“Empat Wajah dalam Satu Kata: Puisi”
Puisi sastra itu bagaimana?
Ia lahir dari perasaan yang dijadikan kata,
bukan sekadar curhat yang tumpah begitu saja,
melainkan kalimat yang dipilih, dipeluk, lalu dibiarkan bernapas
di antara jeda dan sunyi yang tak semua orang bisa membacanya.
Kadang ia datang sebagai pantun
dengan empat baris yang saling berkejaran,
sampiran di depan, isi di belakang,
rima a-b-a-b yang menari ringan di ujung lidah.
Ia bercanda, menasihati, atau diam-diam mengakui rindu
dalam bahasa yang mudah dihafal siapa pun yang mendengarnya.
Kadang ia berubah menjadi syair
yang mengalir pelan, bait demi bait,
semua barisnya adalah isi yang serius dan dalam,
rima a-a-a-a yang mengetuk hati pelan-pelan.
Di sana ada kisah, ada nasihat,
ada doa yang dibungkus dalam Melayu yang lembut dan tua.
Lalu suatu kali, ia menjelma gurindam:
hanya dua baris sederhana,
tetapi di baris pertama ia memberi sebab,
dan di baris kedua ia menunjukkan akibat.
Rimanya a-a,
namun di dalamnya ada hukum kecil kehidupan
yang kadang lebih tajam dari seribu pidato yang berisik.
Puisi bisa jadi apa saja:
bebas tanpa ikatan,
atau patuh pada pola yang diwariskan zaman.
Namun di balik semua itu,
ia tetap satu:
rumah kecil bagi perasaan
yang tak sanggup diucapkan dengan suara biasa.
Entah ia datang sebagai pantun yang jenaka,
syair yang khusyuk,
atau gurindam yang singkat namun tegas,
pada akhirnya,
puisi adalah cara hati berbicara
ketika mulut tak lagi tahu
bagaimana harus menjelaskan dirinya sendiri pada dunia.