Pagi itu, mentari menyusup malu-malu di balik tirai tipis kamar Maya, menebarkan cahaya keemasan yang lembut di lantai kayu.
Tidak ada deru alarm yang menggelegar, tidak ada jadwal padat yang menuntut. Hari ini adalah hari libur, dan Maya memutuskan untuk mengabdikannya sepenuhnya pada ketenangan.
Ia bangkit perlahan, meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku setelah tidur nyenyak. Langkahnya ringan menuju dapur kecilnya. Aroma teh melati yang sudah ia siapkan semalam kini memenuhi udara, menunggu untuk diseduh. Dengan gerakan hati-hati, ia menuangkan air panas ke teko, menyaksikan daun teh melati perlahan mengembang, melepaskan harumnya yang menenangkan.
Sambil menunggu tehnya siap, Maya melangkah ke balkon kecilnya. Sebuah pot berisi bunga-bunga pansy ungu dan kuning cerah menyambutnya. Ia menyentuh lembut kelopak bunga itu, merasakan embun pagi yang masih menempel. Langit biru jernih membentang luas di atas kepalanya, diselingi awan putih tipis yang bergerak malas. Dari kejauhan, ia bisa mendengar kicauan burung yang riang, melengkapi simfoni pagi yang damai.
Kembali ke dalam, tehnya sudah mengepul hangat. Maya membawa cangkir keramik favoritnya—hadiah dari neneknya, dengan motif bunga forget-me-not berwarna biru—dan sepiring kecil biskuit oatmeal buatan sendiri. Ia duduk di kursi berlengan empuk di tepi jendela, tempat favoritnya untuk merenung.
Jendela itu menghadap ke taman kecil di belakang apartemennya. Pepohonan rindang bergoyang pelan ditiup angin, daun-daunnya menari. Seekor kupu-kupu berwarna oranye terang melintas, hinggap sejenak di bunga rosemary sebelum terbang lagi. Tidak ada hal luar biasa yang terjadi, namun bagi Maya, momen ini adalah segalanya.
Ia menyesap tehnya perlahan, merasakan kehangatan yang menyebar di tenggorokannya, diikuti rasa manis melati yang lembut. Setiap tegukan adalah sebuah jeda, sebuah undangan untuk bernapas lebih dalam, untuk merasakan kehadiran dirinya sendiri. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya mengembara bebas, tanpa beban, tanpa tujuan.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang nyaman, hanya ditemani suara desiran angin dan cangkir yang sesekali beradu dengan bibirnya. Maya merasakan ketegangan yang mungkin tanpa sadar ia bawa dari hari-hari sebelumnya, perlahan menguap. Dadanya terasa lebih lapang, bahunya lebih ringan.
Ketika ia membuka mata, dunia di luar jendela tampak lebih cerah, lebih jernih. Bahkan debu yang menari-nari dalam sinar matahari pun tampak memiliki keindahan tersendiri. Ia tersenyum tipis. Tidak ada resep rahasia untuk kedamaian, pikirnya. Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah secangkir teh hangat, sepotong biskuit, dan sebuah jendela yang menghadap ke keindahan sederhana dunia.
Dan pada pagi itu, di tepi jendela, ditemani teh melati dan bisikan angin, hati Maya menemukan ketenangan yang dicari-carinya.
Sebuah ketenangan yang ia tahu, akan ia bawa bersamanya sepanjang hari.