Setelah pertemuan canggung di kafe minggu lalu, Alea tidak menyangka bahwa segala sesuatu bisa berubah secepat ini. Bukan berubah besar—hanya hal-hal kecil, tapi justru di situlah kehangatan tinggal.
Hari itu, Alea duduk di halte dekat kantornya, menunggu bus pulang. Langit mendung, seperti biasanya. Musim hujan memang belum selesai. Ia memegang payung biru pastel yang Raka berikan—entah kenapa, benda kecil itu membuat dadanya terasa hangat setiap kali melihatnya.
Bus belum datang. Dan di tengah kesunyian halte, suara langkah cepat mendekat.
“Alea!”
Alea menoleh.
Raka berlari kecil sambil mengatur napas, wajahnya sedikit merah karena terburu-buru.
“Kamu… ngapain di sini?” Alea bertanya.
“Aku… lewat,” Raka berbohong sambil masih ngos-ngosan.
Bohongnya terlihat jelas.
Alea hanya mengangkat alis sambil menahan senyum.
“Lewat?” Alea memiringkan kepala.
Raka menyerah. “Oke, aku memang nggak sengaja lewat… tapi sengaja nunggu kamu pulang.”
Alea tertawa kecil. “Itu namanya bukan nggak sengaja.”
“Aku tahu…” Raka menggaruk kepalanya. “Tapi aku cuma pengen pastikan kamu pulang aman. Aku nggak mau kamu berdiri di halte sendirian.”
Perhatian sederhana itu membuat dada Alea terasa hangat.
Ia lupa kapan terakhir kali ada yang memperhatikannya seperti itu.
Sebelum Alea sempat membalas, rintik hujan mulai turun.
Kali ini Alea siap. Ia langsung membuka payung biru pastel.
Namun Raka tiba-tiba bersandar sedikit ke arahnya, memperhatikan payung itu dengan ekspresi aneh.
“Hm? Kenapa?” tanya Alea.
Raka menunduk sedikit. “Kamu beneran pakai… payung yang aku kasih?”
Alea menghela napas sambil tersenyum kecil. “Tentunya. Masa aku simpan doang? Lagian lucu bentuknya.”
“Aku pikir…” Raka menghentikan kalimatnya, tampak malu.
“Aku pikir kamu cuma nerima biar aku nggak merasa bersalah.”
Alea menatapnya lembut.
“Raka, kalau aku menerimanya cuma karena kasihan, aku nggak akan bawa setiap hari.”
Raka terdiam.
Lalu senyum tipis muncul di wajahnya—senyum lega, senyum hangat, yang dulu sangat ia rindukan.
Hujan turun lebih deras, membuat suara gemericik memenuhi udara.
Alea menoleh ke arah jalan. “Kayaknya bus masih lama.”
Raka mengangguk. “Kalau gitu… boleh aku antar kamu pulang?”
Alea ragu sejenak.
Tapi kemudian ia sadar: pelan-pelan bukan berarti menolak semua hal baik.
“Boleh,” jawabnya.
Mereka berjalan berdampingan di bawah payung Alea—yang ternyata sedikit lebih kecil dari payung hitam Raka. Akibatnya, bahu Raka terkena hujan sedikit.
“Kamu kehujanan,” kata Alea cepat.
“Gapapa,” jawab Raka santai. “Yang penting kamu nggak.”
Alea menahan senyum, tapi meraih payung itu dan menariknya sedikit ke arah Raka agar ia ikut terlindungi.
“Aku nggak mau kamu sakit,” ucap Alea.
Gerakan sederhana itu—sangat sederhana—justru membuat napas Raka tertahan.
Ia menatap Alea, lembut… lebih lembut dari hujan sore itu.
“Kamu… masih perhatian gitu,” ucap Raka lirih.
Alea pura-pura melihat ke depan. “Ya masa aku biarin kamu kehujanan?”
“Dulu kamu sering marah kalau aku maksa jalan di hujan,” kata Raka.
“Tapi sekarang… kamu narik payungnya ke arah aku. Ini kemajuan besar, loh.”
Alea mencubit lengannya pelan. “Jangan kepedean.”
“Tapi bener, Alea…”
Raka berhenti sebentar, membuat Alea ikut berhenti.
“Ini… momen pertama yang nggak canggung di antara kita.”
Alea terdiam.
Hatinya berdebar, tapi hangat.
Ia menatap Raka. “Iya… aku juga ngerasa.”
Raka mengambil menarik perlahan, lalu tersenyum—senyum yang bukan rindu lagi, tapi syukur.
“Satu langkah kecil lagi,” katanya.
Alea mengangguk.
“Satu langkah kecil lagi.”
Mereka melanjutkan perjalanan, masih di bawah payung yang sama.
Masih dalam jarak yang hati-hati.
Masih dengan langkah yang pelan.
Tapi kini… mereka sudah tidak merasa asing.
Dan mungkin, hanya mungkin—
hujan tidak lagi sekadar tentang masa lalu mereka…
tapi tentang masa depan yang mulai terbuka sedikit demi sedikit.