Hujan rintik-rintik mulai membasahi sudut bumi yang ditinggali Ane dan keluarga. Ane yang sangat menyukai hujan bergegas keluar dari rumah sederhananya, duduk di teras dengan tangan mengambil air hujan yang mulai deras.
"Dulu... Aku menikmati hujan ini dengan seporsi mie instan bercampur telur, sosis, bakso, dan banyak sayuran yang lain. Kini, aku hanya bisa mengenangnya dan berharap bisa merasakannya sekali lagi." hatinya berucap lirih, meski kesedihan melanda, ia tetap menguraikan senyum ceria.
"Ane, ayah kamu belum pulang?" seorang wanita berumur kepala empat keluar dengan tergesa, menatap hujan yang kini tak hanya deras, tapi juga bercampur dengan kilat petir.
"Bukannya ayah sudah pulang jam dua tadi, bu?" Ane mengernyit bingung. Ia sempat melihat ayahnya mengambil perkakas tambahan untuk keperluan kerjanya di proyek pembangunan rumah.
"Iya, abis itu kan berangkat lagi."
"Ane ngga lihat waktu ayah berangkat lagi, bu. Ibu duduklah dulu, sekarang sudah pukul empat sore, sebentar lagi ayah pasti sampai rumah."
"Ibu takut, Ane." sang ibu duduk dengan kaki terus bergerak, sorot matanya menyiratkan kecemasan yang begitu dalam.
Dulu, ayah mereka bekerja di ruang dengan AC yang memadai, beliau juga akan pulang menggunakan mobil hitam kesayangannya. Tapi, kini, sang ayah bekerja menjadi kuli bangunan di proyek rumahan, upah tidak seberapa dan pulang pergi dengan motor lama yang meminta banyak perbaikan.
"Ane... " Ane beralih menatap ibunya, ternyata wanita itu sudah berlinang air mata.
"Ibu, ada apa? Ayah pasti pulang sebentar lagi. Kalau pukul setengah lima ayah belum sampai rumah, biar aku yang menyusul." ibunya menggeleng. Ia memeluk putri semata wayangnya dengan erat.
"Ibu minta maaf, Ane. Ibu minta maaf untuk kehidupan yang sulit ini. Ibu dan ayah minta maaf belum mampu mengembalikan kehidupanmu yang sebelumnya." hati Ane terasa perih saat itu juga, matanya memanas.
"Berhentilah meminta maaf, bu. Ibu dan ayah berjuang demi pengobatannya kakak. Dan, sekarang kakak sudah sembuh dan kembali bersama kita."
"Assalamualaikum." kedua wanita yang masih berpelukan itu menoleh bersamaan, menatap seorang laki-laki muda yang sangat mirip dengan ayahnya.
"Ibu, ibu kenapa menangis?" ia duduk dengan menekuk lutut dihadapan sang ibu setelah mencium tangannya. Laki-laki itu juga mengusap air mata yang semakin deras mengalir membasahi pipi wanita yang melahirkannya.
"Ibu tidak apa-apa. Ibu hanya sedang berdoa semoga keluarga kita utuh dan bahagia hingga surga." laki-laki yang merupakan kakak Ane itu tersenyum lalu memeluk ibunya, pelukan hangat itu juga diikuti oleh Ane.
"Assalamualaikum. Wah pelukan nggak ngajak-ngajak ini." ayah yang baru saja pulang langsung ikut berpelukan mengakibatkan baju ketiga orang yang dipeluknya sedikit basah.
"Ayah, baju aku basah. Baru selesai mandi loh.. " Ane merengek manja, berpura-pura merajuk. Kini, amarahnya lebih stabil dan terkontrol, kehidupan panjang dan naik turun yang dihadapinya juga mengubah kepribadiannya.
"Hahaha, ayah minta maaf. Jawab dulu dong salam ayah."
"Wa'alaikumusalam." ketiga cinta yang dipeluk keluarga itu menjawab salam bersamaan.
"Eh, salam aku juga belum dijawab tau." kakak Ane turut merajuk, ia membuang muka dengan ekspresi lucu. Karena itu, Ane, ibu, dan ayahnya menjawab salam dengan bersamaan dan berisi candaan.
"Karena sudah terlanjur basah bagaimana kalau kitaaa... " ayah menarik Ane dan ibu hingga terkena air hujan, "hujan-hujanan!! Yeyyy!!" ayah bersorak gembira, Ane dan ibu juga turut tertawa bahagia.
"Aku juga ikutan dong!" kakak Ane melepaskan tas sekolahnya dan juga seragam, karena ia masih menggunakan celana kolor dan kaos ia langsung berlari menyergap adiknya dan berakhir kejar-kejaran.
Setelah lelah bermain, mereka berempat duduk melingkar di bawah rintik hujan.
"Ayah bawakan mi instan dengan toping lengkap! Belum di masak sih, itu jadi tugas ibu deh, tapi nanti ayah bantu kok." ayah menyengir lebar, menciptakan suasana hangat dan manis yang sangat istimewa.
"Yey! Ane suka! Kalau begitu kita sudahi hujan-hujanannya dan makan mi!" Ane tersenyum senang, hal itu juga membuat ketiga keluarganya tersenyum bahagia.
"Hompipa, yuk! Yang warnanya berpasangan hitam nanti masak mi!" Ane dengan antusias menarik lengan bajunya lalu mengulurkan tangan.
"Hompipa alaihum gaammbreng!"
"Yey! Ane dan kakak putih! Ibu dan ayah memasak! Yeeyy!" Ane bersorang gembira lalu mengajak kakaknya berputar-putar. Mereka lalu mandi bergiliran lalu ayah dan ibu menyiapkan mi instan.
Pukul tujuh malam, mi instan istimewa siap disajikan, mereka berempat shalat isya berjamaah terlebih dahulu sebelum akhirnya makan bersama.
--------
Sesekali, kebahagiaan bukan hanya tentang uang. Senyum yang tercipta tanpa beban, komunikasi yang terarah dan penuh pengakuan, serta cinta tulus terasa lebih mahal dari apapun.