Hujan turun pelan di kecamatan belawa sore itu, membasahi tanah merah dan atap-atap rumah panggung yang berdiri rapat. Aroma tanah basah bercampur wangi dedaunan kemangi dari dapur-dapur rumah warga. Di tengah hawa dingin itu, Naomi, seorang murid SMA , menatap hamparan sawah dari beranda rumah neneknya—rumah yang sudah berusia lebih dari dua abad, diwariskan turun-temurun oleh keluarga bangsawan kecil di masa lalu.
“Kalau kau mau memahami sejarah suku kita, kau harus tahu kisah Kerbau Putih,” ujar neneknya, nela, perempuan sepuh yang rambutnya telah memutih namun matanya masih tajam.
Naomi menoleh. “Kerbau putih? Yang sering diceritakan di pesta pernikahan itu ?”
Neneknya tersenyum samar. “Bukan hanya soal pernikahan. Tapi soal cinta, perang, dan jejak masa yang belum selesai.”
Naomi terdiam. Ia datang ke sini
untuk belajar, tapi cerita neneknya seperti mengundangnya masuk ke sebuah pintu lama yang terkunci. Bersamaan dengan itu, suara derap langkah terdengar dari bawah tangga.
“Permisi… saya sudah sampai,” ucap seorang pemuda muda yang basah oleh gerimis.
Naomi membeku sesaat. Pria itu… jauh lebih tampan dari bayangannya. Matanya penuh cahaya, wajahnya lembut, rambut hitamnya basah sebagian karena hujan.
“Ah, ini dia. Tio, yang akan membantu mu,” kata neneknya.
Naomi tak bisa mengalihkan pandangannya. Dalam hati ia merasa aneh—seperti pernah melihat pria itu sebelumnya, entah di mana.
Dan di situlah cerita mereka dimulai.
Tio adalah mahasiswa arkeologi yang sedang melakukan penelitian tentang simbol-simbol prasejarah di Belawa. Ia diminta dosennya berkerja sama dengan murid SMA, yang meneliti naskah kuno suku Bugis. Pertemuan pertama mereka terasa canggung, namun nyaman. Ada sesuatu yang membuat keduanya seperti sudah saling mengenal.
“Kau pernah ke Belawa sebelumnya?” tanya naomi saat mereka duduk di lantai rumah kayu.
“Pertama kali,” jawab tio. “Tapi rasanya… entah kenapa seperti pernah datang.”
Naomi tersenyum. “Deja vu?”
“Nggak tahu. Lebih seperti… panggilan.”
Malam itu, nenek naomi menghidangkan kopi dan barongko. Di antara percakapan ringan, nela tiba-tiba berkata:
“Besok, kalian ikut saya ke pulau wajo. Di sana dulu terjadi peristiwa besar. Dan kisah Kerbau Putih dimulai dari sana.”
Naomi menoleh cepat. “pulau penuh cerita rakyat itu? "Yang katanya karena banyaknya buah wajo yang tersebar di sekitar pulau".
Neneknya mengangguk. “Kisah cinta pun tumbuh di tempat itu. Kisah yang belum selesai sampai hari ini.”
Naomi dan tio saling pandang. Ada getaran asing dalam hati mereka, seakan mereka akan menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar penelitian.
Pulau diselimuti kabut tipis saat mereka tiba. Burung-burung terbang rendah, dan udara terasa lembap. I Tandi Pella berdiri di sebuah batu besar yang bentuknya menyerupai punggung kerbau.
“Legenda ini bukan hanya legenda,” katanya. “Ini sejarah suku kita.”
Naomi menatap neneknya bingung. “suku kita?”
Nenek mengangguk dan mulai bercerita.
Kisah dimulai, saat daerah masih dipimpin oleh raja Datu Luwu dikaruniai seorang keturunan bernama Putri Tadampali. Kabar tentang paras cantiknya tersebar ke seluruh pelosok negeri, tak terkecuali ke telinga Raja Bone. Mendengar berita ini, Raja Bone yang juga memiliki putra yang gagah dan tampan, memutuskan untuk menikahkan putranya dengan Putri Tadampali.
