.”
Bab 1 – Gadis Berbaju Putih di Tebing
Angin sore berhembus lembut ketika Aeryn tiba di tebing tempat ia dulu sering menyendiri. Pemandangan itu sama seperti dalam ingatannya—hamparan lembah hijau, langit jingga, dan suara serangga yang bercampur dengan aroma tanah basah. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Seseorang berdiri di sana.
Seorang gadis mengenakan gaun putih sederhana, rambut hitamnya terurai, sebagian tertiup angin. Dari belakang, siluetnya tampak begitu damai… tapi Aeryn tidak bisa salah. Aura itu, cara gadis itu berdiri, bahkan caranya memandang cakrawala—semuanya terasa akrab.
Terasa menyakitkan.
Aeryn menelan ludah. Tidak mungkin… itu tidak mungkin dia.
Tanpa sadar ia melangkah maju.
“Permisi,” katanya pelan.
Gadis itu menoleh perlahan. Mata itu—coklat lembut, penuh rasa hangat—menatap tepat ke arah Aeryn. Seketika napasnya tercekat.
Elira…?
Namun wajah gadis itu sedikit berbeda. Lebih muda. Lebih polos.
Bukan Elira dari kehidupan lamanya.
“Ya?” Gadis itu tersenyum ramah. “Apa kau butuh sesuatu?”
Suara itu pun serupa, hanya lebih ringan.
Aeryn menggeleng cepat. “Tidak… hanya terkejut. Aku kira tebing ini sudah jarang dikunjungi.”
Gadis itu tertawa pelan. “Aku baru pindah ke desa minggu lalu. Tempat ini… terasa menenangkan.” Ia menatap lembah sekali lagi. “Rasanya seperti pernah ke sini, padahal aku yakin belum.”
Ucapan itu menusuk dada Aeryn.
Jadi kau juga punya sisa-sisa kehidupan dulu? Atau hanya kebetulan?
Aeryn tidak boleh gegabah. Ia tidak boleh mengira gadis ini adalah Elira terlahir kembali. Reinkarnasi tidak bekerja sesederhana itu.
Meski… jantungnya berkata lain.
“Namaku Lira,” ujar gadis itu sambil menunduk sedikit. “Siapa namamu?”
Aeryn terdiam sepersekian detik. “Aeryn.”
“Nama yang indah,” balas Lira.
Aeryn mendadak tidak tahu harus merespon apa. Ia mengalihkan pandangan ke lembah. “Kau sering ke sini sendirian?”
“Belum. Ini pertama kalinya,” jawab Lira. “Tapi entah kenapa, tempat ini membuatku… tenang. Seperti rumah.”
Sekali lagi, dada Aeryn seperti dipukul.
Itu kata-kata yang selalu Elira ucapkan. Tepat di tempat ini. Tepat seperti itu.
Aeryn menahan napas, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Ia tidak boleh terburu-buru.
“Aeryn,” panggil Lira tiba-tiba.
“Ya?”
“Aku… bolehkah kita berteman?”
Pertanyaan sederhana itu terasa seperti gemuruh yang mengguncang seluruh dunianya. Dalam kehidupan sebelumnya, ia terlambat memahami perasaannya. Terlambat mengungkapkannya. Terlambat melindungi Elira.
Kali ini, ia diberi kesempatan.
Ia menatap Lira—mata coklat itu, senyum hangat itu, dan cahaya sore yang memantul lembut dari wajahnya.
Aeryn mengangguk pelan. “Tentu. Kita teman.”
Lira tersenyum lega. “Bagus! Mulai sekarang, aku akan sering ke tebing ini. Jadi… sampai besok, Aeryn.”
Saat gadis itu berjalan menjauh, gaun putihnya berkibar mengikuti angin lembut.
Aeryn berdiri mematung, dadanya sesak.
Dalam dirinya, dua perasaan saling bertarung—harapan dan takut kehilangan lagi.
“Lira…” bisiknya pada angin. “Siapapun kau sebenarnya… kali ini, aku tidak akan membiarkan takdir merenggutmu.”
