Prolog
Malam itu seharusnya hanya malam biasa.
Namun langit yang gelap tanpa bintang
mengisyaratkan sesuatu yang lebih tua dari waktu sedang bergerak.
Di sebuah ruangan kecil yang diterangi lilin,
seorang manusia—aku—berdiri di tengah lingkaran simbol tua
yang bahkan para leluhur pun telah lupa.
Dengan suara bergetar, aku memanggil sesuatu yang seharusnya tak pernah disebut.
Sesuatu yang tertidur di kedalaman kegelapan paling purba.
Dan ketika mantra terakhir keluar dari mulutku,
aku tahu—terlambat—bahwa tidak semua pintu diciptakan untuk dibuka.
Bab 1 — Sang Kegelapan Terbangun
Pada awalnya hanya suara.
Bergetar. Lama. Seperti tanah yang mengingat luka lama.
Bayangan memanjang, bulan memucat,
dan energi yang tak dapat dijelaskan memenuhi udara.
Entitas itu tidak memiliki wajah.
Tidak memiliki bentuk.
Namun aku bisa merasakannya—
seolah pikiranku bukan lagi milikku.
Ia tidak berkata dengan suara,
tetapi langsung pada nurani:
“Kau memanggilku…
maka kau adalah jalanku.”
Sejak saat itu, aku bukan lagi hidup—
aku hanya berjalan.
Bab 2 — Kehilangan Diri
Hari bergulir tanpa waktu.
Cermin menjadi asing.
Kulitku pucat seperti tulang purnama,
dan bayangan tidak lagi mengikuti cahaya—
tetapi mengikuti aku.
Suara-suara datang dalam tidur.
“Lepaskan dirimu.”
“Tubuh hanyalah wadah.”
Dan perlahan, aku mempercayainya.
Aku bukan lagi manusia sepenuhnya.
Aku mulai menjadi sesuatu lain.
Dunia pun merasakan.
Angin berhenti bergerak,
binatang membisu,
dan manusia mulai bermimpi buruk tanpa sebab.
Dan malam—oh malam—
jatuh seperti kerajaan yang kelelahan.
Bab 3 — Ketika Cahaya Mengingat Jalan
Namun ketika bayangan mulai menguasai,
ketika dunia mulai tunduk tanpa perlawanan,
seseorang datang.
Ia tidak membawa senjata.
Tidak membawa kemarahan.
Ia hanya membawa cahaya—
cahaya lembut seperti pelukan ibu pertama dalam sejarah dunia.
Ia berdiri di hadapanku
seolah ia sudah mengenalku sebelum aku lahir.
“Kau bukan pintu,” katanya pelan.
“Kau hanya tersesat.”
Dan untuk pertama kalinya sejak ritual itu—
aku menangis.
Bab 4 — Pertempuran Tanpa Pedang
Entitas itu menolak.
Bayangan meraung, bumi bergetar,
dan udara dipenuhi ketakutan kuno.
Namun sang pembawa cahaya hanya menutup mata
dan berbisik mantra yang bahkan bintang pun masih ingat:
“Lux aeterna… Recede tenebris…”
Cahaya merayap melalui kegelapan,
bukan menghancurkan—
tetapi mengembalikan.
Entitas itu berteriak—
marah, bukan karena lenyap,
tetapi karena dikembalikan ke tempat semestinya.
Portal tertutup.
Bayangan padam.
Dan dunia kembali bernapas.
Bab 5 — Setelah Gelap Pulang
Hari-hari setelah itu terasa asing
namun indah.
Burung bernyanyi.
Angin kembali bergerak.
Dan bayangan kembali menjadi sekadar bayang.
Aku berjalan di bawah bulan
yang kini tidak lagi menghakimi,
tetapi menemani.
Kadang aku masih bertanya:
“Siapa dia?
Pembawa cahaya itu?”
Namun jawaban dunia selalu pelan
dan penuh misteri:
“Ia datang bukan untuk dikenal—
tetapi ketika dunia membutuhkannya.”
Epilog — Cahaya di Dalam
Aku tidak lagi menjadi pemanggil.
Tidak lagi menjadi pintu.
Tidak lagi menjadi wadah gelap.
Aku kini hanya manusia—
namun dengan pemahaman baru:
Bahwa bahkan kegelapan terdalam
dapat mundur
di hadapan satu cahaya kecil
yang berani bertahan.
Dan kadang…
di saat malam paling sunyi—
aku masih mendengar bisikan kecil:
“Jaga cahayamu.
Dunia suatu saat mungkin membutuhkannya lagi.”