Sore itu, pantai seolah menelan semua suara selain desir ombak. Langit, yang bergradasi jingga lembut, tampak seolah ingin menghibur Aulia yang berdiri sendirian memandang horizon. Namun, tak ada warna yang mampu menyembuhkan luka di dadanya.
Ia menggenggam syal yang dulu milik seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya.
Raka.
Nama itu masih mengiang dalam pikirannya, mengaduk seluruh perasaan yang berusaha ia kubur selama bertahun-tahun. Dulu, mereka selalu menyempatkan diri datang ke pantai demi melihat sunrise. Kata Raka, sunrise adalah awal baru untuk semua mimpi.
Hingga hari itu datang hari ketika mimpi justru merenggutnya dari Aulia.
Raka ingin mengejar karier sebagai fotografer dokumenter di tempat jauh. Aulia kala itu berusaha tersenyum, memastikan Raka pergi tanpa penyesalan. Padahal, ia takut. Takut pada jarak, pada waktu… pada kehilangan.
“Aku pergi sebentar saja. Aku akan kembali dengan foto sunrise paling indahku,” kata Raka.
Namun kapal yang membawanya justru hilang ditelan badai. Tak ada jasad yang ditemukan. Tak ada kepastian. Hanya doa dan rasa sakit yang tak kunjung sembuh.
Aulia sempat berharap Raka muncul suatu hari, tersenyum sambil berkata ia hanya tersesat. Tapi harapan itu semakin pudar seiring waktu.
Kini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia kembali ke pantai ini. Tempat yang menyimpan banyak kenangan sekaligus kehilangan.
Tiba-tiba, angin menjatuhkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kamera tua kamera yang pernah ditemukan seorang nelayan tersangkut di jaring, dan dikembalikan kepadanya setelah mengenali nama yang terukir kecil di bawahnya: Raka
Aulia menyalakan kamera itu lagi. Layar berkedip, mempertahankan sisa-sisa energi. Di galeri hanya tersisa satu foto.
Sebuah sunrise. Begitu indah. Begitu hangat. Dan di bagian bawahnya ada tulisan:
“Untuk Aulia. Sunrise terindahku akan selalu kamu.”
Air mata Aulia luluh, tumpah secepat ombak yang berlari ke pantai. Jemarinya bergetar menyentuh layar, seolah ingin menyentuh Raka melalui foto itu.
Andai cinta bisa memanggil orang kembali…
Angin laut membawa suara samar atau hanya imajinasinya yang terdengar seperti suara Raka memanggil namanya. Aulia menoleh cepat. Kosong. Hanya pantai yang lengang dan matahari yang semakin meredup.
Ia kembali menatap horizon.
“Maaf… aku terlambat menyadari betapa aku membutuhmu.”
“Tapi kamu tak perlu kembali. Aku akan menjaga kenanganmu tetap hidup.”
Matahari tenggelam. Tanpa pelukan. Tanpa kepulangan.
Aulia tersenyum pahit sambil memeluk kamera itu erat-erat, membiarkan ombak menyentuh kakinya perlahan. Ia sadar satu hal: Raka
Terkadang, sunrise yang paling indah…
adalah sunrise yang tidak pernah kita lihat bersama lagi.
Dan kerinduan adalah bukti bahwa cinta tetap hidup,
meski seseorang telah pergi tanpa sempat mengucap selamat tinggal.