Aroma itu selalu sama. Campuran menyengat antara iodoform, bubur hambar, dan apa yang kusebut sebagai aroma "kekalahan". Di kamar berukuran tiga kali empat meter ini, waktu seolah berhenti berdetak, menyisakan residu kesepian yang mengendap di setiap sudut dinding. Lima tahun sudah aku menghuni ruang hampa ini, merawat tubuh yang jiwanya seakan telah lama pergi.
Pagi itu, sinar matahari berusaha menerobos tirai jendela yang suram, namun bagiku, ruangan ini tetap terasa dingin. Aku memeras handuk basah ke dalam baskom aluminium. Suara air yang menetes menjadi satu-satunya musik di ruangan itu.
Kutatap laki-laki tua di atas ranjang itu. Tubuh Ayah, yang dulu gagah memanggulku di bahunya saat pawai 17 Agustus, kini tak lebih dari tulang berbalut kulit keriput. Matanya terbuka, menatap langit-langit, namun kosong. Kosong yang menyakitkan.
"Makan dulu ya, Yah," bisikku, menahan lelah yang menumpuk di ulu hati. Aku merasa telah menjadi yatim piatu sejak lama, meski Ayah masih bernapas di hadapanku. Rutinitas ini—menyuapi, membersihkan, dan berbicara pada dinding—perlahan menggerus kewarasanku.
Denting sendok beradu dengan mangkuk bubur. Saat aku hendak menyuapkan sendok ketiga, sebuah tangan yang gemetar namun hangat menahan pergelangan tanganku.
Aku terlonjak. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kutolehkan kepala dan mendapati pemandangan yang mustahil.
Mata itu. Kabut kelabu yang selama lima tahun menutupi bola mata Ayah telah sirna. Tatapan kosong itu berganti menjadi sorot mata teduh, tajam, dan hidup.
"Risa..."
Suara itu parau, berkarat karena pita suara yang lama tak bergetar, namun intonasinya jelas. Bukan gumaman tak bermakna seperti biasanya. Itu suara Ayah. Suara Ayahku.
Napasku tercekat. "A-Ayah?"
Ayah tersenyum tipis. Senyum yang kukira sudah hilang selamanya. Beliau menoleh ke arah jendela, lalu kembali menatapku dengan kejernihan yang memukau sekaligus menakutkan.
"Cuacanya cerah sekali, Nak," ucap Ayah perlahan. "Sudah lama kita tidak ke Danau Biru. Ayah rindu melihat airnya. Ayah rindu duduk berdua denganmu."
Aku membeku. Danau Biru adalah memori masa lalu kami, sebelum Alzheimer merenggut segalanya. Bagaimana mungkin Ayah mengingatnya? Bagaimana mungkin Ayah mengingat diriku?
Aku tahu ini tidak masuk akal. Membawa pasien yang terbaring menahun keluar rumah adalah risiko medis yang besar. Namun, naluriku berteriak bahwa ini adalah kesempatan terakhir. Sebuah fenomena yang pernah kubaca di artikel medis: Terminal Lucidity—kejernihan jelang ajal.
Dengan sisa tenaga, kupindahkan tubuh ringkih Ayah ke kursi roda. Proses itu sulit. Tubuh Ayah kaku, napasnya memburu karena usaha kecil itu. Namun, tidak ada rintihan kesakitan. Ayah justru tampak antusias, matanya berbinar menyapu seisi rumah seolah baru pulang dari pengasingan panjang.
"Maafkan Ayah merepotkanmu, Risa," ujar Ayah saat aku mendorong kursi roda melintasi jalan berbatu menuju danau di dekat kompleks perumahan kami.
Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, menahan bendungan air mata agar tidak jebol. "Ayah tidak pernah merepotkanku. Tidak pernah."
"Lihatlah," Ayah menunjuk pepohonan dengan tangannya yang gemetar. "Dunia masih indah, tapi Ayah terlalu lama tidur."
Kalimat itu menohok hatiku. Aku sadar, Ayah sedang "bangun" untuk berpamitan.
Kami tiba di tepi Danau Biru saat matahari mulai tergelincir ke barat. Kuparkir kursi roda di dermaga kayu tua. Angin sore membelai rambut putih Ayah yang menipis.
Langit berubah warna menjadi kanvas raksasa bergradasi ungu dan jingga. Senja yang sempurna untuk sebuah akhir.
"Kau tumbuh menjadi wanita yang kuat, Risa," ujar Ayah, matanya menatap riak air yang tenang. "Maafkan Ayah karena meninggalkanmu sendirian terlalu lama dalam sakit ini."
Aku berlutut di samping kursi roda, meletakkan kepalaku di pangkuan Ayah. Tangan keriput itu membelai rambutku. Sentuhan itu nyata. Hangat. Bukan tangan dingin yang kaku seperti kemarin.
"Jangan menangis karena gelap akan datang, Nak," lanjut Ayah. Suaranya mulai melemah, seperti lilin yang kehabisan sumbu. "Hidup itu seperti danau ini. Kadang tenang, kadang bergolak. Kau harus terus mengalir. Ayah... Ayah hanya akan pindah tempat untuk menjagamu dari jauh."
Ayah menarik napas panjang, menghirup aroma tanah basah dan air danau sepuasnya. Matanya menatap cakrawala, di mana matahari perlahan tenggelam.
"Indah sekali," bisiknya lirih. "Terima kasih untuk hadiah ini, Risa."
Perlahan, genggaman tangan Ayah di rambutku melonggar. Kelopak matanya menutup perlahan, seolah beliau hanya ingin tidur siang sejenak setelah perjalanan jauh. Dadanya yang tadi naik turun, kini berhenti bergerak dalam kedamaian mutlak.
Suasana hening. Hanya ada suara kecipak air danau dan angin yang berdesir di telingaku.
Aku tidak berteriak histeris. Aku tidak mengguncang tubuhnya. Sebaliknya, kucium punggung tangan Ayah yang mulai dingin dengan penuh takzim. Air mataku mengalir deras membasahi pipi, namun bibirku menyunggingkan senyum kecil.
Aku menyadari sesuatu yang berharga. Aku tidak kehilangan Ayah dalam bau obat yang menyengat atau tatapan kosong yang mengerikan di kamar sempit itu. Aku melepas Ayah di sini, dalam pelukan senja, dengan ingatan yang utuh dan cinta yang terucap.
"Selamat jalan, Ayah," bisikku pada angin sore yang membawa pergi jiwanya. "Sampai jumpa di keabadian."