Aku melangkah cepat dengan senyum mengembang. Membuat pria jangkung yang berjalan bersamaku langsung terkekeh. Ikut terhibur akan tingkah gadisnya ini yang beberapa tingkat lebih cerah dari biasa.
"Jangan salahkan aku jika kamu bangkrut, awas saja." Mengancam. Sedetik kemudian kembali menampilkan senyum termanis.
Kebahagiaanku ini bukannya tanpa alasan. Pasalnya tadi sayangku berkata bahwa ia akan membelikan apapun yang aku mau. Termasuk benda pipih eletronik penyembur sinar radiasi yang begitu ia jaga dariku.
Ia takut aku kecanduan, dan tentu itu akan berdampak buruk pada gadis yang paling ia sayangi lebih dari nyawanya sendiri.
"Intinya kamu harus siap siaga, mungkin saja nanti semua uang di kartumu habis-"
"Kartu kita, sayang." Ia mengkoreksi. "Lagipula kapan kartu kita punya limit."
Mendengarnya hanya membuatku mengangguk. Lantas aku lanjut berjalan, melewati dua eskalator lainnya untuk sampai ke tempat yang menjadi tujuanku.
Dor.
Aku mematung disaat pria gagah kecintaanku menyembunyikanku ke belakang punggungnya. Melindungi aku dari segala kekacauan yang menyambut kami.
Menghiraukan jeritan banyak orang yang melarang keras untuk masuk lebih dalam. Ku kesampingkan itu semua dan hanya terus merajut langkah. Tenang nan tertata.
Tap..
Tap..
Semakin banyak langkah yang ku ukir semakin beragam pula jasad hangat yang menyambut. Pemandangan mengenaskan yang membuatku menutup hidung.
"T-tolong.."
Aku melirik ke asal suara dan langsung mengudarakan nafas panjang setelahnya.
"Oh, ternyata masih ada yang tersisa. Yang disana! Segera angkat tanganmu dan menunduk lah! Atau kau akan memiliki nasip yang sama seperti mereka!"
Aku yang sudah terlanjur kesal tentu tidak ingin memberikan atensi. Mana aku sudi.
"Sepertinya bocah itu tuli, langsung tembak saja kepalanya." Kata salah seorang dari mereka. Tidak ingin berbasa-basi.
Aku yang mendengar ujaran tanpa belas kasih itu setia tak bergeming. Membiarkan oknum bersenjata melayangkan sepatah dua patah lagi sebelum timah panas dari mereka benar-benar terbang melesat ke arahku.
Dor.. dor.. dor..
"Dasar nakal." Bisik kekasihku sembari ia terbatuk darah. Sebelum jatuh ke lantai.
"Sungguh melakoni." Salah seorang penembak berkomentar. Terkekeh geli.
"Siapa yang menyangka bahwa kita akan menyaksikan pengorbanan seorang ayah terhadap putrinya. Ingin merampok saja harus disuguhi dengan drama teater."
Gelak tawa mengudara. Pantul-memantul ditelinga seseorang yang sedang diselimuti duka. Menatap hampa pada tubuh tergeletak di bawah. Oh.. kekasihku.
Lalu seolah tak puas, oknum keji tersebut dengan begitu ringan sudah menarik pelatuknya lagi. Membuat lengan kecil ini berlobang dan darah langsung merembes.
"Cukup." Kataku. Melirik mereka satu-persatu sambil berdecih.
"Pertama, kalian telah membunuh kekasihku." Aku mengangkat jari. Mulai berhitung. "Kedua, kalian berkata bahwa dia ayahku PADAHAL JELAS-JELAS KAMI BEGITU COCOK DAN SERASI!! SIALANN!!"
Aku mengeram dengan gigi bergemelatuk. Melotot garang dan tak terima. Murka.
"Dan ketiga, KALIAN BERANI MELUKAIKU!! KEPARAT!! INI SAKIT, BANGSAAAAATTT!!"
Kaca pecah berhamburan karena jeritan milikku yang begitu melengking. Tetesan darah yang tadi berada dimana-mana. Menciprat kacau pada tembok, lantai, kursi, lemari kaca, semua tak terkecuali.
Mulai berkumpul cairan amis itu mengelilingi aku yang terus terangkat naik dan semakin naik. Dengan penuh amarah.
"Berani lancang berani mati." Aku berujar datar. Melanjutkan bersama seringai. "Maka pergilah ke neraka. Lantas musnahlah."
Dalam satu kedipan tubuh orang-orang keji itu tumbang. Jatuh ke dalam kubangan darah milik para korbannya. Sangat ironi.
Bruk. Aku berkedip-kedip dan tersenyum. Langsung mengalungkan lengan pada leher jenjang nan kokoh kekasih tercintaku yang baru bangkit dan menyambut tubuhku.
"Aku khawatir." Katanya. Merajut langkah sambil mengelus punggungku yang lesu dalam gendongannya. "Huh. Kita pulang."
Tentu pemberontakan langsung aku lakukan. Bahkan aku sudah kelepasan merengek. Namun buru-buru dibungkam akan suatu kenyataan menyedihkan.
Tap..
Tap..
Disepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Membiarkan kekasihku terus melangkah cepat untuk keluar dari area mall berdarah.
Rupanya pembantaian naas barusan bukan hanya terjadi pada satu tokoh, melainkan di segala penjuru mall. Membuatku yang awalnya masih memiliki harapan harus menelan pahit. Menghembuskan nafas.
Sepertinya handphone yang ku impikan tidak akan bisa kumiliki dalam waktu dekat ini. Malangnya aku.