Alya berlari menembus semak berduri, napasnya terputus-putus, lututnya perih, dan udara panas gurun menghantam wajahnya seperti pecahan kaca. Suara tembakan terdengar lagi, memantul di antara tebing batu yang menjulang. Ia menoleh sekilas dan menemukan satu-satunya hal yang membuatnya tetap bergerak, Arga, tepat di belakangnya, wajah penuh debu, tapi matanya masih tajam mengawasi keadaan sekitar.
"Alya, kiri!" teriak Arga.
Ia meloncat ke samping, dan peluru menghantam batu di depan tempat ia berdiri. Pecahan serpihan beterbangan. Tubuhnya goyah. Arga menangkap lengannya, menstabilkan langkahnya. Sentuhan itu cepat, hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat jantung Alya berdebar lebih kencang dari ancaman kematian yang mengikuti.
Mereka harus terus maju. Sudah tiga hari mereka terjebak di lembah kering ini, berusaha kabur dari kelompok pemburu bayaran yang sebelumnya menculik rombongan ekspedisi tempat mereka bekerja. Dari dua belas orang, hanya mereka berdua yang selamat. Selebihnya entah mati atau diangkut entah ke mana.
Tiga orang lain yang kini bersama mereka hanyalah sisa-sisa kekuatan perjuangan, Reno, mantan tentara yang kini pincang setelah terkena ranjau buatan.
Sera, mahasiswa magang yang mentalnya mulai retak setelah melihat kematian teman-temannya.
Pak Darun, sopir tua yang lebih banyak berdoa daripada berbicara.
Mereka bukan kelompok penyelamat yang ideal. Mereka hanyalah manusia-manusia yang belum sempat mati.
Alya dan Arga kembali ke tempat persembunyian, celah sempit di antara bebatuan besar. Reno mengintip dari balik batu, wajahnya pucat.
"Mereka sudah makin dekat," katanya dengan suara pelan. "Aku bisa dengar suara ban mobil dari bawah lembah."
Sera menutup telinganya. "Kenapa mereka terus kejar kita? Kita cuma peneliti. Kita bahkan ga ngerti apa yang mereka cari."
Pak Darun menjawab lirih, "Karena mereka kira kalian tahu tempat penyimpanan artefak itu. Padahal kita bahkan belum lihat bentuknya."
Alya duduk, menahan rasa sakit di kakinya. Debu kering menyatu dengan darah segar. Arga berlutut di depannya, memeriksa luka tanpa meminta izin. Tangan itu cekatan, tapi lembut. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kini mereka tak menyembunyikan perhatian satu sama lain. Situasinya terlalu kacau untuk pura-pura dingin.
"Kamu harus berhenti nekat lari seperti itu," gumam Arga.
Alya memutar bola mata. "Kamu yang lambat."
Bibir Arga terangkat tipis. Sekilas, mereka terlihat seperti orang normal yang sedang bercanda ringan, bukan dua manusia yang dikejar kematian. Reno memperhatikan interaksi itu dengan tatapan half-annoyed seperti orang tua yang muak melihat dua remaja saling jatuh cinta di tengah krisis hidup dan mati.
Menjelang malam, suhu turun tajam. Udara menggigit tulang. Mereka berlima berlindung dalam gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang jatuh samar ke lembah. Suara serangga malam bercampur dengan langkah-langkah samar musuh yang semakin mendekat.
Alya memejamkan mata, mencoba menenangkan napas. Tapi pikiran tentang tiga hari terakhir terus menghantuinya, jeritan, darah, tubuh-tubuh yang tertinggal, dan rasa bersalah yang mencengkram.
Arga duduk tak jauh darinya. Ia menyentuh bahunya, pelan, tidak memaksa. "Tidur sebentar. Aku jaga."
Alya membuka mata. "Kalau aku tidur, kamu kapan istirahat?"
"Kalau kamu mati kecapekan, aku harus lari sendiri. Itu lebih melelahkan."
Alya menatapnya, mencoba membaca apakah ini candaan atau kebenaran pahit. Arga hanya menatap balik dengan mata yang tak lelah, hanya tekad. "Kita keluar sama-sama," katanya pelan.
Untuk pertama kalinya sejak kekacauan itu dimulai, Alya merasa dirinya masih manusia yang layak diselamatkan.
Pagi berikutnya membawa ketegangan baru. Mereka mendengar suara mesin mobil mendekat. Lembah yang sempit memperkuat gema suara itu. Musuh makin dekat.
"Kita ga bisa diam di sini," kata Reno. "Mereka akan temukan kita."
"Lari lagi?" Sera mulai panik. "Aku ga kuat."
"Kita turun ke jurang itu," kata Arga sambil menunjuk celah sempit di dasar lembah. "Ada aliran air kecil di bawah. Kalau kita bisa ikuti itu, kita mungkin bisa keluar ke sisi timur."
"Turunnya saja sudah bunuh diri," sahut Reno.
"Aku lebih pilih itu daripada ditembak di sini," timpal Arga.
Mereka semua setuju. Pilihan buruk tetap lebih baik daripada tidak punya pilihan sama sekali.
Turunan itu curam. Batuan licin. Alya hampir jatuh dua kali, tapi Arga selalu ada satu langkah di belakang, siap menangkapnya. Ketika mereka sampai di dasar, air sungai kecil menyambut, dingin dan jernih.
Reno duduk terengah, wajah menahan sakit. Luka kakinya makin parah.
"Kita ga bisa bawa dia jauh," bisik Sera.
Alya menatap Arga. Arga paham tanpa perlu dijelaskan. Ia mendekati Reno.
"Aku bisa jalan," kata Reno cepat, seolah membacanya. "Tapi kalau mereka sudah dekat, jangan pikirkan aku."
Tidak ada yang menjawab.
Mereka berjalan menyusuri sungai. Arus air kecil itu mengarah ke celah batu yang membentuk lorong sempit. Cahaya di ujungnya tampak seperti pintu keluar.
Lalu terdengar teriakan dari belakang, "Mereka melihat kita!"
Peluru memantul di dinding batu. Sera menjerit. Alya dan Arga menarik Reno, memaksanya berjalan lebih cepat. Pak Darun menangkupkan tangan, berdoa sambil berlari. Suara langkah musuh makin nyaring.
Saat mereka hampir mencapai celah, Reno melepaskan pegangan.
"Sudah!" katanya. "Pergi. Sekarang!"
"Tidak," Alya menolak.
Reno mendorong Arga. "Bawa dia. Kalau kalian berhenti, semua mati."
Arga menarik Alya paksa. "Alya, jangan keras kepala."
Reno berbalik, mengambil posisi bertahan di belakang batu, siap menghadapi musuh seorang diri. Tembakan pertama terdengar. Lalu kedua. Lalu hening.
Alya ingin menoleh, tapi Arga menahan wajahnya agar tetap memandang ke depan. "Jangan lihat."
Mereka masuk ke celah batu sempit dan merayap hingga akhirnya sinar matahari menyambut mereka di sisi timur lembah. Dari kejauhan terlihat jejak permukiman kecil.
"Kita selamat," gumam Pak Darun dengan suara gemetar.
Alya jatuh terduduk, menangis diam-diam. Arga duduk di sampingnya, tidak menyentuhnya, hanya berada cukup dekat agar ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
"Kita selamat," ulang Arga, kali ini lebih pelan. "Dan kita akan terus hidup."
Untuk pertama kalinya dalam tiga hari, Alya percaya itu.