Suri terbujur kaku di atas ranjang sambil memandang langit malam. Jendela besar kamarnya sengaja dibuka oleh pembantu rumah yang 30 menit lalu meninggalkan ruang kamarnya. Suri merasakan dingin teramat hebat, tapi ia tidak penyesalan. Ia akan merindukan rasa dingin dan semua yang ia lihat malam ini. Kesempatan hidupnya akan berakhir besok.
Sepanjang hidupnya, Suri hidup dengan tubuh yang sakit-sakitan. Ia berusaha menahan cobaan ini dan melakukan berbagai cara agar bisa hidup berbaur dengan teman sebaya. Namun, angan tersebut menyakiti Suri lebih dalam. Kurang dari seminggu ia harus berhenti sekolah karena kondisi kesehatannya.
Kehidupan Suri hanya berada di 2 tempat, rumah dan rumah sakit. Keluarganya kaya dan memberikan segalanya untuk kesembuhannya. Rasa sayang itu lama kelamaan menjadi rasa abai. Tidak ada rasa kasih di mata dan sentuhan kepada Suri, yang tersisa hanya kosong, tidak ada harapan, dan seperti berharap derita pada mereka selesai.
Suri sudah berada di tahap pasrah. Memandang tubuhnya yang semakin pucat bak porselen dengan rasa sakit menyusup ke dalam sumsumnya, benar-benar hukuman tiada akhir. Ia lelah dengan alat-alat di badannya, ia lelah dengan suntikkan semu, ia benar-benar lelah mendengar omong kosong suster dan dokter berharap dirinya pulih.
Suri merasa tidak memiliki tubuhnya seutuhnya. Ia bagai jiwa yang terjebak di tubuh manekin rusak dan cacat.
Suri tersenyum sekaligus berlinang air mata. Ia hanya berharap kematiannya nanti tidak lebih menyakitkan dari apa yang ia rasakan selama masih hidup. Ia sudah tidak ada penyesalan lagi dan menunggu dirinya bisa mengeluh sepuasnya kepada tuhan.
Cahaya bulan begitu cantik malam ini. Suri yakin tuhan sedang memberikan hadiah terakhir sebelum ajalnya datang. Warna terang sedikit kebiruan terasa menyinari Suri dari jauh atau mungkin itu hanya imajinasinya saja. Tubuhnya sepertinya sudah di titik berharap ada keajaiban lewat alam bawah sadarnya.
"Kenapa kamu terlihat sedih?"
Suri tertegun melihat samar-samar sosok laki-laki berdiri di dekat jendela. Tubuhnya yang terkumpul dari partikel halus di bawah sinar bulan berubah padat hingga tubuhnya menjadi manusia pada umumnya. Sosok tersebut memiliki kilau halus setiap cahaya bukan menyoroti tubuhnya. Suri yakin ia tidak berimajinasi. Apa ini malaikat mautnya?
"Hey? Apa aku membuatmu takut?"
Suri menelan ludahnya, "Apa kamu akan menjemput nyawaku?"
Laki-laki itu kebingungan. "Hah? Buat apa aku menggambil nyawamu?"
Suri menahan napas saat laki-laki itu mendekat. Tatapan polos dan terus memperhatikan tubuhnya memberikan kesan aneh pada laki-laki itu. Apa dia alien? Apa dia hanya halusinasi baik sebelum mati? Atau ini hanya mimpi?
Suri sudah tidak bisa menjauh dari sosok tersebut yang kian mendekat. Rasa merinding akan keanehan itu tidak bisa dijelaskan. Nafasnya mulai tersengal takut seiring laki-laki itu mendekatkan tangannya ke tubuhnya.
"S-stop!" Laki-laki itu terdiam ketika Suri menginstrupsinya.
Suri menatap paras laki-laki itu. Bisa dibilang di depannya adalah penggambaran laki-laki paling tampan yang pernah ia bayangkan. Rambut hitam gelap seperti langit malam, kulit putih sedikit pucat seakan menyerap sinar yang ada, dan mata hitam dengan pantulan-pantulan kecil cahaya bagai kumpulan bintang.
Perempuan itu langsung membuang mukanya. "Aku mohon... pergilah... pergi jika ini hanya imajinasiku..."
"Aku bukan imajinasi. Aku nyata, kok!" Laki-laki itu tersenyum. Suri terpukau dengan senyuman seperti bukan sabit di bibir tipis itu. Seluruh tubuh laki-laki itu seperti tergambar sempurna sebuah malam sebagai manusia.
Laki-laki itu mengebas baju kemeja putih dan celana hitam selututnya. "Hah, akhirnya aku bisa di sini. Maafkan aku jika aku penuh akan debu bulan."
"Bu-bulan?" Gagap Suri.
"Iya... Aku dari bulan! Sudah lama aku ingin mendatangimu. Ini waktu yang pas karena cahayaku bisa sampai di kamar kecil ini." Ucap laki-laki itu antusias dengan suara rendahnya.
Suri bingung harus menangggapi apa. Namun, ia perlu tahu nama laki-laki itu. Setidaknya sosok di depannya akan menjadi seseorang terakhir yang bisa Suri kenal.
"Siapa... namamu?"
"Aku?" Laki-laki itu menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. "Namaku Juno."
Suri mencoba menggerakkan tangannya, tapi seluruh sendinya seketika berdenyut. Ringisannya akhirnya bocor dan akhirnya menyerah untuk menjabat tangan Juno.
"Maaf... aku... tanganku... tidak bisa diangkat. Aku tidak bisa bangun. Maaf... namaku Suri..." ucapnya pengap.
