Hujan baru saja reda ketika Damar menutup warung kecil tempat ia bekerja. Tangannya kasar, tubuhnya lelah, tapi langkahnya tetap mantap. Setiap hari ia bekerja dari pagi hingga malam—bukan untuk dirinya, melainkan untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini: ibunya.
Ibu Damar sudah sakit bertahun-tahun. Bukan sakit yang mengharuskan rumah sakit setiap hari, tapi cukup membuatnya sulit bekerja. Sejak itu, Damar mengambil alih semua—tagihan rumah, obat-obatan, sampai kebutuhan sehari-hari.
Tidak ada pilihan lain.
Tidak ada alasan untuk berhenti.
Karena baginya, senyum ibu adalah tujuan.
Damar pernah bermimpi menjadi fotografer profesional. Ia pernah memegang kamera dengan penuh semangat, memotret langit, daun, dan manusia—seolah dunia ada di ujung lensanya. Tapi hidup tidak selalu memberi waktu untuk mengejar mimpi. Ada masa ketika kenyataan memaksa seseorang menunda semua, dan saat itu tiba untuknya.
Setiap malam, sepulang kerja, ia masih membantu ibu makan, memijat punggungnya, dan memastikan ibu tidur dengan nyaman.
“Dam… kamu capek sekali ya?” tanya ibunya suatu malam, menatap wajah anaknya yang pucat.
Damar tersenyum kecil.
“Capek, Bu. Tapi bukan capek yang bikin aku mau berhenti.”
Ibu menggenggam tangan putranya, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Damar telah mengorbankan banyak hal. Tapi ia juga tahu bahwa Damar tidak pernah mengeluh. Tidak sekali pun.
Waktu berlalu. Suatu hari, seorang pelanggan yang sering membeli di warung melihat foto-foto hasil jepretan Damar yang disimpan di ponselnya. Ia terkejut melihat hasilnya begitu indah.
“Kamu yang ambil ini?” tanya lelaki itu.
“Iya, Pak… iseng-iseng aja.”
“Iseng tapi hasilnya begini? Kamu berbakat. Mau kerja di studio saya?”
Damar tidak percaya. Dunia seakan memberi kesempatan kedua setelah bertahun-tahun bertahan dalam gelap.
Ia mulai bekerja di studio itu. Gajinya lebih baik, jam kerjanya lebih manusiawi, dan yang paling penting—ia bisa kembali mengejar mimpinya tanpa meninggalkan ibunya.
Bulan demi bulan berlalu, hidup mereka pelan-pelan berubah. Rumah yang dulu bocor kini diperbaiki. Obat ibu selalu tersedia. Damar bahkan bisa membelikan kursi pijat kecil untuk ibunya.
Suatu sore, Damar pulang membawa bingkisan.
“Bu…” panggilnya.
Ibu menoleh, tersenyum lembut.
“Ada apa, Nak?”
Damar membuka bingkisan itu: sebuah kamera baru, hasil tabungan berbulan-bulan.
“Aku berhasil, Bu,” ucapnya pelan. “Aku kerja keras bukan buat kaya… tapi supaya Ibu bisa bangga punya anak seperti aku.”
Ibu menangis, memeluknya erat.
Kalimat sederhana keluar dari bibirnya:
“Kamu sudah membuat Ibu bangga sejak lama, Dam… bahkan sebelum kamu tahu caranya bekerja.”
Di dalam pelukan itu, Damar sadar satu hal:
Kerja kerasnya bukan tentang menjadi hebat di mata dunia, tapi tentang membuat satu perempuan yang melahirkannya merasa aman dan dicintai.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Damar merasa dirinya benar-benar pulang.
Bukan dengan tangan kosong,
tapi dengan kemenangan yang ia persembahkan hanya untuk ibu.