Bab 2 – Jejak Masa Lalu di Mata Lira
Aeryn sulit tidur malam itu. Kata-kata Lira berputar di kepalanya… “Tempat ini terasa seperti rumah.” Terlalu mirip. Terlalu kebetulan. Terlalu menyakitkan. Keesokan harinya, ia kembali ke tebing. Lira sudah lebih dulu datang. “Aeryn!” panggilnya sambil melambai dengan senyum yang seperti sinar matahari. “Aku menunggu.” Aeryn mendekat. “Kau datang pagi-pagi sekali.” Lira mengangguk. “Aku… bermimpi aneh. Ada suara yang bilang aku harus datang ke sini. Seolah-olah seseorang menunggu.” Aeryn terdiam. Apa ini… ingatan reinkarnasi? Ia menahan gejolak di dadanya. “Apa kau ingat sesuatu?” tanya Aeryn pelan. Lira menunduk, mengusap lengan. “Tidak jelas. Hanya perasaan… aku pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti.” Aeryn membeku. “Orang itu… meninggal karena aku tidak bisa menolongnya,” lanjut Lira dengan suara gemetar. Aeryn mengepalkan tangan. Ia ingin berkata bahwa ia mereinkarnasi. Bahwa dialah yang mati. Tapi belum saatnya. “Kalau begitu…” kata Aeryn lembut, “aku akan memastikan kau tidak kehilangan siapapun lagi.” Lira menatapnya, matanya berkaca. “Terima kasih, Aeryn.”
---
Bab 3 – Pemuda Asing Bernama Kael
Minggu berikutnya, seorang pemuda berpakaian hitam muncul di desa. Ketampanannya mencolok, dan tatapannya tajam. Namanya Kael. Saat Aeryn melihatnya, tubuhnya merinding. Aura itu dikenalinya—pembunuh dari kehidupan sebelumnya. Kael menatap Aeryn seolah juga mengenalinya. “Kita pernah bertemu… bukan?” Aeryn menahan diri agar tidak menyerangnya. “Tidak.” Kael tersenyum tipis. “Kalau begitu, mungkin kita akan segera.” Kata-kata itu seperti ancaman. Namun yang membuat Aeryn makin gelisah adalah kenyataan bahwa Kael tampaknya tertarik pada Lira. Ia menolong Lira mengambil keranjang, berjalan bersamanya, dan bicara seolah mereka sudah lama kenal. Aeryn menggigit bibir. Tidak. Bukan kali ini. Kau tidak akan menyentuhnya lagi.
---
Bab 4 – Runtuhnya Ingatan yang Terkubur
Malam itu, Lira pingsan tiba-tiba di depan rumahnya. Aeryn membawanya ke dalam, mencoba membangunkannya. Lira menggeliat, wajahnya pucat. “Aeryn…” bisiknya. “Aku melihat… api. Darah. Dan seseorang… seseorang yang mati di depanku.” Aeryn merasakan dadanya ditusuk. “Lira, itu hanya mimpi buruk.” Lira menggeleng keras. “Tidak. Itu… kau.” Aeryn terhenyak. “Aku melihatmu mati,” ucap Lira, suara lirih dan pecah. “Dan aku tidak bisa menolong… walaupun aku memanggil namamu.” Aeryn menunduk, meraih tangan Lira yang gemetar. “Kau tidak salah. Itu bukan salahmu.” Lira mulai menangis. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi…” Kata-katanya menghancurkan pertahanan Aeryn. Tanpa sadar, ia memeluk Lira erat—hangat, rapuh, dan penuh rasa takut. “Aku tidak akan pergi,” bisik Aeryn. “Kali ini, aku akan hidup. Untukmu.”
---
Bab 5 – Rantai Takdir Mulai Retak
Kael memerhatikan mereka dari kejauhan. Tatapannya gelap. “Jadi… ingatan gadis itu mulai kembali,” gumamnya. Ia membuka kalung hitam dari pakaiannya—artefak yang berhubungan dengan kehidupan sebelumnya. “Kalau begitu, kita percepat saja permainan ini, Aeryn.” Malam itu, desa merasakan hawa dingin aneh. Hewan-hewan gelisah. Angin berbisik seperti membawa kabar buruk. Takdir mulai bergerak sekali lagi.
