Menurutku ketergantungan ialah suatu pembodohan. Sebuah pemikiran yang jika dipertahankan akan berdampak. Menjadi mental tempe atau generasi tak berkualitas.
"Permisi, aku ingin beli charger." Kataku. Tersenyum malu karena barusaja menelan ludah sendiri. "Omong-omong, apa dise-"
"Minggir." Menyerobot. Menyenggol sampai aku sedikit terhuyung dan hampir terjatuh.
Mendapati adanya tindakan kurang ajar, aku yang biasanya sok menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan hanya tersenyum.
Mengangguk mengalah dan memilih untuk duduk pada kursi tunggu. Lantas aku termenung kaku layaknya anak hilang.
"Beginilah nasip orang cantik." Berujar malang pada diri sendiri. Lalu menghembuskan nafas panjang dan terkekeh. "Apa ini balasan karena kemarin aku nakal. Atau karma karena durhaka.."
Benakku menampilkan peristiwa berdarah yang terjadi beberapa hari lalu. Mall penuh tragedi. Suatu hal yang begitu membuat kekasihku pusing. Sehingga si tampan itu mewanti-wanti aku agar tidak nakal lagi.
"Seharusnya ingkar janji lebih parah, malahan aku saja yang kena. Tidak adil." Mendengus karena kembali diingatkan satu fakta. Sesuatu yang menjadi alasanku bisa berada disini bak anak tersesat. "Huft."
Menghirup nafas panjang dan membuangnya. Mengusap dada. Lalu tersenyum. "Beginilah nasip orang cantik. "
Yang menjadi alasanku bisa berada disini ialah keinginan dalam memainkan game seperti dulu. Karena rencana beli handphone sebelumnya batal. Bahkan batal total. Aku jadi nekat kabur dari apartemen.
Berniat membawa handphone lama untuk diperbaiki. Tapi sebelum itu, aku harus membeli charger dan melihat apakah si kentang ini masih bisa menyala atau tidak.
Ctrang!
"Kubilang tidak bisa ya tidak bisa! Sana pergi ke tempat lain!!" Memberi atensi. Mengamati wajah yang jelas-jelas sedang kesal itu dalam diam. "Pembeli tolol.."
Wajahku mendatar mendengarnya. Bahkan ketika dua orang pria tersebut semakin tersulut emosinya. Saling memaki dan melayangkan sumpah-serapah mereka.
Akhirnya setelah meludah dan menggebrak meja, si pembeli yang katanya tolol tadi rupanya lebih memiliki otak dengan tak membesarkan masalah. Ia memilih pergi.
Langkah berat nan cepatnya mengudara bersama milikku yang dengan santai berdiri mendongak lalu menatap pria yang barusan ditinggal sang lawan. Tampaknya ia kesal.
"Mana charger-"
"CHARGER CHARGER APANYA?!! KAU TIDAK LIHAT AKU SEDANG KESAL?!" Berteriak murka. Dadanya bahkan sampai naik-turun. "HUH, BOCAH SIALAN! PERGI KAU SANA!!"
Mendapati murka itu. Aku langsung sadar bahwa diri ini sedang dijadikan pelampiasan. Mana mungkin aku terima.
"Aku ada salah apa." Melawan dengan alis terangkat. Cemberut. "Sejak tadi aku hanya duduk diam, sama sekali tidak melakukan apapun. Mengapa kau marah kepadaku."
"KUBILANG PERGI YA PERGI BOCA-"
"Tidak mau." Bersikeras. Menadahkan tangan. "Beri aku charger-nya dulu. Mana."
Habis kesabaran, si dia dengan gerakan cepat menjangkau charger dibelakangnya dan melemparkan itu tepat di kepalaku.
Beletak!
Aku langsung meringis. Meresapi sensasi nyeri pada pelipis sebelum mengusap pelan darah yang mengucur dengan punggung tangan. Mustahil luka ini hanya memar.
"Aduh.." mengaduh. Memegangi tempurung kepala yang rasanya hampir bolong. Berujar lesu pada diri sendiri. "Entah alasan apalagi yang harus aku katakan pada Killian.."
Sadar jika pria protektif itu akan pingsan jikalau melihat luka pada gadis kesayangannya, aku hanya meneguk ludah.
"Penjual tolol." Kataku tiba-tiba. Menggulirkan tatapan pada pelaku yang membuatku sampai kesakitan begini.
"Siapa suruh banyak omong, sana pergi." Katanya acuh tak acuh. Berjalan keluar toko dan masih sempat menyenggol. "Pergi sana."
"Penjual tolol." Mengulangi. Masih memegangi kepala dan menatap pria tersebut. Menantangnya. "Penjual tolol."
Graah~ greb!
Menyambar lengan dan menyeretku untuk masuk ke dalam toko. Menutup segala pintu dan jendela yang ada sebelum menyambar lagi ke arahku dengan penuh emosi.
"KAU SALAH KARENA BEGITU BERANI!!" Teriaknya sambil melotot nyalang. Raut diwajahnya sampai tak terbentuk saking marahnya pria itu. Sudah seperti iblis saja.
"DENGAR!! AKU TIDAK PERNAH KEBERATAN DALAM MENGHUKUM ANAK ORANG LA-"
"Mana." Masih menantang. Diam-diam tersenyum dibalik wajah datarku. Menyeringai dan melanjutkan. "Tunjukan hukuman hebatmu itu, dasar penjual tolol."
—
Malam telah larut ketika aku melangkah gontai menyusuri lorong. Menyeret kaki. Memaksanya yang sudah kehabisan tenaga.
"Cinta." Panggilan penuh kasih sayang yang langsung membuatku lompat ditempat.
Meringis. Lalu dengan gerakan patah-patah mulai melirik pada sosok jangkung yang menunggu sambil berkacak pinggang di depan pintu. Aku langsung nyengir lebar.
"Nakal lagi, ya." Katanya. Mengamati aku dari atas sampai bawah. Sempat mendengus sebelum merajut langkah mendekatiku.
Tap..
Tap..
Menunduk dalam untuk mengendus aroma yang keluar dari tubuhku. Langsung mengangkatku dengan begitu ringan ala karung beras. Menggeleng pada diri sendiri.
Lagian mana mungkin noda merah yang membasahi sekujur tubuh gadisnya ini adalah selai strawberry.
"Gadis nakal." Ia berkomentar. Pusing sendiri. Sementara aku hanya menguap.
Menutup pintu apartemen, berjalan masuk dan meletakkan tubuh mungil ini ke atas meja. Lantas berlalu begitu saja dan kembali dengan membawa baskom berisi air hangat.
"Jangan marah." Aku membujuk. Mengalungkan tangan ke lehernya sementara ia mengelap noda amis pada tubuhku dalam diam. "Lihat. Aku berhasil memperbaiki sebuah handphone, hehe."
"Kali ini aku membunuh dengan hasil, cepat puji aku jenius. Aku sangat pintar bukan."
Sayangku tak langsung menyahut, ia lebih dulu menyingkap poni dan meniup pelan bekas luka memar pada pelipis gadisnya.
Menghembuskan nafas maklum sebelum menjawab serak. "Pintar dan brutal."