Sorot mata Juno seketika sendu. Ia pun langsung bersimouh di depan Suri yang terlihat murung. Matanya menatap lekat wajah Suri. "Apa ini alasan kamu terus bersedih setiap melihatku?"
Suri tertegun melihat Juno yang sudah sejajar menatapnya. Jujur saja, Suri memang senang melihat langit malam dan tentu ia hanya menatap dengan sedih karena merasa dunia berjalan baik, berbeda dengannya yang berhenti dan semakin terpuruk.
"Suri, apa sinarku tidak bisa membuatmu bahagia? Manusia di bumi semuanya bahagia ketika aku bersinar, tapi hanya kamu yang menatapku sedih." Tukas Juno penasaran.
Perempuan itu menggeleng pelan. "Terima kasih atas sinarnya. Tapi, aku kesulitan di sini. Tubuhku semakin lemah hingga saat ini aku tidak bisa menggerakkan tubuhku seperti manusia lainnya."
Juno terus memperhatikan Suri. Perempuan itu menarik napasnya dan mulai menitikkan air mata. Suri berusaha menahan isak tangisnya dan berusaha menjelaskan kepada juno, " Aku... aku sendirian. Rasanya aku kehilangan arah dan sangat bingung. Apa aku memang layak hidup atau sebenarnya aku harus mati agar tidak kesakitan lagi?"
Suri pun kembali menatap Juno. Laki-laki itu mulai terlihat transparan dan kelap-kelip di tubuhnya memudar. Perempuan itu begitu panik, "Jun... kamu... kenapa?"
"Suri, aku baru sadar kalau aku sendirian sama sepertimu. Aku tidak punya kendali apapun dan hanya bersinar sesuai waktu tanpa melakukan apapun. Itu menyakitkan... dan mengerikan." Juno mulai menggapai Suri dan berkata, "Apa aku boleh menyentuhmu?"
Suri mengangguk. Tangan transparan itu menyentuh kulit pipinya dan terasa begitu halus seperti angin. Perlahan Juno mengerang dan mulai mengeluarkan air mata. Tetesan air matanya seakan bintang jatuh yang hilang di akhir. Suri begitu khawatir tentang bagaimana Juno yang begitu menderita ketika menyentuhnya.
"Stop! Juno stop!"
Juno pun melepas sentuhannya. Laki-laki itu terlihat kelelahan dan memejamkan matanya. Tubuhnya mulai kembali seutuhnya dan senyumannya terpatri. Suri terus memperhatikan Juno yang akhirnya kembali seperti biasa.
"Terima kasih, Suri. Aku baru pertama kali merasakan emosi yang tidak pernah kurasakan dari manusia. Kau adalah teman satu-satunya dan selamanya akan aku jaga dari jauh. Apa aku boleh kembali?"
Suri kembali menitikkan air mata sambil tertawa renyah. "Tidak bisa. Besok aku akan mati atau lusa. Aku tidak bisa bertemu denganmu di bulan purnama berikutnya. Kau bulan, bodoh! Kenapa kau datang saat aku sekarat?"
Mereka berdua saling bertatapan dengan sorot mata sendu dan kehilangan. Keduanya mengalami pertemuan pertama dan terakhir. Juno dengan wajah muak dan menyentuh tubuh Suri hingga ia entah bagaimana tubuh perempuan itu berkilau dan bergerak untuk duduk di tepi ranjang.
Suri tidak percaya dirinya bisa berubah posisi semudah ini. Ketakjubannya terhenti oleh Juno yang menjejerkan wajahnya di depannya. "Juno... kau mau apa?"
Air mata Juno mengalir seperti air mata biasa, bukan bintang jatuh seperti tadi. "Aku tidak mau sendirian lagi. Apa kau mau menjadi temanku seutuhnya dan tinggal bersamaku? Aku akan melakukan segala cara agar aku bisa denganmu selamanya, bahkan harus melawan alam semesta."
Suri tersentuh. Air matanya kembali lagi dan kekuat tanpa ampun. Satu hal yang ia bisa lakukan hanya menggeleng menolak. Juno terlihat hancur mendapati keputusan itu. Perempuan itu menarik tangan Juno dan menyatukan satu telapak tangan di pipinya. Ia tersenyum sambil merasakan dinginnya tangan Juno.
"Hanya satu hal yang aku inginkan. Berakhir dengan tenang dan menjadikanmu kenangan yang akan aku simpan selamanya. Aku bahagia. Ini adalah momen paling bahagia yang aku rasakan. Juno, terima kasih menjadi teman terakhirku. Aku tidak ingin kau berkorban untukku. Aku ingin kau berkorban untuk dirimu sendiri."
"Dan... Juno. Mungkin kita akan bertemu lagi saat aku sudah tidak ada di sini. Aku akan minta kepada tuhan agar menjadikanku bintang paling bersinar dan dekat denganmu, bisa membawaku menjelajahi bulan dan segalanya."
Suri menguap dan kembali ke posisi tidurnya. "Sekali lagi terima kasih, Juno. Tidak ada penyesalan dan aku mulai mengantuk. Apa kamu akan menungguku sedikit lagi?"
Juno kembali duduk bersimpuh dan mengelus rambut pirang Suri. "Ya, bahkan jika butuh 1 abad, aku akan terus menunggumu. Janji ya kau akan kembali kepadaku?"
"Janji..."
Pagi datang dengan sinar kemilau kuning yang menyelimuti tubuh Suri. Rumah sepi itu tak lama diliputi oleh raungan memanggil nama Suri berkali-kali dan isak tangis. Meski sudah terang, siluet bulan terpajang di sana. Di sana ada Juno yang duduk menunggu janji Suri sambil tersenyum. Ia tidak sabar menanti waktu dirinya dan Suri bersama lagi, menggapai satu sama lain.