Rembulan kembali melukis malam, tanpa bintang-bintang yang menemani malam ini, seolah sang dewi malam ingin mempertegas bahwa ia sang penguasa malam. Sesekali suara jangkrik berbicara justru seolah menambah rasa kesunyian malam.
Namun, malam yang cerah itu tidak selaras dengan perasaan Jeno. Bagaikan sebuah puzzle acak yang belum menemukan potongannya, Jeno merasa perasaannya semakin rumit untuk ditelaah. Pikiran kejadian tadi pagi seolah membayangi dirinya.
Jaemin ... ya, dia tahu bahwa Jaemin adalah sepupunya, sepupu yang bahkan sangat dibencinya, lantaran karena keberadaan Jaemin-lah, dunia seolah memalingkan wajah dari dirinya.
Akan tetapi, hari ini. Jeno merasa ini bukan Jaemin yang seperti biasanya. Yang selalu menatap Jeno dengan rasa bersalahnya. Jaemin yang tadi pagi terasa berbeda, seperti bukan seorang sepupu yang Jeno kenal.
“Jaemin kenapa, ya? Kok tadi pagi dia begitu, kemarin aja dia cengkeram tangan gue keras banget anjir! Sejak kapan dia punya tenaga lebih?” monolognya dalam kesendirian.
Cahaya oranye lampu studio seolah menghujani dirinya di depannya tampak sebuah kanvas kertas yang berisi lukisan sebuah bunga mawar merah yang belum jadi.
Srak ... srak ... srak ... suara sebuah pensil yang menari-nari melukis sebuah bayangan dari sebuah objek yang ia ukir di kertas besar miliknya.
Tangan ramping Jeno seolah memasukkan dan mengirimkan nyawa pada gambar yang dilukisnya.
Matanya menajam bak seekor elang yang tengah memburu mangsa. Gurat keseriusan terlukis di pahatan wajahnya. Di tengah pikiran yang berkecamuk, serta gelombang perasaan yang tidak menentu. Jeno tenggelam dalam dunianya yang kembali dihiasi kebimbangan.
Masih di malam yang sama, Jaemin memandang kosong sebuah televisi yang menyala. Di temani secangkir americano, cahaya dari layar televisi menyoroti wajah Jaemin dalam kegelapan.
“Gue kelewatan nggak, sih?” monolognya. Pikirannya berkelana mundur ke kejadian tadi pagi di mana ia mencium Jeno dengan hasrat yang begitu menyala, “sial! Seharusnya gue nggak lakuin hal kaya gitu. Gimanapun dia saudara gue, tapi semua ini karena orang sialan itu ... tunggu aja, Mark. Gue nggak akan biarin saudara kesayangan gue jatuh ke tangan lu!”
Percikan kekesalan muncul dalam hati Jaemin bersamaan dengan tangannya yang mengepal erat dan wajahnya yang terlihat mengeras, seakan ingin menghancurkan sesuatu.
***
Cicitan burung yang terdengar nyaring dan ceria di bawah hangatnya sinar mentari, di pagi yang hangat itu sebuah tungku telah memanas, hingga sebuah strawberry pancake telah selesai dan terhidang di atas meja.
Suara sol sandal yang beradu cepat dengan lantai terdengar menggema, menyapa rungu Jaemin.
“Good morning, Jeno. Let's start the day with a strawberry pancake with maple syrup and a cup of tea, shall we?” tawar Jaemin begitu ringan lengkap dengan senyum teduhnya. Seolah kejadian kemarin bukanlah apa-apa baginya.
Jeno sendiri menoleh, memandang Jaemin. Bayangan kejadian kemarin masih menari-nari di pikirannya.
“Eum, nanti aja deh, Jaem. Gue masih kenyang. Bentar gue kasih makan anak gue dulu,” tolakan halus Jeno yang Jaemin terima. Entah mengapa pemuda serupa kelinci itu tidak suka dengan penolakan Jeno, tetapi ia pintar menyembunyikannya di balik ekspresi teduhnya.
“Nono, perhatian ke hewan itu boleh, tapi kesehatan diri sendiri lebih penting. Ayo sarapan dulu, kamu itu punya maag, Nono. Dan aku nggak mau maag kamu kambuh karena terlambat sarapan, itu nggak baik,” tangan Jaemin terangkat hendak mengelus rambut kehitaman milik Jeno, tetapi Jeno dengan cepat menghindar.
Refleks Jeno yang begitu cepat, sontak membuat Jaemin terkejut, kekehan canggung keluar dari bibirnya. “Ah, maaf kalau kamu nggak nyaman,” katanya.
Samar-samar tangan Jeno bergetar, entah mengapa alarm di otaknya mengisyaratkan ia harus berhati-hati dengan Jaemin sekarang.
“Kalau gitu, kita sarapan dulu, yuk!” ajak Jaemin. Jeno pun menuruti tanpa banyak bicara. Akan tetapi, ia duduk di kursi yang jaraknya jauh dari Jaemin.
Lagi-lagi Jaemin merasa terkejut, tetapi ia berusaha mengendalikan ekspresinya dengan baik. Jaemin merasa Jeno menghindari dirinya dan entah mengapa hal itu membuat Jaemin merasa tidak nyaman.
Mereka berdua makan pancake dengan tenang, Jeno dengan strawberry pancake-nya dan Jaemin French toast miliknya. Pisau dan garpu perlahan mengikis pancake milik Jeno. Hingga pancake di piringnya tandas.
“Gue selesai,” ucap Jeno meninggalkan meja makan dengan membawa piringnya ke wastafel dan mencucinya, meninggalkan ponselnya yang tergeletak di atas meja makan.
Saat Jeno tengah mencuci piringnya, layar ponselnya menyala. Dengan hati-hati Jaemin berjalan tanpa suara dan mencuri pandang ke arah ponsel Jeno, terlihat satu notifikasi chat dari nomor tak dikenal tertera di sana.
+1 778 xxxxxxx • now
Good morning, Pretty. How’s your day? I hope you have a good day. I got your number, Sweetheart 😆
Have A nice day. Miss you and see you again.
Wajah Jaemin memerah menahan gejolak amarah. Dan pagi itu, sekali lagi dunia menjadi saksi bisu, bahwa di balik hangatnya mentari, dua hati justru membeku di bawah cahaya yang sama.