Saat akan meminang sang putri raja bimbang karena Adat istiadat Luwu tidak memperbolehkan seorang putri untuk menikah dengan lelaki di luar sukunya. Namun, jika menolak pinangan Raja Bone, Datu Luwu khawatir akan muncul peperangan antara dua kerajaan. Setelah menimbang-nimbang keputusan besar ini dengan baik, dan untuk menghindari pertumpahan darah dan mengorbankan rakyatnya, pinangan Raja Bone pun akhirnya diterima Datu Luwu. Duta dari kerajaan Bone kembali untuk menyampaikan berita bahagia tersebut kepada sang raja
Tidak lama setelah itu, Kerajaan Luwu digemparkan oleh sebuah kejadian tidak terduga. Sekujur tubuh Putri Tadampali mendadak dipenuhi oleh bintik-bintik yang mengeluarkan cairan kental dan berbau tidak sedap. Seluruh tabib didatangkan dari pelosok negeri untuk memulihkan putri kesayangan Datu Luwu. Malangnya, hasilnya berbuah nihil. Tidak ada tabib yang sanggup mengobati Putri Tadampali meski sudah diupayakan sekuatnya. Mereka justru menyampaikan bahwa penyakit putri adalah penyakit menular.
Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan Putri Tadampali ke tempat yang jauh. Setelah lama berlayar, Putri Tadampali dan para pengawal setianya akhirnya berlabuh di sebuah pulau. Pulau ini diberi nama Wajo oleh sang putri karena banyaknya buah wajo yang tersebar di sekitar pulau.
Suatu hari, saat Putri Tadampali sedang menghabiskan waktu di tepi danau, seekor kerbau buleng (putih) datang menghampirinya. Kerbau tersebut kemudian menjilati kulitnya. Karena tampak jinak, Putri Tadampali tidak mengusir kerbau dan membiarkannya menjilati kulitnya. Sungguh ajaib, setelah beberapa saat, kulit Putri Tadampali yang dijilati kerbau berangsur-angsur pulih dan kembali mulus seperti sediakala tanpa tersisa satu bercak pun. Sebagai tanda syukur, sang putri berpesan kepada para pengawalnya untuk tidak menyembelih apalagi memakan kerbau putih yang ada di Pulau Wajo.
Setelah itu beberapa hari kemudian pasukan bone datang di danau itu dan dan mereka bersama putra mahkota.mereka sadar putra mahkota terpisah karena tersesat saat pangeran tersesat dia memberanikan diri berjalan dan akhirnya menemukan gubuk putri yang akhirnya memberikan tempat istirahat hingga pagi .mereka menjadi Akrab dan saling terpesona satu sama lain namun sayang mereka harus berpisah karena pasukan bone menemukan putra mahkota mereka akhirnya berpisah
Setibanya di Pulau Wajo, Putri Tadampali memberikan keris pusaka pemberian sang ayah kepada para utusan dan meminta Putra Mahkota untuk mendapatkan restu ke Kerajaan Luwu terlebih dahulu. Jika keris tersebut diterima dengan baik oleh Datu Luwu, berarti pinangan diterima. Putra Mahkota pun berangkat sendiri menuju Kerajaan Luwu.
Sesampainya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan sang putri kepada Datu Luwu. Ia menceritakan kabar tentang pulihnya penyakit Putri Tadampali dan niatnya untuk menjadikan sang putri istrinya. Melihat ketulusan hati dan besarnya minat Putra Mahkota untuk meminang putrinya, Datu Luwu pun memberikan restunya dan menerima keris pusaka yang diberikan oleh Putri Tadampali dengan senang hati.
Sang Putri dan Putra Mahkota
Bersama dengan sang Putra Mahkota, Datu Luwu dan Permaisuri kemudian berangkat menuju Pulau Wajo untuk menjumpai putri tercinta. Setibanya di sana, Datu Luwu meminta maaf kepada sang putri karena telah mengasingkannya. Tapi, Putri Tadampali justru memanjatkan syukur karena dapat menyelamatkan rakyat Luwu dari penyakit menular yang menimpa dirinya dan mendapatkan kesembuhan di Wajo.
