Puisi sastra itu bagaimana?
Ia adalah perasaan yang dijadikan kata,
bukan sekadar curhat yang tumpah sembarangan,
melainkan kalimat-kalimat yang dipilih, disusun, dirapikan,
hingga setiap barisnya punya irama sendiri
yang lembut mengetuk sudut sepi di dalam diri.
Ia punya rasa:
membuat siapa pun yang membacanya
ikut tenggelam dalam sedih, senang, rindu, marah, juga sepi,
seakan satu baris saja
bisa menyimpan berlapis-lapis arti.
Apakah ia mempunyai warna?
Bukan di kertas, bukan di tinta—
melainkan di dada orang yang membacanya.
Saat berbicara tentang kehilangan,
ia mungkin berwarna abu-abu atau biru gelap
yang mengendap di ujung mata.
Saat menyentuh cinta pertama,
ia berubah jadi pink pucat, peach, atau ungu lembut
yang pelan-pelan berdegup di pipi yang merona.
Ketika marah dan kecewa,
ia menyala merah tua, hitam, atau oranye yang tajam,
seperti api yang menolak padam.
Saat berbicara tentang harapan dan mimpi,
ia menguning hangat, menjelma biru muda,
atau hijau yang tumbuh pelan di tepi hari.
Maka wajar jika suatu hari
kau berbisik pada dirimu sendiri:
“Puisiku hari ini rasanya hitam dan ungu,”
bukan karena tintanya,
melainkan karena sesaknya yang misterius di dalam dada.
Bisakah ia berbicara?
Ia tak punya mulut seperti manusia,
namun suaranya justru lebih jelas terasa.
Ia bicara lewat diksi
yang dipilih dengan hati-hati.
Ia menyamarkan luka lewat metafora:
“senyummu adalah fajar di kepalaku,”
dan membuat imaji yang begitu nyata
hingga kau merasa sedang melihat, mendengar,
dan merasakan sesuatu yang tak ada di sekitarmu.
Kadang satu puisi saja cukup
untuk berbisik lembut pada pembacanya:
“Kamu nggak sendirian.”
“Perasaanmu valid kok.”
“Ada orang lain yang pernah sakit seteruk itu juga.”
Ia tak memanggil namamu,
namun entah mengapa,
kau merasa sedang dipeluk oleh sesuatu yang mengerti tanpa banyak tanya.
Apakah ia punya wujud seperti manusia?
Jika kau ingin, kau boleh membayangkannya begitu.
Ia bisa jadi anak pendiam
yang duduk di bangku paling belakang,
tak banyak bicara,
tapi setiap kalimatnya
selalu menancap dalam di kepala.
Atau teman yang tak suka keramaian,
namun betah berkawan dengan buku catatan,
menulis pelan di bawah lampu redup,
menumpahkan perasaan yang tak pernah diucapkan lantang.
Malam pun mengenalnya:
seseorang yang duduk sendirian
ditemani meja, pena, dan sunyi,
menulis hal-hal yang tak sanggup ia katakan pada siapa pun.
Bagaimana rupanya?
Matanya dalam,
seperti seseorang yang sudah lama sekali
menyimpan terlalu banyak rahasia.
Senyumnya tipis,
bukan tawa heboh yang memenuhi ruangan,
melainkan hangat kecil yang tiba-tiba
membuatmu merasa aman.
Di tangannya,
ada noda tinta dan bekas coretan,
karena ia terbiasa menulis, menghapus, mengulang,
mencari cara paling jujur
untuk mengeluarkan sesuatu dari dadanya.
Auranya tenang,
namun bila kau dekati,
kau akan merasakan:
“Orang ini banyak luka,
tapi ia memilih mengubah lukanya menjadi karya.”
Siapakah puisi sastra itu?
Ia adalah bagian dari dirimu
yang tidak berani bicara keras-keras,
maka ia bersembunyi di balik kata-kata.
Ia adalah versi dirimu yang paling jujur,
yang tak dipaksa tersenyum
saat dunia menuntutmu baik-baik saja.
Ia adalah keberanianmu mengakui:
“Aku sakit, aku marah, aku rindu, aku sayang,”
bukan dengan teriakan,
melainkan lewat kalimat-kalimat
yang kau tulis dalam diam.
Jadi… siapa dia?
Puisi sastra bukan orang lain—
ia adalah kamu
ketika semua perasaanmu
berubah menjadi kata-kata yang hidup,
yang pelan, halus, dan dalam,
namun jauh lebih jujur
daripada senyum yang kau tunjukkan kepada dunia.