Episode 1 – Darah Pertama
(Versi Sadis/Gore, Terinspirasi Corpse Party)
Hujan mengguyur halaman sekolah seperti cambuk air yang tak berhenti. Lampu di lorong utama berkedip-kedip, dan empat siswa yang sedang lembur dekorasi festival mulai merasa malam itu… tidak wajar.
Alya, si ketua kelas, merapikan pita kertas sambil menghela napas.
“Jam segini masih mati lampu juga…”
Fikri, yang mencoba menyalakan senter dari HP-nya, mendesis,
“Lantai dua kayak kuburan. Gue nggak betah lama-lama di sini.”
Raka, sok tenang tapi jelas takut, menimpali,
“Udah, beresin cepat. Besok tinggal pasang.”
Sementara itu Sela memandangi pintu ruang musik yang sedikit terbuka.
“Kalian denger nggak? Kayak ada yang geser-geser barang…”
Semua terdiam.
Sebuah suara gesekan terdengar dari dalam. Perlahan… perlahan… seperti ada sesuatu yang terseret di lantai.
“Ah sudahlah, gue cek dulu,” kata Alya.
Ia membuka pintu itu.
Gelap. Tidak ada apa-apa kecuali ruangan kosong… dan sebuah bayangan di sudut ruangan yang bergerak sangat pelan.
Alya memutar badannya. “Siapa di situ?”
Bayangan itu mendekat ke cahaya senter Fikri.
Itu anak perempuan kecil. Seragamnya koyak. Tangannya menggenggam potongan tangan orang lain, masih meneteskan darah segar.
Alya menjerit.
Bocah itu mengangkat potongan tangan tersebut dan tersenyum lebar… terlalu lebar… sampai pipinya robek.
“Main… sama… aku…”
Tiba-tiba lantai bergetar. Dinding retak, dan ruangan berubah seperti sekolah hancur—cat terkelupas, darah menodai lantai, bau daging busuk memenuhi udara.
Mereka sudah dipindahkan ke dunia lain.
Dan bocah itu tidak membuang waktu.
Ia melempar potongan tangan itu. Tangan putus tersebut bergerak sendiri seperti laba-laba, melompat ke arah Raka dan mencengkeram lehernya.
“ARGH! Lepasin!!” Raka menghantam tembok, tapi tangan itu makin mencengkeram kuat.
Dari tubuh bocah itu, belasan tangan pucat lain merayap keluar dari punggungnya seperti sarang laba-laba hidup.
Alya panik dan menendang pintu, berteriak, “Keluar! Sekarang!”
Mereka berempat kabur, namun lorong berubah menjadi koridor panjang tak berujung—kayu lantainya patah, bangkai murid tanpa wajah bergelimpangan, dan setiap langkah meninggalkan bekas darah dari tapak kaki mereka sendiri.
Fikri memuntahkan isi perutnya saat melihat salah satu bangkai masih bergerak-gerak tanpa kepala.
“Kita… dimana…” suaranya bergetar.
Di belakang mereka, bocah tadi berjalan perlahan sambil menyeret sesuatu. Bunyinya scrr… scrr… scrr….
Ia membawa guling yang dijahit dari kulit manusia.
“Aku… belum selesai… bermain…”
Tiba-tiba jasad siswa di lantai bangkit satu per satu—perut terbelah, tulang mencuat, jari-jari patah tapi bergerak—semua merangkak ke arah mereka.
Alya memandang ke depan. “Lari! Ke kelas itu! Cepat!”
Mereka masuk ke Kelas 5-B—kelas yang namanya selalu muncul di setiap lorong.
Begitu pintu ditutup, suara ketukan keras terdengar.
DUM! DUM! DUM!
“Buka pintunya… aku ingin teman…” suara bocah itu terdengar seperti dari tenggorokan yang dipaksa bicara.
Alya gemetar, memeluk tubuhnya sendiri.
Fikri menahan pintu sambil menangis, “Dia mau bunuh kita!”
Lalu…
KREEEKK…
Pintu retak.
Sela berteriak. Raka mengambil bangku dan menahannya.
Tapi akhirnya—pintu pecah. Yang masuk bukan bocah itu, melainkan seorang murid laki-laki…
Tanpa rahang.
Tanpa mata.
Hanya lubang hitam yang menganga.
Ia mendekat ke Sela.
Sela mundur. “Jangan… jangan dekat-dekat…”
Murid itu membuka mulutnya yang robek… dan suara anak kecil yang sama keluar darinya:
“Satu dari kalian harus tinggal…”
Ia mengangkat pecahan kaca panjang… dan mengarahkannya ke leher Sela.
Alya berteriak,
“SELA, MENUNDUK!”
Tapi terlambat.
Darah muncrat ke wajah Alya. Sela terkulai dengan leher nyaris terputus, darah mengalir deras ke lantai, membentuk genangan besar.
Alya terpaku.
Fikri berteriak histeris.
Raka ingin menolong, tapi hanya bisa menahan tubuh Sela yang mulai dingin.
Di luar pintu, bocah kecil itu tertawa kecil.
“Tiga… lagi…”
Suara itu menggema sepanjang koridor.
Dan kegelapan kembali menyelimuti mereka.
---
SELESAI EPISODE 1