---
Bab 6 – Pengakuan di Bawah Hujan
Hari berikutnya hujan turun sangat deras. Aeryn mencari Lira di seluruh desa, tapi tidak menemukannya. Akhirnya ia menemukannya di tebing, berdiri sendirian di bawah hujan. “Lira! Kau ngapain di sini? Kau bisa sakit!” Lira menatapnya dengan mata merah. “Aeryn… apa kau… membenciku?” Aeryn membeku. “Kenapa kau berpikir begitu?” Lira menggigit bibir. “Karena aku melihat ingatan itu. Karena aku merasa… aku menyebabkan kematianmu dulu.” Aeryn meraih bahunya. “Lira, lihat aku.” Lira menatap, hujan membasahi wajahnya. “Tidak ada hal seperti itu,” kata Aeryn tegas. “Kau tidak membunuhku. Kau adalah satu-satunya cahaya yang aku miliki.” Lira terisak. “Tapi aku tidak ingin mengulang semuanya…” Aeryn menariknya ke dalam pelukan, erat, hangat meski badai menggila. “Aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik Aeryn. “Dulu… aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Tapi sekarang tidak.” Lira terdiam. “Aku… mencintaimu, Lira.” Jantung gadis itu berhenti sejenak. Aeryn melanjutkan, suaranya rendah dan jujur, “Dalam hidupku sebelumnya, dan dalam hidupku sekarang.” Lira menutup mata, air mata bercampur hujan. “Aeryn… aku juga… aku juga mencintaimu.” Dua hati yang terpisah oleh kematian kini kembali bersatu. Namun takdir belum selesai menguji mereka.
---
Bab 7 – Kael Menyerang
Gelegar keras mengguncang tebing. Kael muncul di bawah badai, jubahnya berkibar. “Akhirnya kalian bertemu kembali… romantis sekali,” katanya dingin. Aeryn berdiri di depan Lira. “Kael. Apa yang kau inginkan?” Kael tersenyum miring. “Yang sama seperti dulu. Kematianmu.” Aeryn menarik Lira ke belakang. “Kau tidak akan menyentuhnya. Tidak lagi.” Kael mengangkat tangan. Energi hitam berputar di telapak tangannya. Dalam sekejap, ia menyerang. Aeryn mengaktifkan kekuatan reinkarnasinya—fragmen kekuatan yang pernah ia miliki. Tebing itu gempa saat dua kekuatan beradu. Lira berteriak. “Aeryn!!”
---
Bab 8 – Pengorbanan yang Tak Terelakkan
Kael jauh lebih kuat dari yang Aeryn perkirakan. Serangan demi serangan membuat tanah retak. Aeryn terhuyung, darah mengalir dari pelipis. Kael tersenyum. “Lemah seperti biasa.” Saat Kael hendak menyerang Lira, Aeryn berlari dan menahan pukulan itu dengan tubuhnya. “AERYN!!” jerit Lira. Tubuh Aeryn terpental keras, menghantam batu. Kael mendekat. “Kau selalu memilih mati untuknya. Tidak bosan?” Lira berlutut di sisi Aeryn, menangis. “Jangan pergi! Jangan mati lagi!” Aeryn mengangkat tangan, menyentuh wajah Lira. “Aku… masih di sini…” Lira memegang tangannya erat. “Tolong… jangan tinggalkan aku lagi.” Aeryn memaksa berdiri. “Aku berjanji… aku hidup untukmu.” Dengan sisa tenaga, ia menggabungkan kekuatan reinkarnasinya dengan emosi yang mengikatnya pada Lira. Cahaya putih membungkus tubuh Aeryn. Kael melangkah mundur. “Apa—?”
---
Bab 9 – Akhir Takdir dan Awal Baru
Ledakan cahaya memenuhi tebing. Kael berteriak saat energi itu menghancurkan kekuatan gelapnya. Saat cahaya mereda, Kael terjatuh, tubuhnya retak seperti kaca. “Ini… tidak mungkin…” Aeryn berdiri tegak, memeluk Lira dari belakang. “Kali ini, aku tidak sendirian.” Kael hancur menjadi serpihan cahaya, menghilang selamanya. Hujan mereda. Matahari sore muncul kembali. Lira menatap Aeryn, wajahnya penuh kelegaan dan cinta. “Kau masih hidup…” Aeryn tersenyum lemah. “Aku bilang apa? Aku tetap di sini.” Lira memeluknya erat. “Terima kasih… karena kembali kepadaku.” Aeryn membalas pelukan itu, memejamkan mata. “Terima kasih… karena menunggu.” Dua jiwa yang terpisah oleh kematian akhirnya menyatu kembali—tanpa takdir yang menghalangi. Dan untuk pertama kalinya dalam dua kehidupan… mereka meraih masa depan yang seharusnya mereka miliki.
Tamat — Ending Bahagia ✨