Putri Tadampali akhirnya melangsungkan pernikahan dengan Putra Mahkota Bone di Wajo. Semua yang hadir, termasuk keluarga dari Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone merayakannya dengan sukacita. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota didaulat untuk naik tahta dan menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Kerajaan Bone
Naomi merinding mendengar kisah itu. “Apa hubungannya dengan kita, Nek?”
Nela menatap Naomi dan tio bergantian." kerajaan luwu adalah leluhurnya, Naomi. Dan bone adalah leluhurmu, tio.”
Jantung keduanya serasa berhenti.
“Apa… kami keturunan dari dua kekasih itu?” tanya tio lirih.
Nenek mengangguk. “Dan aku percaya… pertemuan kalian bukan kebetulan.”
Tio menunduk, hatinya berdebar. Naomi tak mampu berkata apa-apa. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya—sebuah rasa yang tidak bisa ia jelaskan.
Hari-hari berikutnya, Naomi dan tio semakin dekat. Mereka menelusuri naskah kuno, tempat bersejarah, mendatangi danau, hingga mengunjungi warisan kerajaan. Setiap tempat yang mereka datangi terasa… familiar.
“Kau merasa aneh nggak?” tanya Tio saat mereka duduk di tepi sawah.
“Aneh bagaimana?”
“Seperti… aku sudah pernah lewat sini, bersama seseorang.”
Naomi menatapnya lama. “Aku juga.”
Mereka saling diam, tapi hati mereka berisik. Ada sesuatu yang menarik mereka satu sama lain. Sesuatu yang lebih tua dari umur mereka sendiri.
Suatu malam, mereka memutuskan kembali ke pulau wajo. Angin berhembus pelan, rerumputan bergoyang.
Tio berbisik, “naomi… kalau benar kita pewaris kisah itu… apa kita juga akan mengalami hal yang sama?”
Naomi menjawab dengan suara pelan, “Sejarah bukan untuk diulang. Tapi untuk diperbaiki.”
Tio menatapnya, tersenyum lembut. “Dan kalau cintanya juga ikut diwariskan?”
Naomi tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ia mulai jatuh hati pada gadis itu.
“Maka,” jawab naomi, “aku mau akhir yang bahagia.”
Ketika mereka berdiri di puncak bukit, hujan rintik mulai turun. Di kejauhan, petir menyambar, memperlihatkan siluet pepohonan. Tiba-tiba, tio menggenggam tangan Naomi.
“naomi… lihat!”
Di tengah kabut, tampak bayangan besar berwarna putih. Berjalan perlahan. Nafas Arel tercekat.
“Kerbau putih…”
Bayangan itu berhenti tepat di hadapan mereka. Mata hitamnya dalam, memancarkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—bukan wujud fisik semata, melainkan jejak dari masa lain.
Kerbau itu mendengus lembut, seolah mengenali mereka.
Tio berbisik, “kerbau …”
Naomi merasa matanya panas. “Dia menunggu… ratusan tahun.”
Di saat itu, angin berhembus kuat, dan bayangan kerbau putih perlahan memudar, tersapu kabut. Namun sebelum menghilang sepenuhnya, ia menundukkan kepala—seperti memberi salam perpisahan.
Lalu lenyap.
Tio menutup mulutnya. “Kita… benar-benar melihatnya. Bukan legenda.”
Naomi meremas tangannya. “Itu pertanda. Cinta mereka meminta akhir yang indah.”
Dengan tangan yang masih bergandengan, mereka berdiri lama di puncak bukit, membiarkan hujan menuruni pipi mereka—entah itu air hujan atau air mata.
Keesokan paginya, nenek naomi memanggil mereka. “Ada sesuatu yang perlu kalian lihat.”
Ia membawa sebuah peti kayu tua yang dikunci dengan kunci emas. Setelah membukanya, nenek menyerahkan tanduk kerbau yang masih utuh.
Tio menutup mulutnya, terisak. “Ini untuk kita…”
Naomi memeluknya perlahan. “Kita dua orang yang dipertemukan kembali untuk menggulang kisah mereka.”
Neneknya tersenyum bijak. “Betul. Sekarang keputusan di tangan kalian.”
