Bab 3 – Aurelia Menembus Wilayah Demon Bulan
Hujan tipis turun di pagi hari, membuat hutan bulan dipenuhi kabut perak yang tebal. Dalam kabut itu, langkah kecil Aurelia terdengar pelan namun pasti. Rambut keemasannya basah, kakinya lecet, tapi matanya tetap memandang lurus ke depan.
Hari ini, ia tidak peduli pada larangan siapa pun.
Hari ini, ia akan menemui Lucius.
Aurelia menggenggam kerang jimat di tangannya. “Aku harus menjelaskan… aku harus memberitahunya kebenaran…”
Namun memasuki wilayah Demon Bulan bukan hal mudah. Energi bulan di udara terasa berat, membuat tubuh anak siren seperti ditekan dari segala arah. Napasnya mulai tersengal.
Di pintu gerbang kuil, dua penjaga segera mengarahkan tombak bulan ke arahnya.
“Putri Siren! Kau tidak boleh masuk!”
Aurelia menggigit bibir. “Aku harus bertemu Lucius.”
“Kau pulang saja. Perintah Atasan Moon Demon jelas—Lucius tidak menerima tamu.”
Aurelia menggeleng keras, suara kecilnya pecah.
“Lucius bukan tamu! Dia temanku! Dan aku sudah membuatnya salah paham… tolong biarkan aku lewat.”
Penjaga tetap tak bergerak.
Aurelia mengepalkan tangannya. “Kalau kalian tidak izinkan, aku akan masuk sendiri.”
Sebelum penjaga sempat menahan—
Aurelia berlari.
Sangat cepat, seperti gelombang laut kecil yang memecah karang. Penjaga mencoba menangkapnya, namun siren lincah seperti ikan laut—melenggang masuk melewati sela-sela tubuh mereka.
“HEI! Tangkap dia!”
Namun Aurelia sudah menembus gerbang dan berlari masuk ke halaman kuil.
Berdepan Dengan Luka
Di halaman utama, tempat bulan memancarkan sinarnya paling terang, Lucius berdiri sendirian. Jubah hitam kecilnya berkibar pelan tertiup angin. Ia memegang bola cahaya bulan, melatih kekuatannya untuk menahan emosi yang kacau.
Ketika mendengar suara langkah kecil yang terburu-buru, ia menoleh.
Dan hatinya berhenti sejenak.
Aurelia.
Basah oleh hujan, napas terengah, mata memerah karena menangis terlalu lama.
Untuk sesaat, sesuatu dalam diri Lucius hampir runtuh.
Tapi ia ingat—
rasa sakit, rasa ditolak, rasa dianggap berbahaya.
Ekspresinya kembali dingin.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Lucius pelan, tapi suaranya tajam.
Aurelia menghampirinya cepat, hampir tersandung. “Lucius, tolong dengarkan aku—aku tidak takut padamu! Waktu itu kerangnya bersinar sendiri! Aku tidak bermaksud—”
“Cukup.”
Lucius memalingkan wajah.
Kata kecil itu memukul dada Aurelia seperti gelombang badai.
“Tidak perlu menjelaskan. Aku mengerti.” Lucius menatapnya dengan mata merah yang kini penuh jarak. “Kau datang karena merasa kasihan.”
Aurelia menggeleng cepat, air matanya jatuh. “Bukan! Aku datang karena aku peduli padamu!”
Lucius tertawa kecil—tawa yang tidak cocok dengan wajahnya yang masih kanak-kanak.
“Terlambat.”
Aurelia berhenti. “Apa maksudmu…?”
Lucius menoleh penuh kali ini, aura bulan berputar di sekelilingnya. Mata kecil itu menyala, bukan karena amarah, tapi karena luka yang terlalu dalam untuk ukurannya.
“Aku tidak membutuhkanmu lagi.”
Jantung Aurelia seakan diremas.
“Lucius… tolong…”
“Ada penjaga,” lanjut Lucius dengan suara datar.
“Mereka akan mengantarmu pulang.”
“Tapi aku—”
“Aurelia,” ucap Lucius, suaranya akhirnya pecah sedikit,
“pergilah sebelum aku benar-benar membencimu.”
Beberapa detik dunia menjadi sunyi.
Lalu langkah kaki penjaga mendekat dari belakang.
Aurelia menatap Lucius untuk terakhir kalinya—
memeriksa wajah yang dulu selalu tersenyum padanya, kini tertutup dinding yang tak bisa ia tembus.
“Kalau begitu…” Aurelia menunduk, air mata jatuh membasahi tanah bulan.
“Aku tidak akan menyerah.”
Ia berbalik, berjalan dengan gemetar.
Penjaga mengawalnya pergi.
Namun saat Aurelia menghilang dari halaman kuil, Lucius akhirnya merasakan napasnya pecah—seperti ada lubang di dada yang tidak bisa ia tutup.
Satu kalimat berputar-putar dalam pikirannya.
Kenapa… kenapa rasanya lebih sakit begini?
Dan malam itu, bulan terasa lebih jauh dari sebelumnya.