Seminggu setelah kejadian hujan itu, Alea masih belum terbiasa dengan kehadiran Raka yang kembali menyelinap dalam kesehariannya. Tidak seperti dulu, Raka kini selalu bertanya dulu sebelum datang. Tidak memaksa. Tidak memojokkan.
Tapi kehadirannya… tetap membuat jantung Alea berlari tanpa aba-aba.
Pagi itu, Alea duduk di meja kafe kecil dekat kantor—kafe yang dulu sering mereka jadikan tempat bertengkar dan baikan. Ia menunggu kopi yang baru ia pesan ketika tiba-tiba seseorang menarik kursi di depannya dengan ragu.
Raka.
“Aku… boleh duduk?” tanyanya, suaranya setengah pelan, setengah gugup—sangat tidak seperti Raka yang dulu.
Alea mengangguk. “Boleh.”
Keheningan langsung turun di antara mereka.
Alea memegang gelasnya. Raka memegang sendok kecilnya.
Keduanya pura-pura sibuk dengan benda-benda yang tidak perlu.
“Gimana kerjaanmu?” Raka membuka percakapan.
“Baik.”
“Bagus.”
“Hmm.”
Dan lalu hening lagi.
Alea hampir tertawa karena ini terasa sangat aneh. Dulu mereka bisa ngobrol berjam-jam hanya soal rasa croissant. Sekarang… mereka seperti dua orang asing yang diam-diam saling memperhatikan.
Raka akhirnya mengembuskan napas panjang.
“Oke, ini konyol,” katanya sambil mengusap tengkuknya. “Aku bahkan dulu bisa bikin kamu marah dalam dua menit. Sekarang, buat ngomong hal normal aja susah.”
Alea menahan tawa yang hampir lolos. “Kalau bisa jangan bikin aku marah sih.”
Raka tersenyum kecil—senyum yang membuat pipi Alea terasa hangat.
“Alea… aku masih belajar. Aku nggak mau ngulang kesalahan yang dulu.”
“Makanya kita pelan-pelan,” jawab Alea lembut.
Raka menatap meja, lalu memandangnya lagi. Ada rasa rindu yang ditahan dalam pandangannya—tidak meledak-ledak, tapi jelas.
“Aku bawa ini,” katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Alea mengangkat alis. “Apa?”
Sebuah payung kecil berwarna biru pastel.
Baru. Masih ada plastiknya.
“Aku lihat kamu sering nggak bawa payung,” kata Raka, malu-malu. “Jadi… aku beliin. Biar kamu nggak kehujanan lagi.”
Alea terpaku.
Bukan karena payungnya. Tapi karena perhatian kecil itu dulu pernah hilang—dan sekarang kembali.
“Raka…” Alea ragu. “Ini terlalu—”
“Bukan hadiah besar.”
Raka buru-buru menimpali.
“Cuma… sesuatu yang dulu selalu aku ingat tentang kamu. Kamu benci hujan, tapi kamu sering lupa payung. Jadi… ya, pelan-pelan, kan?”
Alea akhirnya tersenyum, menerima payung itu di tangannya.
“Terima kasih,” katanya tulus.
Raka terlihat lega.
Lalu—tanpa sengaja—tangan mereka bersentuhan.
Hanya sedetik.
Tapi itu cukup untuk membuat mereka berdua sama-sama membeku.
Alea cepat menarik tangannya. Wajahnya memanas.
Raka ikut salah tingkah, menyelipkan tangannya ke bawah meja.
“O-oh… maaf,” kata Raka buru-buru.
“Nggak… nggak apa-apa,” jawab Alea dengan suara kecil.
Keheningan kembali jatuh, tapi kini bukan hening canggung—ini hening manis yang membuat detak jantung berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Raka akhirnya bersandar sambil tertawa kecil.
“Kalau begini terus, kita bisa-bisa belajar pacaran dari nol.”
Alea ikut tertawa, kali ini lebih lepas.
“Mungkin memang harus begitu.”
Raka menatapnya lama.
“Mulai dari ngobrol canggung… sampai nanti nggak canggung lagi?”
Alea menunduk, tersenyum.
“Iya. Dari awal.”
Raka mengangguk pelan, seolah ia baru saja menerima sebuah kesempatan yang sangat langka.
“Baik. Aku siap mulai ulang… bahkan dari malu-malu begini.”
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka “balikan pelan-pelan”…
Alea merasa hatinya tidak selelah sebelumnya.
Tidak sepahit sebelumnya.
Mungkin… justru rasa canggung inilah tanda bahwa mereka sedang berjalan ke arah yang benar.