Bab 4 – Ketika Bulan Mulai Retak
Malam turun lebih cepat dari biasanya di wilayah Demon Bulan. Awan gelap bergerak menutupi langit perak, dan cahaya bulan terlihat seperti retakan tipis yang hampir padam. Di tengah halaman kuil yang sunyi, Lucius berdiri sendirian.
Ia mencoba berlatih sihir lagi—mengumpulkan cahaya bulan di telapak tangannya.
Cahaya itu berdenyut pelan, lalu bergetar, lalu… pecah.
“Tidak stabil…” gumamnya, napas berat.
Biasanya, sihirnya tenang seperti air permukaan malam. Tapi sejak Aurelia datang…
Sejak ia memintanya pergi…
Ia tidak bisa mengendalikan apa pun.
Cahaya bulan meledak kecil di sampingnya, menciptakan percikan yang memantul mengenai lantai kuil. Lucius merasakan panas pada kulitnya. Tapi rasa sakit fisik jauh lebih kecil dibandingkan rasa sesak di dadanya.
Kenapa ia mengatakan hal menyakitkan itu?
Kenapa ia menyuruh Aurelia pergi?
Kenapa bagian dalam dirinya justru ingin mengejarnya?
Suara langkah pelan terdengar dari belakang.
Seorang penjaga tua—Master Aldren—mendekati dengan hati-hati. Ia melihat jejak luka ringan di tangan kecil Lucius, lalu menghela napas.
“Lucius… kau melukai dirimu sendiri lagi.”
“Aku hanya berlatih.”
“Aku tahu itu bukan alasannya.”
Lucius tidak menjawab.
Master Aldren duduk di sampingnya, bersandar pada pilar kuil yang dingin. “Aku melihat gadis siren itu datang jauh-jauh hanya untuk bertemu denganmu.”
Lucius mengetatkan rahang. “Dia tidak seharusnya datang.”
“Kenapa? Karena dia membuatmu bingung? Atau… karena kau takut dia akan terluka olehmu?”
Lucius terdiam lama, terlalu lama untuk seorang anak.
“…Aku tidak ingin dia takut padaku,” katanya akhirnya, suara kecil itu nyaris pecah.
“Tapi dia sudah takut.”
Master Aldren menggeleng. “Tidak, anak bulan. Dia datang dengan berani menembus kawalan kami. Anak yang takut tidak akan melakukan itu.”
Lucius menatap langit.
“Kalau begitu… kenapa dia menjauh waktu itu? Kenapa dia melindungi diri dari sihirku?”
Master Aldren menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Kadang sesuatu terlihat seperti ketakutan… padahal hanya kejutan. Kadang sesuatu terlihat seperti penolakan… padahal hanya salah waktu.”
Lucius memejamkan mata. “Tapi aku sudah mengusirnya… dan aku berkata aku tidak membutuhkan dia.”
Aldren menepuk bahu kecil Lucius.
“Seseorang yang benar-benar peduli… tidak akan pergi hanya karena diusir sekali.”
Kalimat itu menusuk hati Lucius lebih dalam daripada sihir mana pun.
Retakan yang Membesar
Saat Aldren pergi, Lucius tetap berdiri di halaman. Angin malam berembus, membawa aroma laut yang samar-samar masuk ke wilayah kuil. Aroma yang mengingatkannya pada Aurelia.
Ia menatap kedua tangannya.
“Aurelia… aku tidak ingin membencimu…”
Tapi luka yang salah paham itu semakin menjeratnya.
Ketika ia mencoba memanggil cahaya bulan lagi—energi itu berdenyut terlalu kuat.
Tidak stabil.
Tidak mengikuti perintah.
“Berhenti…” Lucius menggertakkan gigi.
Tapi sihir bulan meledak dari tubuhnya, menciptakan gelombang cahaya yang meretakkan batu-batu lantai kuil. Pilar-pilar bergetar, udara melonjak.
“Berhenti… berhenti…!”
Namun sihir itu tidak berhenti.
Kekuatan bocah Demon Bulan yang masih mentah akhirnya lepas kendali, dan langit malam tiba-tiba dipenuhi cahaya putih yang menyebar seperti badai.
Di Tempat Lain… Aurelia Merasakannya
Di tepi laut jauh dari kuil, Aurelia yang sedang duduk sambil memeluk lutut tiba-tiba mengangkat kepala. Air di sekelilingnya bergetar, seperti gelombang yang merasakan bahaya.
“Lucius…?”
Ia berdiri, mata birunya meluas.
“Sihir bulan… dia… tidak bisa mengendalikannya!”
Tanpa ragu, Aurelia berlari menuju hutan bulan lagi—lebih cepat, lebih nekat, tanpa peduli betapa bahayanya.
Karena tidak peduli apa yang dikatakan Lucius, tidak peduli seberapa keras ia diusir—
Aurelia tahu satu hal pasti:
Lucius sedang menderita.
Dan ia tidak akan membiarkannya sendirian lagi.