Televisi yang menyala seolah memiliki mata dan menonton kedua anak Adam yang posisinya belum berubah itu. Lampu gantung bertindak sebagai sorot panggung bagi drama yang sedang berlangsung.
Tangan Jeno mulai bergerak, berusaha menyingkirkan tangan sang sepupu yang melingkar di pinggangnya.
“Hmmph! ... hmmphh!” Jeno mencoba berbicara dalam bekapan tangan Jaemin ia berusaha keras membuka mulutnya dan mengigit telapak tangan Jaemin hingga terdengar erangan kesakitan oleh sang empunya tangan dan terlepas.
“Argh, Jeno. Kamu kok nakal, sih sama Nana?!” Jaemin bertanya dengan nada setengah bercanda bercampur panik.
“Lepasin gue, Anjing. Pergi lu dari rumah gue, gue nggak mau lihat lu lagi!” maki Jeno dengan berteriak. Dadanya bergerak naik turun menghirup udara dengan rakus, wajah Jeno memerah di bawah cahaya lampu yang menimpa dirinya.
Tangan Jeno mulai bergetar, dan kali ini getaran itu sangat amat terasa. Bukan, ia bukan hanya takut pada perubahan Jaemin, tetapi juga takut pada hal lain yang ia berusaha tahan selama ini.
Ia berusaha menutupi itu dari semuanya dari ayah dan ibunya, dari keluarganya, termasuk dari seorang Na Jaemin.
Jeno, pemuda itu terdiam sembari memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya sesaat teriakan penuh kesakitan keluar dari mulutnya.
“Argh!” erangan Jeno seakan mampu menelan suara televisi yang bicara. Hingga Jaemin memekik kaget. Matanya membeliak lebar kala mendapati sang sepupu berteriak kesetanan seperti orang kesakitan.
“Jeno ... Sayang, kamu kenapa?” Jaemin berusaha bertanya pada sang sepupu di tengah kepanikan yang menyelimuti dirinya.
“Argh!” teriak Jeno sekali lagi. Rasa sakit menghantam kepalanya tanpa ampun bak ombak yang menghantam sisi kapal yang terombang-ambing di lautan.
Sesuatu dalam diri Jeno meledak. Ia menahan gejolak luar biasa yang berontak dari dalam dirinya.
“Lakuin sekarang Jeno, lakuin apa yang pengen kamu lakuin, jangan ditahan lagi. Jangan pernah biarin Jaemin menekan dan menguasai kamu, kamu nggak ingat apa yang dilakuin dia selama ini?” bisikan-bisikan itu mulai merasuki pikiran Jeno menari-nari di dalam pikirannya.
“Sayang, Nono. Kamu dengar Nana? ... Sayang, kamu kenapa? Jangan ditarik rambut kamu!” Jaemin berusaha melepaskan tangan Jeno yang sedang menarik keras rambutnya sendiri.
“Sakit!” Jeno masih berteriak.
“Apanya yang sakit, bilang sama Nana. Apanya yang sakit, No. Kamu lepas dulu jambakan di rambut kamu, biar nggak tambah sakit,” Jaemin masih berusaha sekuat tenaga melepaskan tangan Jeno dari kepalanya, agar pemuda itu tidak menyakiti dirinya sendiri.
Perlahan-lahan Jeno mulai tenang, tubuhnya mendadak lemas hingga nyaris tumbang dari pangkuan Jaemin. Beruntung tangan Jaemin menahan tubuh sang sepupu dari pangkuannya.
“Jeno!” teriak Jaemin terkejut ketika mendapati Jeno pingsan dalam pangkuannya. Ditepuknya pipi Jeno berulang kali. “Jeno, bangun, Sayang. Kamu kenapa?”
Kepanikan tergambar jelas dari wajah Jaemin, ia mencoba menidurkan Jeno di sofa panjang. Sambil menepuk pipi seputih salju itu supaya Jeno siuman.
Tubuh Jaemin berada di atas tubuh Jeno hanya berjarak beberapa sentimeter bermaksud untuk memberi sang sepupu napas buatan agar cepat sadar dari pingsannya.
Namun, kala jarak semakin dekat. Netra serupa bulan sabit itu terbuka, tetapi tatapan mata yang dingin dan menusuk, yang Jeno tampakkan. Raut wajahnya terlihat dingin dan tidak bersahabat, membuat Jaemin terpaku sekaligus bingung dan bertanya-tanya.
Semuanya terjadi begitu cepat, detik berikutnya, Jaemin seakan jatuh terpental dari sofa saat kaki panjang milik Jeno menendangnya dengan keras.
Punggung Jaemin mencium lantai yang dilapisi karpet dengan keras, hingga sang pemilik mengerang kesakitan.
“Argh!” rasa ngilu menyapa punggung Jaemin, mata Jaemin membeliak raut wajahnya menegang melihat Jeno bangun dan berdiri menjulang di hadapannya dengan tatapan dan raut wajah yang tidak bisa didefinisikan.
Hawa dingin menyelinap masuk tanpa permisi bersama ketegangan yang perlahan menyusup. Tubuh sepupunya membungkuk membunuh jarak antara dia dan dirinya.
Jeno meraih dasi yang melingkar pada leher Na Jaemin dengan kasar. Tubuh Jaemin menegang seketika. Ia tenggelam dalam tanya, sampai tak sadar jika Jeno mengikat erat kedua tangannya yang dijadikan satu dalam simpul dasi.
“Jeno ... Jen, kamu mau apa. Lepasin tangan aku, Jen!” teriak Jaemin yang kesadarannya sudah menyentak dan kembali ke permukaan.
Tangan Jeno kembali terulur jemari lentiknya merayap melingkari leher Jaemin. Jaemin bergerak semakin brutal. Berusaha melepaskan ikatan dasi yang membelenggu pergelangan tangannya.
“Jeno, apa-apaan kamu? Jangan lakuin itu kumohon!” raut wajah ketakutan tergambar jelas pada wajah Jaemin.
“Shut up!” kini Jeno tengah berada di atas tubuh Jaemin dengan jemarinya yang menekan kuat leher sang sepupu.
“Jen ... ohh! Uhuk!” ucapan Jaemin terputus, oksigen disekitarnya seolah terserap tak bersisa oleh tangan Jeno. Hingga pemuda itu berusaha mengais oksigen ditengah cekikan lehernya yang semakin menguat.
“Jen ... ampun ... uhuk! ... lepasin!” Jaemin memohon dengan napas tersengal.
“Lu harus mati, Na Jaemin. Lu harus mati! Ha-ha-ha ....”
Tawa kepuasan bercampur kekejaman milik Jeno melebur dan larut dalam kesunyian petang itu.
***
Sementara itu masih di Vancouver Kanada, Mark lelaki borjuis itu menatap apa yang ia saksikan di sebuah layar monitor dengan mata sedikit terbelalak, tetapi detik berikutnya seringai terlukis di wajahnya.
"Very interesting," gumam Mark dalam kesunyian malam ditimpa oleh cahaya oranye yang menyorot wajahnya.