Hari-hari berlalu. Naomi dan tio semakin dekat—tidak hanya karena penelitian, tapi karena jiwa mereka seperti sudah terhubung sejak dulu. Namun keduanya tetap berhati-hati. Mereka ingin memastikan bahwa cinta yang tumbuh adalah milik mereka sendiri, bukan bayang-bayang masa lalu.
Suatu sore, saat matahari hampir terbenam di balik gunung, Naomi mengajak Tio ke pulau wajo sekali lagi. Angin sore menerpa lembut wajah mereka.
"Tio… aku nggak tahu apakah kita benar reinkarnasi atau hanya pewaris takdir,” kata Arel, “tapi aku tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku… mencintaimu. Sebagai naomi. Bukan sebagai putri tadampali.”
Tio menatap mata naomi lama, lalu tersenyum. “Aku juga mencintaimu. Sebagai tio. Bukan sebagai putra mahkota.”
Naomi mendekat, dan berbisik. “Mau kah kau… menjalani cerita kita sendiri? Bukan mengulang masa lalu, tapi menulis masa depan?”
Tio mengangguk. “Kita mulai dari sini.”
Mereka berpelukan di puncak bukit. Suara angin seakan menyetujui. Dan jauh di belakang mereka, bayangan kerbau putih muncul sekejap—seperti tersenyum sebelum benar-benar menghilang dari dunia ini.
Berbulan-bulan kemudian, Naomi dan tio menyelesaikan penelitian mereka. Temuan tentang kerbau putih dan tanduk kerbau putih menjadi topik penting dalam seminar nasional sejarah Bugis. Namun lebih dari itu, mereka menemukan hal yang tak bisa ditulis dalam jurnal ilmiah:
Bahwa cinta bisa menembus waktu.
Bahwa luka masa lalu bisa sembuh oleh generasi yang baru.
Bahwa janji yang tidak terpenuhi bisa menemukan jalannya kembali melalui hati dua insan yang saling terpanggil.
Di hari mereka resmi berpacaran, naomi berkata sambil tertawa:
“Kalau kita menikah, berarti janji dua abad lalu akhirnya selesai.”
Tio menepuk pundaknya. “Dan kita adalah bukti bahwa sejarah tidak selalu berakhir tragis.”
Kerbau putih itu tidak pernah muncul lagi. Seolah ia telah menyelesaikan tugasnya. Namun setiap kali angin bertiup di pulau wajo, selalu ada suara yang terdengar:
“Cinta yang tulus tidak mati. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali.”
Naomi dan Tio akhirnya berpacaran setelah mereka hanya bekerja sama sebagai partner penelitian. Semua bermula dari kisah yang sederhan dan tiba-tiba menjadi cinta, membuat keduanya saling mengakui mengugkapkan isi hati. Naomi tersenyum gugup ketika Tio mengulurkan tangan, dan Tio sendiri hampir tidak percaya bahwa momen yang ia tidak harapan selama ini akhirnya terjadi.Sejak hari itu, mereka mulai menjalani hari-hari yang terasa lebih hangat—jalan sore yang singkat pun menjadi berharga, pesan singkat pun terasa spesial. Mereka tahu hubungan itu tidak selalu mudah, tetapi mereka siap belajar saling memahami. Yang terpenting, mereka kini melangkah bersama, dengan hati yang sama-sama yakin.
Meski mereka tahu perjalanan ini tidak akan selalu mudah, Naomi dan Tio sama-sama yakin: hubungan yang tumbuh ini akan selalu menemukan jalannya. Kini mereka berjalan berdampingan, menikmati setiap langkah baru yang membawa mereka semakin dekat satu sama lain.
Mereka juga sering belajar bersama, meski akhirnya lebih banyak ngobrol daripada belajar. Naomi akan mencoba mengajari Tio hal-hal yang ia kuasai, sementara Tio kadang pura-pura tidak mengerti hanya agar Naomi mendekatkan wajahnya untuk menjelaskan. Naomi sering kesal pura-pura, tapi Tio tahu ia sebenarnya senang.
Dengan semua kegiatan kecil itu, mereka merasa hubungan mereka tumbuh pelan-pelan namun kuat. Yang sederhana justru membuat mereka merasa semakin dekat.