Acha selalu percaya bahwa cinta yang baik tidak pernah datang dengan mudah. Ia telah melewati malam-malam penuh tangis, janji yang patah, dan hari-hari ketika ia merasa seluruh dunia sedang menguji kesabarannya. Tapi tidak sekalipun ia membayangkan bahwa cinta sejatinya justru akan datang dari seseorang yang hampir ia lepaskan—Vero.
Mereka bertemu pertama kali di sebuah halte tua, saat hujan turun tanpa ampun. Acha lupa membawa payung, sementara Vero datang dengan payung kecil yang bahkan tidak cukup untuk dua orang. Meski begitu, Vero tetap menawarkannya tanpa ragu.
“Kalau kita sama-sama kehujanan, ya setidaknya kita sakitnya bareng,” kata Vero sambil tersenyum tipis.
Sejak momen sederhana itu, pertemuan mereka berubah menjadi percakapan panjang, dan percakapan panjang berubah menjadi kenyamanan yang tumbuh perlahan. Tapi cinta mereka tidak berjalan mulus.
Vero pernah hampir menyerah karena masalah keluarga yang memaksanya pergi jauh. Acha pernah merasa tidak cukup baik, tidak cukup kuat untuk bertahan di sisi seseorang yang sedang berjuang melawan hidup. Ada hari-hari ketika mereka saling diam lebih lama daripada berbicara. Ada waktu ketika jarak dan salah paham membuat mereka merasa asing.
Namun setiap kali mereka hampir menyerah, selalu ada sesuatu yang menarik mereka kembali: kerinduan yang terlalu dalam untuk diabaikan.
Suatu sore, setelah sekian lama berjauhan, mereka bertemu lagi di halte tua tempat semuanya dimulai. Hujan turun seperti sengaja memanggil kenangan lama.
Vero menatap Acha, suaranya rendah tapi jujur.
“Aku udah pergi sejauh ini, Cha… tapi ujungnya tetap kamu. Aku capek nyari alasan buat ninggalin.”
Acha menahan tangis yang hampir pecah.
“Aku juga capek, Ver… tapi aku lebih takut kehilangan kamu.”
Vero mendekat, menggenggam tangan Acha yang dingin, tapi terasa seperti rumah.
“Kita udah jatuh berkali-kali,” bisiknya. “Tapi… mau nggak kita berhenti lari dan mulai jalan bareng?”
Acha mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hati keduanya terasa penuh.
Hujan masih turun, tapi rasanya tak lagi menyedihkan. Payung kecil itu kembali mereka buka—masih kekecilan, masih konyol, tapi cukup untuk membuat mereka berjalan berdampingan menuju masa depan yang mereka pilih.
Cinta bukan tentang siapa yang paling kuat bertahan.
Cinta adalah siapa yang tetap kembali—meski dunia berusaha memisahkan.
Dan hari itu, di bawah payung kecil dan langit yang basah, cinta Vero dan Acha akhirnya pulang.
Bahagia. Sepenuhnya.