Permadani tak berujung kembali membentang, sekelompok burung bernyanyi dan menari-nari riang saat hendak pulang menuju sarang.
Di bawah permadani senja itu, roda-roda yang bergulir mencium aspal jalan dengan deru mesin yang terdengar halus, kini berhenti di sebuah rumah.
Brak! Suara pintu mobil yang tertutup memecah keheningan sore. Jaemin melempar pintu mobil itu sedikit keras, rasa lelah seolah masih betah mengekang tubuhnya. Kaki jenjangnya terayun ringan, tapi pasti melangkah masuk ke dalam rumah.
Dilihatnya Jeno tengah terduduk di sofa, mata kecilnya terpaku menatap layar televisi yang suaranya terdengar samar-samar. Di pangkuannya Jeno tengah memeluk mangkuk berisi popcorn, dengan Jjed yang berada di sampingnya.
Langkah Jaemin semakin tegas mengikis jarak menuju sofa, meninggalkan pintu yang masih sedikit terbuka.
Saat mencapai sofa, Jaemin mendudukkan dirinya sambil memangku anjing kecil itu, kemudian merebahkan kepalanya pada pangkuan Jeno tanpa permisi, membuat si empunya pangkuan sedikit memekik.
“Jaemin, apaan sih, lu? Duduk sana! Main rebahan aja, lumpuh lu sampai nggak bisa duduk sendiri?!” marah Jeno, tetapi Jaemin tidak menghiraukannya. Tangan lelaki itu sibuk mengelus sang anjing, merasakan bulu-bulu lembutnya yang menggelitik di bawah telapak tangannya yang kasar.
“Bangun nggak?! Lu berat anj ....”
“Sst! Sebentar aja, No. Aku capek, tadi di kantor kerjaan banyak banget. Makanya aku mau rebahan sebentar sambil main sama Jjed. Pinjam sebentar, ya?” tanya Jaemin dengan kepalanya yang mendongak ke atas—menatap mata Jeno yang terlihat berkilat marah.
“Nggak ada! Rebahan di tempat lain sana! Paha gue bukan bantal hotel,” Jeno menolaknya. Memang siapa Jaemin? Seenaknya saja tidur di pangkuannya tak ingatkah pemuda itu bahwa Jeno amat sangat membencinya?
Paha Jeno bergerak acak, agak sedikit kasar guna mengusir kepala Jaemin agar menyingkir dari pahanya.
Jaemin yang mulai terusik pun merasa geram dengan tingkah Jeno. Lantas ia bangun dan mendudukkan tubuhnya dengan kasar, sampai-sampai anjing kecil itu melompat turun dari tubuh Jaemin.
Semuanya terjadi begitu cepat, tangan Jaemin langsung menarik pinggang Jeno dan mendudukkan Jeno di pangkuannya. Mangkuk berisi popcorn itu terjatuh hingga isinya tumpah mengotori karpet.
“Dasar Bajingan! Lu apa-apaan ... hmmphh!” ucapan Jeno lagi-lagi terputus saat tangan besar Jaemin menutup mulutnya, kakinya yang besar dan berurat seperti mengunci tubuhnya dalam pangkuan, membuat Jeno tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti.
Satu tangan Jaemin digunakan untuk menutup mulut Jeno, satu tangannya lagi ia lingkarkan ke perut Jeno untuk menahan gerakan berontak pria kecil itu.
“Hmmph!” suara Jeno teredam oleh tangan besar Jaemin.
“Diam, No. Aku cuma pengen peluk kamu, Nana kangen peluk Nono. Nono dulu selalu ada buat Nana, selalu jadi pahlawan untuk Nana, dan selalu jadi pelindung untuk Nana. Maka dari itu, sebagai ucapan terima kasih, mulai sekarang izinin Nana buat jadi pelindung Nono, ya?” bisik Jaemin di telinga yang lebih tua. Dagunya ia sandarkan pada bahu sempit milik Jeno.
Tubuh Jeno menegang, dirinya bagai tergulung ombak rasa takut yang menghantam tiba-tiba. Ada apa dengan sepupunya?
Ia berharap sang waktu berlari dengan cepat, menyeretnya menjauh dari Jaemin, sebelum segalanya terlambat.
***
Sementara itu, di belahan dunia yang berbeda. Suasana sunyi seolah berteriak frustasi, lantaran saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, seharusnya ini adalah waktu di mana manusia tengah terlelap nyaman dalam balutan selimutnya.
Akan tetapi, sunyi seolah menyerah berteriak pada lelaki yang memandang sayu ke arah monitor tersebut.
Tatapannya bahkan lebih dingin daripada siulan angin di luar sana. Sebuah pelangi abu-abu pekat turut hadir di wajahnya yang tampan.
Kekehan mulai terdengar samar-samar, “Lu terlalu gegabah Na Jaemin. Ha-ha-ha ....”
“Nikmati dulu waktu mesra-mesraan sama kesayangan gue, Na. Sebelum gue datang dan kasih ke kejutan ke elu. Ha-ha-ha ....”
Sebuah tawa mulai pecah di kesunyian malam. Namun, itu bukanlah tawa bahagia, melainkan tawa gelap yang larut bersama sunyi.