Puisi itu bagaimana?
Ia lahir dari hati yang kelelahan bicara,
lalu memilih diam di antara baris-baris kata,
menyimpan rahasia yang tak sanggup diucap di dunia nyata.
Apakah ia mempunyai warna?
Kadang ia datang sebagai biru yang sendu,
merayap pelan di tepi mata yang hampir jatuh airnya.
Kadang ia merah yang berteriak di dada,
atau abu-abu yang duduk di antara ragu dan luka.
Bisakah ia berbicara?
Ia tak punya suara,
tapi tiap katanya mengetuk pelan di dada pembacanya.
Ia tak memanggil namamu,
namun entah bagaimana,
kau merasa sedang dipeluk oleh sesuatu yang mengerti tanpa banyak tanya.
Apakah ia punya wujud manusia?
Mungkin ia mirip seorang anak
yang duduk di pojok kelas dengan buku catatan penuh coretan,
tampak biasa saja di mata orang lain,
padahal di kepalanya, hujan dan bintang sedang bertabrakan.
Bagaimana rupanya?
Matanya dalam, seperti menyimpan ribuan malam tanpa tidur.
Tangannya berbau tinta dan senja yang terlambat pulang.
Langkahnya pelan, tapi setiap jejaknya adalah cerita
yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang pernah merasa sendirian.
Siapakah puisi sastra itu?
Ia adalah air mata yang tak jadi jatuh,
adalah jeritan yang kau tahan sampai tenggorokanmu perih,
adalah rindu yang kau kubur sendiri
tanpa pernah mengadakan pemakaman.
Jadi siapa dia?
Ia adalah dirimu
saat semua yang tak berani kau ucapkan
akhirnya menemukan rumah
di antara huruf-huruf yang kau tulis pelan-pelan,
di malam yang hanya kau dan selembar kertas yang saling memahami.