Hujan turun deras di luar gedung sekolah saat listrik tiba-tiba padam. Hanya suara gemuruh dan tetesan air dari atap bocor yang menemani empat siswa kelas 10 malam itu: Alya, Fikri, Sela, dan Raka. Mereka sedang menyelesaikan dekorasi untuk festival sekolah besok.
“Kenapa mesti mati lampu pas begini sih?” gumam Sela sambil menatap jendela gelap.
Guru piket menyuruh mereka pulang lebih cepat, tetapi ketika mereka hendak menuruni tangga, suara retakan terdengar dari lantai bawah. Sekejap kemudian, gempa kecil mengguncang gedung.
“Pegangan!” teriak Raka.
Rak buku jatuh, kertas berterbangan, dan lantai seperti bergeser. Saat getaran berhenti, empat siswa itu saling menatap dalam kebingungan … karena tangga yang seharusnya mengarah ke lantai bawah, kini berubah menjadi koridor panjang yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
“Ini bukan tangga sekolah kita…” Fikri berbisik.
Lampu neon di koridor itu berkedip-kedip, memantulkan cahaya pucat ke dinding yang retak. Ada bau besi—mirip darah—yang menguar di udara. Dengan takut-takut, mereka melangkah masuk, berharap itu hanya pintu darurat yang belum pernah digunakan.
Namun begitu mereka berjalan beberapa meter, suara pintu di belakang tertutup keras.
Clek!
Mereka berbalik. Pintu itu menghilang. Yang tersisa hanya dinding kotor penuh coretan.
“Ini… kayak dunia lain,” ucap Alya, suaranya bergetar.
---
Semakin jauh mereka masuk, semakin banyak hal aneh muncul. Foto-foto hitam putih murid yang wajahnya dicoret. Papan nama kelas yang semuanya bertuliskan hal yang sama: “Kelas 5-B – Siswa Hilang”.
Di tengah koridor, Sela menemukan boneka kain lusuh. Boneka itu basah oleh sesuatu yang lengket.
“Aku merasa dia sedang melihat kita,” katanya sambil menelan ludah.
Tiba-tiba boneka itu membuka mulut robeknya dan berbisik:
“Jangan terpisah…”
Sela menjatuhkannya sambil menjerit. Mereka berempat langsung berlari, tetapi koridor itu seperti memanjang tanpa ujung. Setiap langkah seperti kembali ke tempat yang sama.
“Kita terjebak!” Raka berteriak.
Kemudian… suara tangis terdengar dari kelas di sebelah kanan. Suara anak kecil.
“Ada orang!” Alya langsung membuka pintu.
Di dalam kelas itu, hanya ada satu sosok bocah perempuan berambut panjang, duduk sambil memeluk lutut. Seragam putihnya kotor bercak hitam.
“Dek, kamu kenapa di sini?” tanya Alya pelan.
Bocah itu menoleh. Wajahnya kosong, matanya hitam tanpa pupil.
“Kembalikan… tubuhku…”
Dia menunjuk ke boneka lusuh yang tadi dijatuhkan Sela.
“Kalian… membawanya ke sini… Kalian tidak akan keluar… sebelum semuanya lengkap…”
Langit-langit kelas bergetar. Dari setiap sudut ruangan muncul tangan-tangan hitam yang mencoba meraih kaki mereka.
“LARI!” Fikri menarik teman-temannya keluar.
---
Koridor itu kini berubah bentuk—reot, gelap, dan dipenuhi darah kering di lantainya. Raka tersandung sesuatu.
Itu adalah papan nama dengan tulisan besar:
“Selamat datang di SD Sukma Wening — Sekolah para arwah.”
Fikri terdiam. “Ini… sekolah yang kebakaran 20 tahun lalu itu, ‘kan? Yang siswanya hilang semua…”
Alya menelan ludah. “Kalau begitu… kita ada di tempat yang sama dengan mereka.”
Saat mereka mencoba mundur, sosok bocah perempuan itu muncul di ujung koridor. Lehernya miring, wajahnya pecah seperti kaca.
“Temani kami… selamanya…”
Dia melayang cepat ke arah mereka.
---
Dalam kepanikan, Fikri menarik gagang pintu acak. Ajaibnya pintu itu terbuka menuju ruangan yang terlihat seperti ruang UKS. Di dalamnya terdapat kertas mantra kuning dengan simbol aneh—seperti segel pelindung.
Alya mengambilnya. Saat roh bocah itu menerjang, Alya mengangkat segel itu dan membentak:
“PERGI!”
Cahaya putih menyelimuti ruangan. Suara jeritan pecah seperti kaca retak, dan koridor panjang itu mulai meluruh menjadi serpihan bayangan.
---
ketika mereka tersadar… mereka sudah berada di tangga sekolah normal mereka. Hujan telah reda, dan lampu-lampu menyala kembali.
“Baru beberapa menit berlalu,” Raka melihat jam tangan sambil gemetar.
Alya menggenggam segel kuning itu erat-erat. Simbolnya kini pudar, tetapi jelas masih hangat.
“Kita harus buang ini,” katanya.
Namun saat ia melangkah ke luar, suara berbisik terdengar dari kertas itu:
“Jangan pergi… kelas masih belum lengkap…”
Alya menjatuhkannya.
Empat–empatnya saling menatap.
Mereka tahu… mimpi buruk itu belum selesai.
---