Bab 5 – Ketika Dua Dunia Bertabrakan
Hutan bulan bergetar seakan hidup. Tanah bergelombang, dedaunan beterbangan, dan cahaya putih meledak dari arah Kuil Bulan. Suara retakan sihir terdengar seperti gemuruh petir yang pecah di langit.
Namun Aurelia tidak berhenti berlari.
Kakinya terluka, tubuhnya basah oleh embun dan air laut yang masih menetes dari rambutnya. Tapi matanya yang biru memancarkan tekad yang lebih kuat daripada rasa takut mana pun.
“Lucius… bertahanlah… aku datang…”
Gelombang sihir bulan menghantam tubuh kecilnya, membuatnya terhuyung. Sihir itu kuat—sangat kuat—mampu membuat siren dewasa pun gentar. Namun Aurelia menggigit bibir, memaksa dirinya maju melawan tekanan energi itu.
Setiap langkah terasa seperti mendorong batu berat.
Tapi ia tetap maju.
Di Dalam Kuil – Lucius Hilang Kendali
Di pusat halaman kuil, Lucius berdiri dengan tubuh bergetar hebat. Cahaya bulan membentuk pusaran besar di sekitar tubuhnya, mencambuk udara seperti badai liar.
Matanya berubah pucat, nyaris putih.
Itu bukan tanda kekuatan—itu tanda bahwa ia mulai terseret oleh emosinya sendiri.
“Berhenti… aku bilang berhenti!” teriak Lucius dengan suara retak, namun sihirnya justru semakin liar.
Batu-batu lantai kuil melayang ke udara. Pilar-pilar berderak, hampir runtuh.
Beberapa penjaga Demon Bulan mencoba mendekat, namun terpental oleh gelombang energi.
“Dia tidak bisa dikendalikan! Mundur!” teriak salah satu penjaga.
Tapi tidak ada yang bisa mendekati anak kecil itu.
Tidak ada kecuali satu orang.
Aurelia Masuk ke Pusat Badai
Dengan napas tersengal, Aurelia akhirnya mencapai halaman kuil.
Para penjaga menoleh kaget.
“Kau tidak boleh masuk! Ini berbahaya!”
“Tunggu!” teriak penjaga lain. “Energi itu bisa membunuhmu—!”
Namun Aurelia sudah berlari melewati mereka sebelum mereka sempat menangkapnya.
Sihir bulan memukulnya dari segala arah, membuat tubuhnya seperti ditarik dan didorong sekaligus. Rambut dan pakaiannya berkibar liar, tapi tatapannya hanya tertuju pada satu sosok kecil di tengah badai cahaya.
“LUCIUS!!”
Suara Aurelia menggema, menembus kebisingan sihir.
Lucius mendengar, meski samar.
Matanya melebar sedikit. “Aure… lia…?”
Suara kecil itu hampir tidak terdengar.
Tubuhnya gemetar lebih hebat, seolah kehadiran Aurelia justru memperbesar gejolak emosinya.
“Pergi! Ini berbahaya!” teriak Lucius, wajahnya panik. “Aku tidak bisa berhenti—Aurelia, pergi!”
Aurelia menggeleng keras, melangkah lebih dekat meski energi bulan membuat kulitnya perih.
“Aku tidak akan pergi!” jawab Aurelia, berteriak melawan badai cahaya.
“Kau bilang aku takut padamu, tapi lihat aku sekarang! Aku datang karena aku tidak ingin kehilanganmu!”
Energi bulan meledak sekali lagi, memukul Aurelia hingga ia jatuh berlutut.
Tapi ia bangkit lagi.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Dan sebelum siapa pun bisa menahannya,
Aurelia melompat dan memeluk Lucius dari belakang.
Cahaya bulan menelan mereka berdua.
Keajaiban Kecil Itu Terjadi
Saat Aurelia memeluknya erat—tanpa ragu, tanpa takut, meski kulitnya terasa terbakar oleh sihir bulan—badai itu mulai melemah.
Seperti ombak yang kehilangan anginnya.
Nafas Lucius tersengal, tubuhnya gemetar.
“Aurelia… kenapa… kenapa kau—”
“Karena kau temanku…” bisik Aurelia, memaksakan suara di tengah cahaya yang menusuk.
“Aku tidak takut padamu, Lucius. Aku takut kehilanganmu.”
Lucius memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, air mata jatuh.
Bukan air mata sihir—
Air mata manusia.
Cahaya bulan bergetar sekali terakhir…
lalu runtuh perlahan, seperti kelopak bunga yang jatuh ke tanah.
Energi liar menghilang.
Udara kembali tenang.
Lucius terjatuh ke lantai, tubuh kecilnya lelah, dan Aurelia ikut jatuh bersamanya, masih memeluknya erat.
Para penjaga tidak percaya melihat badai sihir sebesar itu padam hanya karena pelukan seorang gadis siren kecil.
Lucius membuka mata perlahan, tatapannya kembali merah lembut.
“Kenapa… kau melakukan itu…?” suara kecilnya serak.
Aurelia menatapnya sambil tersenyum tipis, meski wajahnya penuh debu dan air mata.
“Karena aku say—”
ia berhenti
pipi kecilnya memerah.
“Karena aku peduli padamu…”
Lucius terdiam.
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya berantakan—
rasa hangat yang familiar kembali muncul di dadanya.
Mungkin…
Mungkin ia tidak seharusnya membenci gadis itu.