Serial Horor – Koridor yang Tidak Pernah Berakhir
(Versi Sadis/Gore, Terinspirasi Corpse Party)
Darah Sela masih mengalir di lantai, membentuk pola yang aneh… seperti simbol yang sengaja muncul karena darah itu “mengerti” kemana harus mengalir. Raka memeluk tubuh Sela sambil terisak, tangannya penuh darah yang mulai mengering.
Alya berdiri kaku. Tangannya bergetar hebat.
“Ini… nggak mungkin nyata… mustahil…”
Fikri menatap pintu kelas yang berlubang. Setiap lubang bekas hantaman menunjukkan serpihan tulang kecil—seolah pintu itu bukan kayu, tapi dicampur dengan tulang manusia.
“Kita harus keluar dari kelas ini,” kata Fikri. “Tempat ini… memakan orang.”
Alya menarik napas dalam-dalam. “Kita nggak bisa ninggalin Sela gitu aja.”
Raka, dengan mata bengkak, menggeleng. “Tubuhnya… kalo kita bawa malah nyeret kita.”
Tiba-tiba tubuh Sela tersentak.
Raka mundur kaget, hampir jatuh. “SEL—”
Tubuh Sela perlahan-lahan bangun… bukan dengan cara manusia bangun. Kepalanya terangkat duluan, menyentak seperti boneka rusak. Matanya kini hitam tanpa bola mata.
Dari luka lehernya yang hampir putus, terdengar suara anak kecil.
Suara bocah yang membunuhnya.
“Satu sudah tinggal… tiga lagi…”
Tubuh Sela berdiri sempoyongan, darah masih mengalir dari lehernya. Tangannya meraih dinding kelas… dan kuku-kukunya terkelupas karena gesekan keras, tapi tubuh itu tidak bereaksi.
“T–TOLONG… ini bukan Sela!” Alya memohon sambil mundur.
Pergerakannya semakin cepat.
Tubuh Sela kini seperti hewan liar yang kehilangan rasa sakit.
Dia menubruk Fikri.
Fikri jatuh telentang. Tubuh Sela menindihnya dan mencabik-cabik perut Fikri dengan kuku patahnya. Setiap cabikan menghasilkan bunyi berdaging yang memuakkan.
Raka melihat, pucat. “Gue… gue harus bantu!”
Alya menahan lengannya. “RAKA, JANGAN! Itu bukan manusia lagi!”
Fikri menjerit sekeras mungkin. “RAKA! TOLONG!”
Tubuh Sela merogoh perut Fikri, menarik keluar serpihan organ seperti anak kecil mencari mainan. Darah memercik ke wajah Fikri hingga ia tersedak oleh cairan sendiri.
“HENTIKAN!!” Raka menendang tubuh Sela hingga terpental. Tapi Sela langsung berdiri lagi, kepalanya terkulai ke samping.
Fikri memegangi perutnya sendiri. Cairan merah pekat merembes dari sela jarinya.
“A–Aku… nggak mau mati…” napasnya patah-patah.
Tubuh Sela merangkak lagi—lebih cepat dari sebelumnya.
Alya menyambar kaki meja dan memukulkannya tepat ke wajah Sela.
BRAK!
Wajah Sela terpelintir 180 derajat, rahangnya copot jatuh ke lantai.
Tubuh itu akhirnya jatuh diam.
Alya terengah-engah, matanya merah karena shock.
“Maaf… Sela… maaf…”
---
Lorong di luar kelas gelap, namun satu cahaya kecil terlihat dari kejauhan.
Raka memapah Fikri yang semakin lemah.
“Kita harus cepat… sebelum dia balik lagi.”
“Gue dingin… banget…” Fikri terhuyung.
Alya memeriksa perutnya. Sobekannya terlalu dalam. Organ terlihat.
“Fikri… dengar gue… lo jangan tidur.”
Fikri tertawa pahit, “Lucu ya… gue kira mati tuh cuma sekali… tapi ternyata… bisa dua kali…”
Ucapan itu terhenti ketika lorong bergetar lagi.
Di ujung lorong, bocah perempuan itu muncul sambil menenteng kantong plastik yang meneteskan darah.
Isi kantong itu bergerak-gerak.
“Bermain dengan tubuh teman itu seru, kan?” katanya sambil tersenyum robek.
Raka menatap pusing. “Apa itu… di kantongnya?”
Bocah itu mengeluarkan isi kantongnya.
Itu jantung seseorang. Masih berdetak.
Fikri muntah darah.
Bocah itu berteriak nyaring—lebih nyaring dari manusia mana pun.
“DUA LAGI!”
Dari lantai muncul tangan-tangan kurus, menarik kaki Fikri hingga ia terseret.
Alya dan Raka mencoba menariknya, namun Fikri menatap mereka dan tersenyum samar.
“Lari… kalian…”
Lantai terbuka seperti rahang raksasa dan menelan Fikri bulat-bulat, menyisakan darah dan serpihan kain.
Alya menjerit hingga suaranya pecah.
Raka hanya terpaku, air matanya jatuh tanpa suara.
Bocah itu berdiri tenang, wajahnya kini berubah seperti kulit melepuh dan mata hitam melebar.
“Sisakan satu…”
Ia melangkah maju.
Raka menggandeng tangan Alya dan berlari.
Lorong berubah bentuk—papan nama jatuh, tembok berdenyut seperti organ hidup, dan darah menetes dari langit-langit seperti hujan.
Alya terisak keras sambil berlari. “RAKA… kita tinggal berdua…”
“Gue nggak akan mati di sini!” Raka menggertakkan gigi.
Tapi dunia itu tidak menginginkan mereka pergi.
Dari balik kegelapan, puluhan murid hancur bangkit… tanpa kepala, tanpa dada, beberapa hanya separuh tubuh… semua merangkak mendekati mereka.
Dan bocah itu berbisik di telinga mereka melalui udara.
“Kalian berikutnya…”
Lalu semua lampu padam.
---
BERSAMBUNG KE EPISODE 3