang baru tersapu hujan semalam. Lampu jalan bergetar sedikit—seperti ikut menahan sesuatu.
“Kamu mau aku kembali?” tanya Mira tiba-tiba.
Arde tidak langsung menjawab. Tapi bukan karena ragu. Justru karena ia ingin sekali menahannya.
“Aku mau,” katanya akhirnya. “Tapi kalau alasan kamu balik cuma rasa bersalah, jangan.”
Mira mendongak. “Kalau alasannya masih sama? Sama seperti dulu?”
“Alasannya dulu apa?”
“Karena aku sayang,” ucap Mira. “Sederhana itu.”
Arde mengembuskan napas panjang, seakan dari paru-paru yang sudah disimpan selama berbulan-bulan.
“Tapi kita nggak bisa mulai dari tempat yang sama,” sambung Mira. “Kalau kita balik, harus mulai dengan cara yang beda. Kita harus berani ngomong hal-hal yang bikin kita takut.”
Arde mengangguk pelan. “Kamu duluan. Apa hal paling bikin kamu takut sekarang?”
“Takut kalau kamu lihat aku berubah,” ucap Mira. “Takut kalau yang kamu rindukan cuma versi lamaku.”
Arde mendekat selangkah penuh. “Aku nggak datang buat nyari kamu yang dulu. Aku datang buat tahu kamu yang sekarang masih mau jalan bareng aku atau nggak.”
Mira menutup mata sesaat, seperti seseorang yang akhirnya menemukan napas di tengah gelombang. “Kalau aku bilang iya?”
“Kalau kamu bilang iya, aku janji satu hal.” Arde menatapnya. “Kita nggak ninggalin apa pun mengambang lagi. Semua dibicarakan, semua ditutup rapih. Nggak ada diam yang berubah jadi jurang.”
“Dan kalau aku yang jatuh?” tanya Mira.
“Aku tetap tinggal,” jawab Arde. “Kamu boleh runtuh, asal jangan lari.”
Mira tertawa lirih—tawa yang lebih mirip serak menahan isak.
“Kamu yakin?” katanya. “Aku bukan versi paling baik dari diri aku saat ini.”
Arde mengangguk. “Kita nggak butuh versi terbaik untuk mulai. Kita cuma butuh jujur.”
Mira menatap lampu jalan di atas mereka. Cahaya itu tampak lelah, tapi tetap menyala. Persis hubungan mereka—tidak sempurna, sering berkelip, tapi masih tetap hidup.
“Aku balik,” bisik Mira. “Tapi pelan-pelan.”
“Aku tunggu.”
“Dan aku butuh kamu sabar.”
“Aku sudah sabar setahun,” jawab Arde. “Sehari-hari ke depan nggak akan seberat itu.”
Mira menghapus air mata yang terjatuh tanpa izin. “Tapi kamu juga harus janji satu hal.”
“Apa?”
“Kalau suatu hari aku mulai menutup diri lagi… ingetin aku di tempat ini. Di bawah lampu yang katanya paling jujur.”
Arde tersenyum. Senyum kecil yang baru pertama kali muncul sejak mereka bertemu malam itu. “Kita bikin tempat ini saksi baru, bukan luka lama.”
Mira menghirup udara dalam-dalam. Lalu ia meraih tangan Arde—perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang dulu pernah ia hancurkan dan sekarang ingin ia jaga.
“Aku takut,” kata Mira.
“Gandeng aku aja,” balas Arde. “Kamu boleh takut sambil jalan.”
Dan mereka berjalan. Tidak jauh, hanya memutari taman kecil yang bahkan bisa diseberangi dalam lima menit. Tapi langkah itu seperti perjalanan panjang dari satu tahun kehilangan kembali menuju kemungkinan baru.
Sambil melangkah, Arde berkata, “Aku punya pertanyaan terakhir.”
“Apa?”
“Kalau kita mulai lagi… kamu mau mulai dari mana?”
Mira berpikir sebentar. “Dari hari ini,” ucapnya. “Dari cara kamu tetap berdiri di bawah lampu yang sama meski aku yang matiin cahayanya dulu.”
Arde menarik napas pelan. “Kalau gitu… hari ini jadi tanggal kita yang baru.”
“Tanpa janji muluk-muluk?”
“Tanpa janji muluk-muluk,” jawab Arde. “Cuma satu hal: kita ngomong kalau sakit.”
Mira mengangguk. “Deal.”
Langkah mereka berhenti tepat di bawah lampu jalan yang sama. Lampu itu berkedip sebentar, lalu stabil kembali—seakan menyetujui kesepakatan mereka.
Arde menatap Mira untuk terakhir kali malam itu, bukan sebagai seseorang yang menuntut jawaban, tetapi sebagai seseorang yang akhirnya siap menerima fakta bahwa cinta kadang harus jatuh dulu agar menemukan bentuk yang baru.
Mira menatap balik dengan kehangatan yang sudah lama hilang.
“Arde,” katanya.
“Ya?”
“Terima kasih sudah tinggal ketika aku sendiri nggak sanggup.”
Arde menggenggam tangannya lebih kuat. “Terima kasih sudah kembali meski kamu takut.”
Malam itu tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan besar. Tidak ada janji manis. Yang ada hanya dua orang yang memutuskan menata kembali serpihan dengan cara yang lebih jujur.
Dan di bawah lampu jalan yang temaram, cinta mereka memulai ulang dengan satu hal yang sederhana.
Keberanian untuk tidak kabur lagi.
"Cinta tidak menuntut kesempurnaan, hanya keberanian untuk jujur. Ketakutan yang dibicarakan akan menyembuhkan, sementara diam hanya menambah jarak. Dua hati bisa kembali utuh bukan karena tak pernah retak, tetapi karena tetap memilih tinggal dan memulai lagi dengan kejujuran yang sederhana."
-SELESAI-