Serial Horor – Koridor yang Tidak Pernah Berakhir
(Versi Sadis/Gore, Terinspirasi Corpse Party)
Kegelapan menelan semuanya. Tidak ada suara—tidak ada napas—tidak ada langkah kaki… hanya rasa dingin yang sangat menusuk tulang.
Alya membuka matanya perlahan. “Raka… Raka kamu di mana?”
Tidak ada jawaban.
Gelap total, sampai tiba-tiba…
Ssttk… ssttk…
Suara sesuatu yang merayap di dinding.
Alya meraba lantai. Basah. Licin. Bau logam kuat menusuk hidungnya.
Darah.
Ia berdiri sambil meraba tembok, namun tembok itu… bukan tembok. Bentuknya lembek. Seperti kulit manusia.
Alya menjerit dan menyingkir, tangannya belepotan darah.
Tepat saat itu, lampu-lampu berkedip dan menyala—hanya sepersekian detik—namun cukup lama untuk membuat Alya melihat apa yang ada di sekelilingnya.
Ruang kelas yang dindingnya dibuat dari ratusan tubuh murid yang melebur menjadi satu.
Wajah-wajah mereka timbul di permukaan dinding, matanya bergerak-gerak, beberapa mulutnya menganga minta tolong.
Dan Alya berdiri tepat di tengah “ruang itu”.
Lampu padam lagi.
Alya menahan napas, takut bergerak.
Lalu…
“ALYA!”
Suara Raka terdengar dari kejauhan.
Alya langsung berlari membabi-buta ke arah suara itu, menabrak bangku, meja, bahkan tangan-tangan yang keluar dari dinding dan mencoba mencengkeram rambutnya.
Ia berhasil keluar dari ruangan itu—atau tepatnya ruangan itu “melepasnya”, seperti organ yang memuntahkan benda asing.
Alya terjatuh ke lorong. Nafasnya tidak teratur.
“Raka! Dimana kamu?!”
“Alya! Gue di sini!”
Raka muncul dari balik sudut, berlari ke arahnya. Bajunya sobek, ada goresan di pipinya, tapi ia masih hidup.
Alya memeluk Raka erat. “Jangan tinggalin aku lagi…”
Raka mengangguk. “Gue janji. Kita keluar bareng.”
Namun seketika, lantai bergetar kuat seolah ada sesuatu di bawah mereka.
BUKKK! BUKKK! BUKKK!
Seperti sesuatu yang sedang menghantam dari dalam tanah.
Koridor depan mereka terbuka sendiri seperti luka robek. Dari retakan itu muncul seorang guru perempuan… atau sesuatu yang dulu adalah guru.
Tangannya memegang penggaris kayu panjang yang pecah-pecah. Seragamnya terbakar di beberapa bagian seperti korban kebakaran.
Rahangnya terlepas dan menggantung, membuat suaranya serak dan melengking.
“Keluar? Tidak ada pintu keluar di sekolah ini…”
Ia menyeret penggaris, meninggalkan bekas goresan panjang di lantai.
Alya memundurkan diri. “Raka… jangan bergerak…”
Tapi guru itu tiba-tiba menghilang dari pandangan.
DUP!
Sesuatu jatuh tepat di belakang mereka.
Guru itu muncul kembali dengan posisi membungkuk seperti laba-laba, tulang punggungnya menonjol keluar, jari-jarinya patah namun mencengkeram lantai dengan kuat.
Ia mencium udara.
“Mati… atau tinggal…”
Ia menyerang.
Raka mendorong Alya ke samping, tapi guru itu terlalu cepat. Penggaris kayunya menghantam lengan Raka.
KRAAAKKK!
Tulang lengan Raka patah terbuka, tulangnya mencuat keluar kulit.
Raka berteriak keras.
Alya menyeretnya mundur. “Bangun, bangun, bangun!”
Guru itu merangkak mendekati mereka, mulutnya semakin terbuka hingga kepala bagian bawahnya robek.
“Tinggal di sini… selamanya…”
Alya panik melihat sebuah lemari besi roboh di dekat mereka. Ia menarik Raka ke samping.
Guru itu melompat.
Alya menendang lemari itu dengan seluruh tenaga.
BRAKK!
Lemari itu tumbang dan menimpa tubuh guru tersebut. Tapi bukannya mati, tubuhnya malah bergetar dan mengeluarkan suara retakan tulang yang sangat cepat—tulangnya menyusun ulang untuk meloloskan diri.
“Kita harus kabur!” kata Alya panik.
Raka, dengan napas tercekat, mengangguk. “Ruangan… laboratorium! Gue liat tadi lampunya masih nyala!”
Mereka berlari sekuat mungkin, Raka menahan rasa sakit luar biasa dari tulang yang keluar dari kulitnya. Darah menetes membentuk jejak panjang.
Guru itu bangun lagi.
Dengan gerakan seperti serangga, ia merangkak di dinding, langit-langit, bahkan mengejar dengan empat kaki seperti binatang buas.
“Alya! Cepet!”
Alya menendang pintu laboratorium, mengunci dari dalam.
Guru itu menghantam pintu keras.
DUM! DUM! DUM!
Pintu melengkung ke dalam. Sekali hantaman lagi, pintu itu pasti jebol.
Raka bersandar pada dinding, wajahnya pucat seperti kertas. “Gue… gak kuat…”
Alya mengikat lengan Raka dengan seragamnya sendiri untuk menahan darah, lalu mengacak-acak ruangan mencari sesuatu.
Tabung reaksi. Pisau bedah. Alkohol. Formalin.
Kemudian Alya menemukan sesuatu yang membuatnya menelan ludah.
Jarum suntik besar—untuk hewan percobaan.
Ia mengambilnya.
“Alya… lo mau apa?” Raka bertanya dengan suara lemah.
Alya menarik napas. “Apapun yang bisa bikin kita hidup.”
Pintu laboratorium jebol.
Guru itu masuk dengan sikap meliuk seperti cacing, mata hitamnya memantulkan cahaya neon.
Alya tidak menunggu.
Ia menusukkan jarum suntik besar itu ke mata guru tersebut.
CRET!!
Cairan formalin disuntik masuk.
Guru itu mengeluarkan jeritan paling menyakitkan di seluruh sekolah, tubuhnya kejang-kejang dan matanya meleleh keluar.
Alya dan Raka menutup telinga.
Guru itu akhirnya roboh, tubuhnya meleleh perlahan seperti lilin terbakar, meninggalkan bau busuk menusuk.
---
Raka hampir pingsan. Alya duduk di sampingnya sambil menangis.
“Kita… cuma tinggal berdua…”
Raka menggenggam tangan Alya dengan tangan satunya yang masih utuh.
“Kita bakal keluar… gue janji…”
Tiba-tiba speaker sekolah menyala sendiri.
Suara bocah kecil itu menggema, ceria seperti anak SD biasa.
“Perhatian semua siswa…”
“Upacara penyambutan murid baru akan dimulai.”
“Peserta tersisa: Dua orang.”
“Alya dan Raka.”
“Silahkan menuju aula.”**
Alya menatap Raka dengan wajah pucat pasi.
“Raka… kita dipanggil…”
Lorong menuju aula terbuka sendiri, seperti mulut raksasa yang siap menelan.
Mereka saling menggenggam tangan.
Di ujung lorong terlihat bayangan murid-murid tanpa kepala… berbaris rapi.
Menunggu mereka.
Dan pintu aula tertutup sendiri di belakang mereka.
---
BERSAMBUNG KE EPISODE 4