Mentari berdiri dengan sangat gagah seolah ingin menunjukkan bahwa ia sang penguasa siang. Sengatannya terasa membakar kulit hingga jiwa Jaemin. Lelaki itu kini sedang berdiri di depan mejanya yang ruangannya hanya ditutupi oleh kaca tembus pandang.
Mata Jaemin terpaku pada layar monitor, tetapi pikirannya tertahan pada satu objek. “Jeno” ya, bayangan Jeno dengan tidak sopannya menari-nari di dalam pikirannya, seolah mengejek jika Jaemin sudah ketergantungan akan dirinya.
“Jeno, ah, sialan. Kenapa kamu ceroboh buat celah di hidupmu. Sampai-sampai orang lain, masuk!” monolog Jaemin yang merasa geram.
Ia menarik dan melepaskan dasinya yang terasa mencekik leher bersamaan dengan bayang-bayang Mark yang mentertawakan dirinya sembari mencekik lehernya perlahan.
Informasi dari orang kepercayaannya mampu membakar hati Jaemin. Lelaki borjuis bernama Mark Lee. Pria berkebangsaan Kanada-Korea inilah yang dengan lancangnya mengirim buket bunga mawar merah untuk Jeno-nya. Bahkan menghadiahkan seekor Anjing Samoyed juga.
Ia membanting dasi kerjanya dengan asal. Ribuan jarum pening menari di kepalanya tanpa ampun.
“Haruskah gue bunuh anjingnya?” monolog Jaemin seringai tak biasa terbit di wajah manis Jaemin. Namun, di detik berikutnya ia menggelengkan kepalanya. “Nggak gue, nggak bisa gegabah gitu aja. Jeno kaya sayang sama anjing itu, dia pasti bakalan sedih, kalau anaknya tiba-tiba meregang nyawa.”
Detak jarum jam tertawa nyaring, mentertawakan sang empunya ruangan yang isi pikirannya seperti benang kusut.
Suara klakson yang bersahut-sahutan di jalanan menjadi sebuah soundtrack seakan ingin menegaskan betapa riuh dan kacaunya pikiran Jaemin karena sikap Jeno, selaras dengan riuh dan kacaunya kondisi lalu lintas Seoul.
Suara air conditioner yang menjadi pengiring tirai terikat yang berdansa seolah menjadi media meditasi untuk Jaemin. Sebuah bola lampu seakan muncul perlahan ke permukaan dari otak Jaemin.
Sebuah pelangi abu-abu terbit di wajah meneduhkan Jaemin.
“Gue tahu caranya,” monolognya dalam keheningan kantor.
***
Sementara itu, di sebuah taman belakang rumah, Jeno sedang bermain dengan anak anjing miliknya sembari membawa buku gambar A3 miliknya dan sebuah pena khusus.
Di bawah sofa, Anjing Samoyed itu bermain bola tepat di samping kaki Jeno dengan tenang. Sementara Jeno tengah tenggelam dalam dunianya, penanya menari-nari mengukir sebuah garis hingga tercipta satu objek yang hidup.
Pikiran Jeno berkelana mengingat kejadian aneh selama dua hari belakangan ini.
“Siapa lu sebenarnya ... kenapa lancang banget usik hari-hari gue?” tanyanya pada sang angin berembus. Meski nada suaranya terdengar datar, tetapi seulas senyum terbit di wajah imutnya tanpa Jeno sadari.
“Pretty? That sounds crazy, I don't even feel that I'm pretty. I'm a man!” gerutu Jeno hingga labium merah ceri miliknya maju beberapa senti.
Sibuk dengan gerutuannya ponsel Jeno memekik dengan nyaring, cahayanya berkedip-kedip laksana bintang di waktu malam.
Sebuah notifikasi satu pesan masuk dari nomor yang sama, dari pengirim tadi pagi.
+1 778 xxxxxxx • now
Yes you are. You are so gorgeous and make me fall in love with you, My little Samoyed 😉😘
Prak! Ponsel pintar berlogo buah favoritnya selain strawberry itu terjatuh dari genggaman tangan Jeno. Getaran halus merayapi tangannya.
“Who are you really? Please don't scare me,” nada suara Jeno terdengar bergetar.
Di antara embusan angin suara dedaunan siang itu seseorang sedang menatapnya dari kejauhan.